KAJIAN SEPUTAR MASALAH PENDIDIKAN
Ditujukan kepada Mendiknas, Menag dan pimpinan terkait.
Bebarapa permasalahan pendidikan perlu pengkajian dan solusi terhadap permasalahan yang ada saat ini dan proyeksi kedepan yaitu sebagai berikut.
1. Pembebasan Biaya Sekolah.
Anak usia sekolah TK, SD/MI dan SMP/MTs di prediksi motivasi belajarnya masih tergantung bagaimana dorongan, arahan dan perhatian dari ke dua orangtuanya, demikian juga disiplinnya. Dalam kondisi usia anak didik pada pendidikan dasar membutuhkan unsur pemaksaan dalam arti pengetatan waktu dan disiplin belajar.
Untuk itu, orang tua menjadi guru kedua di rumah, jika tidak maka alternatifnya lembaga kursus atau privat. Sekolah hannya mampu memberikan nilai tambah dari pendidikan dasar yang telah diberikan ke dua orang tua anak didik di rumah. Kalau pembiasaan di rumah kedua orang tua acuh terhadap pendidikan anak, dan diserahkan semua permasahannya pada sekolah maka pemberian pendidikan dan pembelajaran di sekolah akan gagal. Mengamati hal tersebut, anak yang cenderung berhasil di bina, di didik, dan di beri pembelajaran adalah anak yang sikap, sifat dan disiplin yang telah di tanamkan di dalam keluarganya. Anak yang mendapatkan perhatian belajar yang sungguh-sungguh dari kedua orang tuanya. Telah di beri pemahaman tentang makna dan tujuan dari pendidikan dan belajar. Oleh karena itu pemerintah harus mensosialisasikan berkesinambungan bahwa keberhasilan pendidikan dan disiplin anak lebih ditentukan oleh kedua orangtuanya dan keluarga/lingkungan.
Biaya Pendidikan
Asumsi membebaskan biaya pendidikan dasar SD/MI dan SMP/MTs dapat membantu orang tua tidak/kurang mampu membayar biaya pendidikan. Pembebasan biaya pendidikan tersebut bukan tanpa masalah. Dengan dibebaskannya uang sekolah bagi anak didik pada sekolah SDN/MIN dan SMP/MTsN membuat atau mengurangi tanggung jawab, dorongan, pengawasan orang tua murid terhadap anak-anak menjadi melemah sehingga menurunkan prestasi anak belajar. Hal ini terjadi disinyalir karena orang tua anak didik tidak merasa dibebani pembayaran uang sekolah membuat orang tua tersebut tidak banyak menuntut pertanggungjawaban dari anak tentang prestasi belajarnya.Jadi, tanpa ada support dari orang tua didik maka proses pendidikan tidak mencapai hasil maksimal seperti yang diharapkan.
Terdapat kasus sikap orang tua dan anak didik, kurang menghargai kemudahan untuk mendapatkan pendidikan dasar anak dengan berkata “naik tidak naik tidak bayar ini”.
Bukan berarti pembebasan biaya pendidikan suatu kebijakan yang salah, tetapi perlu adanya sanksi kepada anak dan orang tua seperti jika anak tidak disiplin mengikuti proses kegiatan pembelajaran, prestasi akademik tidak ada perubahan karena tidak ada support dari orang tua anak didik maka anak tersebut dapat di keluarkan pihak sekolah. Sanksi yang lebih ringan tidak naik kelas. Dan sekolah tidak memberikan rekomendasi anak yang bermasalah untuk pindah ke lain sekolah negeri. Jadi sanksi dari pembebesan biaya sekolah harus ada sesuai dengan tujuan pembebasan biaya pendidikan dan tujuan dari kebijakan dalam meningkatkan kualitas output pendidikan dan prosesnya.
Meskipun ada kebijakan wajib belajar dasar 9 tahun, dan sistem tuntas belajar yang belum sepenuhnya dapat dilaksanakan karena permasalahan anak hetrogen yang membuat sistem ini kurang efektif dan oleh karena itu membutuhkan formasi yang lebih tepat. Ketuntasan belajar selama ini dapat dikakatakan “dituntas-tuntaskan” yang sebenarnya tidak tuntas.
Dilapangan pemahaman orang tua didik dan sebagian tenaga pendidik bahwa dengan sistem tuntas belajar maka otomatis tidak ada anak didik yang tidak naik kelas. Kenyataannya, untuk sekolah-sekolah yang kualitas inputnya rendah sangat sulit melaksanakan belajar sistem tuntas tersebut. Maka untuk itu perlu ada pengakategorian sekolah dalam tipe A, B dan C, dengan menggunakan rentang nilai tertentu untuk kategori tipe A, B dan C tersebut. Setiap tipe dengan desaian kurikulum yang berbeda, disesuaikan dengan tingkat intelegensi anak. Dengan demikian terbentuk sekolah dengan siswa yang homogen, hal ini akan lebih efektif dalam mendesain model pembelajaran. Dengan homogenitas siswa, akan lebih tepat dalam meberikan obat (metode pembelajaran) karena pada umumnya penyakit (kelemahan) dari siswa itu adalah sama. Lebih mudah dalam mempersiapakan tenaga pengajar serta pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan sesuai dengan tipe sekolah dengan karakteristik anak yang homogen.
Permasalahan dalam sistem tuntas belajar, kalau anak didik harus naik kelas semua karena sistem tuntas belajar yang nyatanya sulit dilakukan pada sekolah yang inputnya lower tentu akan mempengaruhi serta menurunkan hasil USBN dan UN. Sehingga signifikansi dari pelaksanaan USBN dan UN kurang menghasilkan kualitas, sehingga pula pemerintah mempolitisir hasil USBN dan UN. Seperti hasil UN SMP/MTs 2009 di DKI lulus 99,99 % diragukan.Diprediksi dari hasil tryout UN di DKI bisa lebih rendah atau sama dengan daerah luar DKI.
Sebagai proses pembelajaran bagi guru dan kepala sekolah/madrasah dan tenaga kependidikan yang terlibat lansung di pemerintahan secara struktural perlu bersifat objektif dan transparan menginformasikan hasil ujian nasional secara objektif agar lembaga pendidikan dapat melakukan intropeksi dan melakukan perbaikan proses dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, proses dan manajemen, demikian juga untuk siswa.
2. Komite Sekolah.
Komite sekolah adalah tenaga sukarela jabatan di luar struktur, secara teoritis tidak menerima kompensasi dari sumbangsih atau kontribusinya dalam memajukan pendidikan. Saya kira untuk jaman sekarang tidak ada orang yang mau membuang waktu, tenaga, pikiran, mengurusi sekolah tanpa kompensasi.
Strategi sekolah dalam menentukan ketua komite tentu yang dapat bekerjasama dengan sekolah dan tentu menguntungkan sekolah dan juga menguntungkan komite sekolah sendiri sehingga yang terjadi komite sekolah menjadi alat dari sekolah, penyambung lidah sekolah, sebagai speker (toa) bagi sekolah untuk keperluan merayu/membujuk orang tua murid agar orang tua murid bersedia mengeluarkan sejumlah uang untuk “kepentingan sekolah dan juga komite sekolah”.
Komite sekolah merangkul sponsor dari luar sekolah tidak bisa diharapkan baik dari instansi pemerintah apalagi dari swasta. Orang lebih suka mendirikan sekolah sendiri daripada menjadi sponsor sekolah tertentu karena masalah kepercayaan, keterbukaan dan kejujuran masih sangat lemah di republik ini.
Komite sekolah bukan lagi penyambung lidah dari yang diwakilnya yaitu orang tua anak didik, tetapi penyambung lindah dari pihak sekolah untuk mencari dana ke orang tua murid. Hal ini tentu bertentangan dengan pengunaan dana BOP/BOS yang tidak boleh lagi memunggut dana dari anak didik bagi sekolah menggunakan dana tersebut. Seperti acara perpisahan jalan keluar kota dan juga diadakan di sekolah yang terkadang sangat berlebihan dan mengada-ada. Kalau kita perhatikan kepentingan sekolah yang sangat dominan mengadakan perpisahan dengan acara ke luar kota dan bahkan ada yang ke luar negeri. Tujuannya yang tersembunyi di balik perpisahan, pihak sekolah gratis dibayarin anak didik dan tidak kalah penting dapat menyisakan uang dari acara tersebut guna cindramata sebagai kenangan-kenangan bisa berupa barang dan uang.
Minta tiga kembalikan satu. Artyinya, satu berbanding dua. Satu untuk siswa, dua untuk sekolah.
Kalau sekolah masih mengharapkan cindramata atau kenang-kenangan dari anak didik berarti ingin dihargai apa yang diberikan guru selama dalam proses pendidikan dan bukankah guru sudah di dihargai/bayar jasanya oleh pemerintah untuk melakukan pelayanan pendidikan dan pengajaran di sekolah.
Hal demikian itu merupakan salah satu paktor membuat biaya pendidikan tinggi. Disamping itu pula yang membuat biaya pendidikan mahal/tinggi mulai sekolah negeri SD s/d SMU “di DKI misalnya”, pimpinan sekolah mengalokasikan dana untuk mengaji dirinya, besarnya bisa lebih besar atau sama jika dibandingkan dengan gaji yang diterima dari pemerintah. Hal ini tidak bisa di SPJ-kan, oleh karena itu dia ada pada setiap mata aggaran yang dapat di SPJ-kan. Sehinga kualitas pengadaan barang laorannya KW1 realitanya KW2/KW3, demikian seterusnya. Model demikian sudah sudah berlaku mungkin sejak dulu (jadul).
Demikian juga untuk wakil kepala sekolah. Wakil kepala sekolah tidak ada honor yang khusus untuk wakil dari anggran yang ada, sedangkan dia diberi tugas tambahan sebagai wakil lebih teknis dan oprasional lebih berat dari kepala sekolah. Kalau tidak ada kompensasi/honor sebagai wakil tentu tidak ada yang mau jadi wakil, sehingga dibuatkan honor wakil tatepi tidak bisa di SPJ-kan. Juga sekolah masih menjadi sapi perahan dari unit struktural di atasnya. Hal ini masih berkorelasi dengan development career.
Dengan demikian sangat logis seperti yang dikatakan oleh ekonom almarhum Prof. Jojo Hadikusumo pada masa orde baru bahwa kebocoran anggaran pada pemerintahan sebesar 30%. Angka 30% bisa sebagai angka minimal, karena kemungkinan lebih dari itu bisa saja terajadi. Meskipun organisasi pemerintahan di buat modern dengan manajemen modern tetapi mental masih merujuk pada model kerajaan, belum bisa melepaskan diri dari tradisi seperti upeti.
Biaya pendidikan tinggi dapat pula mendorong aparatur pemerintah melakukan tindakan korupsi guna memenuhi biaya pendidikan anaknya. Oleh karena itu penting adanya kebijakan pembebasan uang sekolah mulai dari SD s/d SMU. Kalau mau dan sungguh-sungguh ingin melaksanakan pemerintahan yang baik dan bersih, setiap pelung seperti di atas di tutup rapat. Apa yang berjalan sekarang ini dan dari dulu seperti kapal bocor.
Terkait dengan masalah perpisahan dan tujuannya sepeti telah disingguh di atas. Pada saat akhir tahun ajaran untuk kelulusan, orang tua didik dipusingkan pula dengan bagaimana mempersiapkan dana untuk melanjutkan sekolah anak. Oleh karena itu acara perpisahan tidak diwajibkan oleh sekolah karena pada waktu yang bersamaan pengeluaran uang untuk pendidikan sangat besar. Acara wisuda yang menjadi tema perpisahan terlalu mengada-ada. Acara perpisahan muatan kepentingan sekolah lebih besar. Jika dipaksakan akan menambah stress orang tua/masyarakat. Pemerintah seharusnya memelihara situasi kondusif masyarakat tidak menciptakan stress bagi masyarakat.
Delematis bagi komite sekolah tidak mendukung program sekolah juga kepentingan dari komite sekolah itu sendiri. Dengan adanya pendanaan sekolah yang bersumber dari BOS/ BOP maka komite sekolah menjadi tidak efektif dan oleh karena itu tidak perlu ada. Jadi untuk memudahkan koordinasi pihak sekolah dengan orang tua anak didik maka setiap awal tahun ajaran sekolah memfasilitasi pertemuan wali anak didik setiap angkatan untuk melakukan pemilihan seorang di tunjuk menjadi koordinator mewakili/wali anak didik per-angkatan. Kalau di SMP/MTs ada tiga angkatan yaitu kelas VII, VIII dan IX. Tidak ada intervensi sekolah dalam pemilihan tersebut dan penunjukan koordinator yang mewakili orang tua didik, trasparan dan demokratis.
3. Koperasi Sekolah.
Selama ini banyak sekolah membentuk koperasi sekolah yang anggota dan pengurusnya adalah pihak sekolah. Keberadaan koperasi sekolah dapat menjadi satu alat untuk menjual perlengkapan sekolah seragam dan buku kepada anak didik secara diam-diam. Meskipun ada larangan tapi masih ada sekolah bebum mengindahkan larangan tersebut karena ingin mendapatkan masukan atau keuntungan dari koperasi yang merupakan sumber penyumbang seperti untuk THR dan meningkatkan penerimaan SHU (Sisa Hasil Usaha) para pengurus dan anggota Koperasi.
Dimana tahun 2008-2009 telah dikembangkan suatu konsep “Kantin Kejujuran” yang juga dikelola oleh koperasi sekolah. Diprediksi dapat mendidik dan melatih anak untuk berbuat jujur. Tidak efektif. Untuk membentuk anak jujur bukan membuat Kantin Kejujuran tetapi bagaimana dalam proses pembelajaran anak di tanamkan konsep kejujuran seperti dalam pelaksanaan ujian harian, ujian mid dan ujian semesteran, ujian tryout, dan ujian nasional. Anak tidak diajari untuk mencontek hasil kerja temannya atau ada usaha pemberian jawaban soal dari pihak sekolah atau pembocoran soal yang dilakukan secara sistematis dan terencana. Realita dari tahun-ketahun selalu ada kebocoran soal ujian negara. Jadi konsep Kantin Kejujuran tidak efektif dan tidak mempunyai manfaat sosial-ekonomi pada masyarakat lingkungan sekolah. Seharusnya sekolah mempunyai manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat lingkungannya dengan memberi kesempatan kepada masyarakat lingkungan sekolah untuk membuka usaha dagangan baik dalam lokasi sekolah maupun di rumah penduduk sekitar sekolah, yang penting anak didik tidak sampai berkeliaran lepas dari kontrol sekolah. Jika memungkin sekolah meberikan tempat di dalam lokasi sekolah sehingga anak terkontrol.
Jadi dengan adanya sumber dana sekolah dari BOP/BOS dan gaji/tunjangan/kesra rugu yang sudah cukup baik maka koperasi sekolah tidak perlu ada. Sekolah memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi lingkungannya. Guru lebih baik konsentari pada tugasnya yaitu memberikan proses pendidikan dan pengajaran secara maksimal agar hasil pendidikan supaya lebih baik.
Mewirausahakan sekolah (koperasi) akan menambah kehancuran hasil pendidikan karena jadi tidak pokus dengan tugas pokok. Semua kebutuhan peserta didik diharuskan melalui koperasi sekolah. Seperti guru yang terlibat dengan kepenguran koperasi pikiran bercanga dua, karena pada saat bersamaan harus melayani urusan koperasi dan harus mengajar juga. Piliha akan jatuh untuk melayani koperasi lebih penting.
Memberi akses pada masyarakat lingkungan sekolah dalam sosial-ekonomi adalah salah satu bentuk perwujudan program pemerintah dalam pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Keberadaan sekolah berdampak pada terbukanya peluang usaha bagi masyarakat sekitar sekolah dalam perbaikan sosial-ekonomi. Dengan demikian distribusi uang bukan hanya seputar pemerintah dan dunia usaha, ranyat biasa atau rakyat kecil juga harus diberi kesempatan mendapat penditribusian uang untuk melakukan usaha-usaha produktif sebagai penopang usaha skala regional dan nasional.
4. Pengawasan dan Standar Kinerja.
Diwujudkannya anggaran untuk pendidikan 20 persen yang sudah direncanakan kenaikan gaji guru tahun 2010 sebesar 50 persen yang didukung pula dengan tunjangan kesra dan sertifikasi. Masalahnya, bukan jaminan bahwa dengan peningkatan total pendapat guru, proses dan kulitas pendidikan, moralitas dan disiplin guru meningkat tanpa ada manjemen pengawasan yang efektif. Seperti, beberapa instansi pemerintah telah diberikan penghasilan sanggat baik kinerjanya tidak menigkat. Rasio semakin tinggi kompensasi diharapkan dapat menigkatkan disiplin, motivasi, kinerja yang tinggi. Jika terjadi tidak seperti yang diharapkan maka seharusnya mendapat sanksi yang memberatkan. Oleh karena itu, seharusnya kompensasi yang besar menuntut pelaksanaan kerja yang dapat dipertanggungjawabkan, memunculkan kinerja individu dan organisasi yang positif. Meniadakan korupsi dan pungli.
Agar efektif dalam meningkatan proses serta kualitas pendidikan maka setiap individu pendidik/guru dan lembaga pendidikan harus ada standar kinerja yang terukur jalas, terawasi secara efektif.
5. Faktor Melemahkan Ujian Nasional.
Sebagaimana yang telah pernah diusulkan/rekomendasikan yaitu pengapusan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTNAS) dan diganti dengan ujian nasional terbatas yang meliputi bidang studi bahasa Indonesia, matematika, bahasa inggris dan ilmu pengetahuan alam. Semenjak diberlakukan ujian nasional terbatas mulai tahun ajaran 2002-2003 dapat diamati titik lemahnya untuk keempat mata pelajaran ujian nasional SMP/MTs ada pada sekolah SD/MI, karena di samping masih ada untuk mata pelajaran tersebut (UN) dipengang guru kelas yang bukan spesialisasi berkaitan untuk ujian nasional. Banyak guru yang mengajar belum serjana penuh (S1). Seperti, masih ada guru bidang agama mengajar matematika, bahasa Indonesia dan IPA. Guru bidang IPS mengajar matematika, bahasa Indonesia dan IPA.
Guru yang mengajar bukan spesialisasi bidangnya akan tidak efektif melakukan proses pengajaran sehingga hasilnya juga tidak efektif. Di DKI saja masih banyak lulusan SD/MI belum bisa berhitung (tambah, kurang, kali, bagi), membaca tidak lancar, dan tulisan/menulis tidak lengkap hurupnya, sehingga di SMP/MTs anak mengalami stress demikian juga gurunya. Seperti mata pelajaran matematika keterkatiannya dengan pelajaran IPA dan ekonomi, maka matematikanya harus baik. Oleh karena itu pelajaran matematika sangat penting bagi anak didik untuk mengerti tentang dasar-dasar yang kuat.
Pelajaran matematika dasar merupakan ilmu terapan dalam praktek kehidupan sehari-hari. Misalnya, soerang lulusan SD tidak melanjutkan karena berbagai alasan, lalu dia ikut usaha dangang dengan orang tua, keluarga atau mandiri, jadi tukang bangunan, tukang kayu dan lain-lain aktivitas. Dalam pelaksanaan berbagai kegiatan tesebut tidak terlepas dari penggunaan matematika dasar. Oleh karena itu, matematika dasar harus anak didik kuasai maksimal mungkin.
Maka untuk meningkatkan efektivitas hasil USBN dan UN pada SMP/MTs dan setersunya perlu dilakukan “tenaga pegajar untuk mata pelajaran USBN di SD/MI tidak di pegang guru kelas yang tidak spesialisasi bidangnya yang berkaitan dengan ujian nasional tetapi harus spesialisasi”. Dengan demikian dapat mendongkrak nilai mata pelajaran ujian nasional pada sekolah dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang lebih baik dari kondisi yang telah berjalan selama ini. Ketidak mampuan anak dalam mengikuti pelajaran matematika di sekolah karena dasar-dasar belum dikuasai anak, menjadi tidak termotivasi anak-anak belajar matematika dan menjadi mata pelajaran yang di benci, tidak disukai, dan bukan matapelajarannya saja yang tidak disukai, termasuk gurunya juga jadi tidak disukia anak. Kalau anak sudah bersikap demikian maka proses tranfer pembelajaran tidak berhasil.
Ujian nasional terbatas masih perlu dipertahankan. Bukan mata pelajaran yang lainnya tidak penting, tetapi kita harus memberikan prioritas atau penekanan sebagai pengetahuan induk dan bidang sebagai dasar pengembangan. Ujian nasional dengan mata pelajaran terbatas saja masih terjadi pembocoran soal. Tingkat stress siswa cukup tinggi, kepada sekolah, sudin pendidikan, pengawas pendidikan mengalami stress yang tinggi. Ini mengindikasikan bahwa manajemen pendidikan dan proses pada tingkatan sekolah belum berjalan seperti yang diharapkan. Sekolah tidak punya program yang jelas dan terukur dalam meningkatkan kualitas proses. Asumsinya, kualitas proses mempengaruhi kualitas output.
6. Pelaksanaan MOS.
MOS untuk siswa peserta didik baru perlu dilakukan dengan pendekatan berbeda yaitu tanpa harus ada program perpeloncoan yang selama ini menjadi sumber permasalahan penyebab rusaknya fisik, mental dan bahkan fatal (kematian) yang masih mewarnai lembaga pendidikan kita baik tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi. MOS dilakukan lebih kepada yang berisikan program sbb:
1) pengenalan terhadap fasilitas sekolah dan personil sekolah;
2) program pendidikan di sekolah intrakulikuler dan ekstrakulrikuler;
3) pembinaan dan penumbuhan motivasi belajar anak didik, teknik belajar yang tepat dan baik;
4) pembinaan kedisiplinan, baris-berbaris, senam pagi dan upacara bendera;
5) pembinaan mental dan spiritual melalui guru agama sesuai dengan kenyakinan dari peserta didik;
6) penjelasan tentang NARKOBA dan sex bebas;
7) Penjelasan apa itu pendidikan, guna dan tujuan pendidikan;
8) penjelasan tentang visi/misi serta tujuan sekolah, visi/misi serta tujuan pendidikan nasional dan visi/misi bangsa;
9) Meberikan pemahaman tentang hidup multi beragama, demokrasi beragama, dalam pembinaan kerukunan hidup beragama;
10) Memberikan pemahaman tujuan bernegara, bangsa dan pemerintahan, dalam kondisi negara multi kultural, suku, bahasa dan agama dalam rangka keutuhan negara NKRI.
Peserta anak didik tidak perlu dibebani dengan membawa bermacam-macam perlengkapan MOS yang aneh-aneh dan sulit di cari yang memungkin anak akan mendapatkan hukuman fisik dan mental. Membuat peserta didik tidak tenang tidak nyaman, kurang istirahat kurang tidur akibatnya peserta didik kelelahan fisik, mental dan stress. Peserta didik yang di MOS, orang tua didik ikut stress mempersiapan dana dan membatu membuat dan melengkapi peralatan untuk keperluan selama MOS berlansung, ini kenyataan.
Jadi kedepan, peserta didik baru sekolah dasar tidak perlu dibebani dengan membuat dan mempersiapkan bermacam perlengkapan MOS. Yang perlu siswa membawa manakan kecil yang bisa konsumsi peserta didik dan minuman guna menjaga kondisi kesehatan dan kesegaran peserta didik. Dengan demikian beban biaya untuk MOS dapat efisien dan efektif. Peserta didik dan orang tua didik tenang, nyaman, tidak stress, tapi penuh rasa senang, jauh dari insiden yang tidak diingikan oleh kita semua. MOS tidak lagi ajang balas dendam, gila hormat bagi senior atas yunior.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment