TAHUN BARU 2010 HARUS LEBIH BAIK DARI TAHUN LAMA 2009.
Seorang setingkat Profesor Doktor, Doktor, Master, Sarjana, Deploma berbagai disiplin keilmuannya, Mahasiswa sesuai dengan bidang/jurusannya, Siswa SMA/SMK/Aliyah sesuai dengan bidang/jurusannya, Siswa SMP/MTs, Anak SD/MIN dan TK jika tidak menambah pengetahuannya secara terus-menerus maka dia akan menjadi yang terbelakang pada tingkaktan pendidikannya.Menambah pengetahuan secara terus-menerus adalah pertumbuhan dan perkembangan untuk mencapai harapan dan tujuan tertentu.
Semua guru adalah mahluk hidup, mengajari dan mendidik mahluk hidup juga. Jika seorang guru (dalam bidang apapun)tidak mau menumbuhkembangkan atau menambah dan menambah pengetahuannya maka akan sulit untuk berhasil dalam memberikan proses pembelajaran dan pendidikan yang berkualitas. Seorang yang mampu melaksanakan tugas dan fungsinya adalah karena dia melakukan perubuhan internal untuk mengikuti perubahan eksternal (perkembangan pengetahuan, teknologi dan informasi) yang semakin komplek dan dinamis.Mengikuti perkembangan pengetahuan, teknologi dan informasi terkait bidang tugas dan fungsi merupakan suatu tanda adanya kehidupan.
Tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan, hidup tumbuh dan berkembang sepanjang perjalanan di dunia. Jika dia tidak tumbuh dan berkembang maka dia adalah mahluk yang mati.
Ilmu pengetahuan dihidupkan, oleh karena itu dia tumbuh dan berkembang sepanjang perjalanan kehidupan dunia. Jika ilmu pengetahuan tidak dihidup tumbuh dan kembangkan maka ilmu pengetahuan akan mati. Ilmu pengetahuan mati manusia tidak dapat mencapai tujuannya.
Manusia adalah mahluk hidup. Mahluk hidup tumbuh dan berkembang. Jika tidak tumbuh dan berkembang maka manusia adalah sama dengan mahluk mati.
Organisasi pemerintah yang sehat tumbuh dan berkembang. Organisasi swasta (dunia usaha) yang sehat tumbuh dan berkembang, jika tidak tumbuh dan berkembang, resistance terhadap perubahan (status quo), maka dia adalah organisasi yang sakit.
Organisasi dijalankan oleh sekelompok manusia untuk mencapai suatu tujuan tertentu . Jika organisasinya sakit maka organisasi itu dijalankan oleh orang-orang yang kurang sehat. Organisasi yang kurang sehat atau sakit, orang-orang yang kurang sehat .Jika demikian kondisinya maka organisasi itu dan orang-orang itu adalah tidak produktif. Perbandingan antara input dan output jika mempunyai nilai tambah maka itu dikatakan produktif. Jika dari waktu kewaktu mempunyai nilai tambah yang positif maka dia dalam keadaan hidup (berproduksi) maka dia akan memperoleh kemajuan secara terus menerus.
Perubahan dalam arti positif. Perubahan adalah adanya peningkatan atau kemajuan dari kondisi sebelumnya. Atau menuju kepada yang lebih baik. Jika kondisi sebelumnya atau saat ini adalah X maka kondisi akan datang harus X2. Jika tidak demikian maka tidak ada yang namanya perubahan. Perubahan juga merupakan proses perbaikan secara terus menerus (tidak mengenal batas waktu) menuju kepada yang lebih baik dari suatu kondisi ke kondisi yang diharapkan dan yang di tuju.
Kepemimpinan, pimpinan atau manajer, staf atau karyawan organisasi pemerintah/birokrasi, organisasi swasta, organisasi perwakilan dari yang mewakili dalam melakukan peran masing-masing di dalam organisasi apapun (termasuk dalam organisasi rumahtangga) adalah mahluk hidup. Jika dalam melaksanakan perannya tidak mengalami perubahan untuk kemajuan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinnya kepada yang lebih baik maka mereka dapat dikatakan tidak dapat menjalankan perannya dengan baik, tidak produktif atau tidak beres. Jika tidak beres maka harus dibereskan. Jika tidak mampu maka diberikemampuan supaya mampu atau diganti dengan yang mampu. Jika sudah diberikan kemampuan (diklat) tidak mengimplementasikan kemampuan yang ada untuk pelaksaan tugas atau fungsi secara riil maka dia orang yang tidak jujur atau tidak amanah. Jika demikian posisinya maka seharusnya tidak diberi kepercayaan.
Kepercayaan merupakan harapan dari si pemberi kepada si penerima untuk melaksanakan sesuatu, menyalurkan aspirasi misalnya dsb. Jika yang diharapkan tidak kunjung tiba maka yang kunjung adalah ketidakpercayaan.
Janji adalah utang. Utang harus dibayar. Jika utang tidak dibayar maka akan dikejar-kejar sama utang. Hidup jadi tidak tenang karena berdosa belum melunasi utang. Jika utang tidak terbayar maka janji-janji merupakan pepesan kosong.
Reformarmasi adalah perubahan. Perubahan merupakan tuntutan karena kondisi saat lalu dan saat ini dirasa sudah tidak memberikan kenyamanan, ketertiban, keamanan, ketidakadilan (simpelnya "ketidakberesan"). Jika tuntutan perbuhan tidak dilakukan oleh kekuatan internal maka akan mencul desakan perubahan dari eksternal sebagai dorongan yang memaksa. Perubahan karena ada kesalahan, dilakukan perbaikan dan untuk kemajuan. Jika perubahan seperti yang diharapkan tidak diwujudkan maka tidak ada yang namanya perbaikan untuk kemajuan. Tidak ada perbaikan untuk kemajuan berati pula sama dengan kematian.
Hukum formal adalah komando panglima tertinggi untuk memerangi dan mengadili ketidakberesan. Jika hukum formal tidak lagi mampu menjadi komando paglima untuk memerangi dan mengadili ketidakberesan maka hukum nonformal bisa muncul mengambil komando panglima untuk mencari format penyelesaian dengan caranya sendiri.Hukum yang hidup adalah hukum yang mampu melaksanakan tugas dan fungsinya. Jika lembaga-lembaga atau orang-orang penegakan hukum tidak lagi bisa menumbuhkembangkan untuk mencapai harapan dan tujuan maka supermasi hukum layu sebelum berkembang. Jika lembaga yang lama tidak dianggap mampu menjalankan tugas dan fungsinya, akan mendorong memunculkan lembaga-lembaga baru tandingan, maka yang lama bisa gulung tikar.
Pelayanan publik yang hidup adalah pelayanan yang berkualitas memenuhi harapan publik. Jika lembaga pemberi pelayanan publik tidak mampu memberikan pelayanan yang berkualitas seperti yang diharapkan masyarakat (pelayanan pemerintah kepada rakyat)maka lembaga pelayanan publik tidak lagi bisa melayanai dirinya semdiri. Oleh karena itu lembaga pelayanan tersebut tidak akan pernah mampu memberikan pelayanan prima kepada publik. Prinsipnya, orang yang mampu melayani dirinya sendiri berkualitas akan mampu pula melayani orang lain yang berkualitas.
Intinya adalah prinsip hidup dari mahluk yang hidup jiwa, pikiran, mata hati, mata penglihatan, pendegaran ; dan perkumpulan atau organisasi yang sehat adalah dengan kata-kata yang mengandung motivasi untuk sebuah harapan dan tujuan yang cukup popular dan familier yaitu:
HARI ESOK HARUS LEBIH BAIK DARI HARI-HARI YANG TELAH ALALU (HARI KEMARIN), DEMIKIAN JUGA UNTUK TAHUN 2010 HARUS LEBIH BAIK DARI TAHUN 2009 DAN DARI TAHUN-TAHUN SEBELUMNYA.
Itu adalah sebuah harapan dan tujuan yang diinginkan. Harapan dan tujuan itu bisa dicapai jika diwujudkan dengan tindakan konkrit. Perkataan sejalan dengan perbuatan. Berjalan melangkah dengan kaki kanan diikuti dengan kaki kiri. Ayunan tangan kanan kedepan ayunan tangan kiri ke belakang. Kata-kata tersebut juga mengandung arti kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan, reformasi atau perubahan.
Wednesday, December 30, 2009
Sunday, December 27, 2009
KINERJA ATAU PRESTASI MANUSIA
KINERJA ATAU PRESTASI MANUSIA
Berbicara tentang kinerja pada umunya orang mengkaitkan dengan organisasi formal yaitu kinerja pemeritahan atau kinerja birokrasi dan kinerja dunia usaha atau perusahaan swasta, atau kinerja perusahaan setengah swasta seperti BUMN dan BUMD dan lain yang modal usahanya patungan antara pemeriantah dan pihak swasta. Kinerja juga ada atau terdapat dalam organisasi-organisasi kemasyakatan separti organisasi partai politik, organisasi keagamaan; organisasi kelompok professional seperti LSM, PGRI, Pengacara, dsb. Jadi ruang lingkung implementasi kinerja (ferpormance) cukup luas. Kinerja berkaitan dengan kinerja yang bersifat organisasional, kelompok (tim) dan/atau individu. Kinerja organisasi adalah total dari kinerja dari unit-unit pendung yang ada di dalam organisasi tersebut. Kinerja tim atau unit yang merupakan total kinerja dari orang perorangan yang ada di dalam tim atau unit kerja tertentu tersebut. Demikian pula kinerja individu merupakan kinerja dari perorangan (sifatnya individual/personal) baik dia berada di dalam suatu organsasi, tim atau unit dan/atau kinerja individu yang berdiri sendiri seperti pelajar, mahasiswa, usaha perorangan seperti pedang/penjual, rumahtangga, atua kinerja usaha warung sembanko dsb.
Apakah itu kinerja (ferpormance).
Kinerja berasal dari kata ferpormance (bahasa Inggris). Kinerja diartian dalam bahasa kita sehari-hari adalah prestasi kerja atau sebagai hasil kerja. Prestasi itu sendiri mempunyai arti positif, yaitu dikatakan berprestasi jika hasil kerja atau hasil usaha yang kita lakukan mencapai standar atau berada di atas standar tertentu yang sudah ditetapkan sebelumnya. Dan biasanya kalau hasil di bawah standar tidak disebut prestasi tetapi sering disebut kerungian, ketidakmampuan, ketidak berdayaan, kalah bersaing atau berkompetisi (dalam pertandingan atau perlombaan tertentu), disebut pula tidak beprestasi, atau disebut biasa-biasa saja . Dalam penggunaan kata kinerja juga ada kinerja baik dan kinerja buruk. Karena itu kinerja sama dengan prestasi atau kebalikannya prestasi adalah kinerja yang hasilnya bisa positif ataupun negatif.
Menurut Wibowo (2007:7) kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. Armstrong dan Buron (Wibowo,2007:7)kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan yang kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi.
Jadi kinerja adalah sebuah proses: melakukan pekerjaan untuk mencapai hasil; apa yang dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya; dan harus mempunyai tujuan.
Maksut pengertian proses kinerja di sini adalah untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan harus melalui suatu tindakan atau kegiatan (aktivitas) tertentu. Untuk itu memerlukan rentang waktu tertentu dan sumber daya lain yaitu manusianya sendiri, dana, prosedur, metode, teknologi dan informasi. Jadi untuk mencapai suatu hasil atau prestasi tidak semudah membalikan telapak tangan atau dalam kata lain tidak seperti mengigit cabe atau makan sambel cabe langsung merasakan pedas. Tidak semudah itu.
Dikatakan prestasi atau berprestasi karena mempunai nilai lebih dari ukuran atau standar yang telah ditetapkan sebelumnya. Jadi kalau hanya mencapai standar itu berarti baru kembali modal, belum mempunyai nilai tambah. Kalau standar dibuat 100 yang dihasilkan 110 maka yang 10 itu adalah suatu prestasi yang diperoleh.
Menurut Payaman J. simanjuntak (2005:1)kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu.
Dikatakan kinerja sebagai tingkat pencapaian hasil dalam pelaksanaan tugas/pekerjaan tertentu dapat kita fahami bahwa untuk mencapai hasil itu ada tingkatannya yaitu seperti tingkat pencapaian hasil rendah, sedang/cukup dan tinggi.
Dari definisi kinerja di atas maka dapat disimpulkan: kinerja adalah proses melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai hasil (tujuan) tertentu, pada tingkatan tertentu (menggunakan standar) dengan menggunakan cara-cara tertentu.
Impelentasi Konkrit Kinerja (Pelaksanaan Konkrit Kinerja).
Visi bangasa Indonesia salah satunya adalah mencerdasakan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945) maka dibutuhkan lembaga untuk melaksanakan tugas tersebut. Jadi lembaga formal pemerintahan yang melaksanakan visi dan juga dirumuskan ke dalam misi oleh lembaga tersebut yang dalam hal ini dilakukan dan menjadi atau dijadikan kewenangan dan kekuasaan oleh departemen Depdiknas. Dalam hal ini bagaimana usaha Depdiknas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui proses lembaga pendidikan atau pesekolahan. Tentu dalam hal ini pula Depdiknas harus mempunyai ukuran kinerja dari tahun ketahun dan harus ada peningkatan dengan standar tingkatan yang tertentu dan jelas, dilakukan berkesinambungan. Karena visi sudah mempunayai kekuatan hukum dalam pembukaan UUD 1945 dan itu sangat realistis dan rasional karena semua bangsa mempunyai tujuan yang sama yaitu mencerdaskan kehidupan bangasanya dalam rangka pencapaian kesejahteraan hidup bangsa. Oleh karena itu, visi tersebut sudah mempunyai keketapan dan yang berubah atau dilakukan perubahab adalah strategi (cara) atau metode (pendekatan) yang digunakan dalam rangka mencapai visi bangsa tersebut. Perubahan dalam arti adanya penyesuaian-penyesuaian sehingga tercipta terintegritid atau menjadi satu kesatuan untuk menwujudkan kehidupan bangsa yang cerdas.
Kinerja Depdiknas adalah totalitas dari kinerja unit-unitnya mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah maupun departemen sebagai subdiknas yang menyelenggarakan pendidikan atau persekolahan seperti Departemen Agama dan deparemen-departemen lain yang menyelenggarakan pendidikan atau pesekolahan yang bersifat kedinasan. Kinerja dari departemen dan unit-unit yang ada merupakan kinerja dari perseorangan atau kinerja individu.
Jadi keberhasilan Diknas dalam mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan hasil atau prestasi atau kinerja positif tetapi sebaliknya ketidakberhasilan juga merupakan hasil atau prestasi atau kinerja negatif dari Diknas pula.
Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas dan tujuan yang sangat mulia (tinggi) maka setiap lembanga yang menyelenggarakan pendidikan harus di isi dengan sumber daya manusia yang bermoral dan beretika positif; tidak korup tidak pugli, mempunyai edialisme untuk kemajuan pendidikan, mempunyai mental dan hati nurani siap melayani dengan kesungguhan bukan dilayani, bertanggung jawab dan dapat dipertanggungjawabkan, tidak hanya sekedar mencari kehidupan tetapi mempunyai tanggung jawab untuk menghidupkan semangat pengabdian mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini adalah prinsip-prinsip standar moral kerja yang harus dimiliki oleh semua SDM yang menyelenggarakan , melaksanakan atau mengelola pendidikan. Hal ini harus digerakkan atau dikondisikan oleh para pimpinan top, middle dan lower yang sudah memilki prinsip standar moral kerja yang stabil. Sebagaimana hal tersebut yang sudah menjadi tuntutan untuk melakukan reformasi birokrasi yang dikomandoi oleh MANPAN.
Berbicara kinerja pemerintah adalah kinerja totalitas dari lembaga-lembaga pemerintahan pada tingkat pusat dan daerah.
Berikut adalah dua dimensi moral kerja yang dikemukakan oleh Sudarwan Danim (2004: 48-49) adalah sbb:
Moral Kerja Tinggi (Suasana Batin Positif)
Senang
Bersemangat
Menyelesaikan
Bekerja menyamping atau lateral
Mendorong
Terpanggil
Partisipasi maksimal
Percaya diri
Rasa sejawat
Inovatif
Moral Kerja Rendah (Suasana Batin Negatif)
o Tidak senang
o Loyo
o Menunda
o Bekerja vertikal
o Menghambat
o Ikatan ambil muka
o Partisipasi rendah
o Lepas-lepas
o Meniru
Kalau melihat dari fenomena yang ada saat ini, moral kerja kita masih kebanyakkan pada dimensi moral kerja rendah (suasana batin rendah). Maka pertanyaan yang perlu dipertanyakan adalah apa yang salah?.
Bagaimana Kinerja Jualan Bakso Keliling Siswa dan Mahasiswa?.
Penjual bakso keliling mempunyai target hasil penjulan bulanan. Target dalam arti standar. Misalnya dalam satu bulan berjualan bakso keliling harus mengantonggi keuntungan 1.000.000 rupuah. Penghasilan 1.000.000 rupiah satu bulan adalah standar. Jika dia mampu menghasilkan 1.200.000 rupiah dalam satu bulan berarti dia mempunyai presatasi sebesar 200.000 rupaih. Yang 1.000.000 dijadikan dana oprasional keseharian atau uang dibelanjakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup satu bulan dan yang 200.000 buat disimpan (saving).
Demikian juga prestasi belajar seorang siswa atau mahasiswa. Seorang siswa atau mahasiswa misalnya ingin memperoleh nilai ujian semester rata-rata 75.00, ternyata dia mampu memperoleh rata nilai 85.00 (atau lebih besar). Penambahan 10 angka dari angka standar angka 75.00 adalah prestasi. Kalau hanya mencapai standar juga prestasi karena sudah ada usaha untuk mencapai standar, tetapi orang pada umumnya hanya menyebutnya sebagai hasil yang biasa-biasa saja.
Bagaimana Kinerja Rumahtangga?.
Kinerja suatu rumahtangga sama dengan dengan kinerja suatu unit usaha atau unit organisasi atau tim. Satu rumahtangga terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak, mungkin ditambah pembatu rumahtangga. Jadi kinerja satu rumahtangga adalah kinerja satu unit keluarga atau kinerja tim. Kinerja satu unit keluarga atau tim dibangun atas kinerja personal atau individual yaitu kinerja bapak, kinerja ibu, kinerja anak dan kinerja pembantu rumahtangga jika menggunakan jasa pembantu rumahtangga. Yang diperlu di lihat dalam kinerja rumahtangga adalah sbb: kondisi ekonomi; keharmonisan dalam rumahtangga; Kesehatan; pendidikan anak.
Secara ekonomi apakah sudah lebih baik tahun ini dari satu tahun yang lalu. Keharmonisan dalam rumahtangga satu tahun ini sudahkah lebih baik dari satu tahun lalu. Apakah kondisi kesehatan orang-orang di dalam rumahtangga tahun ini sudah lebih baik dari satu tahun yang lalu, demikian juga dengan pendidikan anak, apakah prestasi belajarnya ada peningkatan tahun ini bila dibandingkan dengan satu tahun yang lalu. Jadi standarnya adalah berdasarkan apa yang telah diperoleh satu tahun yang lalu. Dalam kalimat lain, jadi untuk melihat kinerja rumahtangga satu tahun kedepan adalah berdasarkan apa yang telah diperoleh satu tahun kebelakang.
Apakah prestasi atau kinrja mencapai standar itu bukan prestasi atau kinerja?.
Mencapai prestasi atau kinerja sesuai standar juga prestasi atau kinerja tetapi tidak mencapai perubahan yang sangat berarti (perubahan yang signifikan). Atau prestasi disebut prestasi biasa-biasa saja. Jadi kalau seperti penjual bakso keliling tadi di atas, prestasi baru memcapai yaitu prestasi hanya dapat memenuhi kebutuhan oprasioal hidup dalam satu bulan. Karena prestasi atau kinerja mencapai standar yang akan digunakan untuk oprasional maka hasil prestasi itu akan habis digunakan dan tidak ada saving. Prestasi berjalan horizontal dan diagonal. Horizontal berarti prestasi itu bergerak datar atau selalu mencapai standar atau biasa-biasa saja, sedangkan prestasi berjalan diagonal berarti dari waktu ke waktu mengalami peningkatan. Misalnya, prestasi Sea Games KE 25 di Laos 2009, Indonesia memperoleh peringkat ke 3 dalam perolehan mendali. Posisi isi sudah dikatakan prestasi tetapi prestasi yang diharapkan adalah peringkat ke 1.
Kinerja Petani Dll.
Prestasi atau kinerja pentani jaggung misalnya. Misalkan saja seorang petani jaggung menaman jaggung seluas 10.000 meter. Dari dua atau tiga kali panen belakangan bisa menghasilkan dengan rata-rata 10 ton gabah jaggung. Berarti standar untuk satu kali panen kedepan adalah 10 ton. Jika ingin memperoleh prestasi atau kinerja maka harus bisa meningkatkan penghasilan lebih dari 10 ton. Kalau hanya mendapatkan hasil sama dengan 10 ton maka hanya mencai nilai standar atau biasa-biasa saja.
Demikian juga dengan profesi seperti tukang ojek, penelayan, dagang sembako dsb. Kesemuanya dapat dilihat dari prestasi atau kinerjanya. Prestasi dilihat dari hasil akhir dengan standar. Dalam hal lain standar juga disebut target, yaitu target yang dicapai. Kalau produktivitas dilihat dari hasil pembandingan antar input dan output.
Jadi kesimpulannya adalah, prestasi atau kinerja (ferpormance) dapat dilaksanakan/diimplementasikan bukan hanya pada tataran organisasi pemerintahan dan swasta tetapi juga dibanyak kegiatan atau aktivitas atau profesi yang dilakukan oleh manusia.
Reference
Wibowo (2007), Manajemen Kinerja: PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Payaman J. Simanjuntak (2005), Manajemen dan Evaluasi Kinerja: Fak. Ekonomi Univ. Indonesia
Sudarwan Danim (2004), Motivasi dan Kepemimpinan dan Efektivirtas Kelompok: Reneka Cipta, Jakarta
Undang-Undang Dasar RI 1945
Berbicara tentang kinerja pada umunya orang mengkaitkan dengan organisasi formal yaitu kinerja pemeritahan atau kinerja birokrasi dan kinerja dunia usaha atau perusahaan swasta, atau kinerja perusahaan setengah swasta seperti BUMN dan BUMD dan lain yang modal usahanya patungan antara pemeriantah dan pihak swasta. Kinerja juga ada atau terdapat dalam organisasi-organisasi kemasyakatan separti organisasi partai politik, organisasi keagamaan; organisasi kelompok professional seperti LSM, PGRI, Pengacara, dsb. Jadi ruang lingkung implementasi kinerja (ferpormance) cukup luas. Kinerja berkaitan dengan kinerja yang bersifat organisasional, kelompok (tim) dan/atau individu. Kinerja organisasi adalah total dari kinerja dari unit-unit pendung yang ada di dalam organisasi tersebut. Kinerja tim atau unit yang merupakan total kinerja dari orang perorangan yang ada di dalam tim atau unit kerja tertentu tersebut. Demikian pula kinerja individu merupakan kinerja dari perorangan (sifatnya individual/personal) baik dia berada di dalam suatu organsasi, tim atau unit dan/atau kinerja individu yang berdiri sendiri seperti pelajar, mahasiswa, usaha perorangan seperti pedang/penjual, rumahtangga, atua kinerja usaha warung sembanko dsb.
Apakah itu kinerja (ferpormance).
Kinerja berasal dari kata ferpormance (bahasa Inggris). Kinerja diartian dalam bahasa kita sehari-hari adalah prestasi kerja atau sebagai hasil kerja. Prestasi itu sendiri mempunyai arti positif, yaitu dikatakan berprestasi jika hasil kerja atau hasil usaha yang kita lakukan mencapai standar atau berada di atas standar tertentu yang sudah ditetapkan sebelumnya. Dan biasanya kalau hasil di bawah standar tidak disebut prestasi tetapi sering disebut kerungian, ketidakmampuan, ketidak berdayaan, kalah bersaing atau berkompetisi (dalam pertandingan atau perlombaan tertentu), disebut pula tidak beprestasi, atau disebut biasa-biasa saja . Dalam penggunaan kata kinerja juga ada kinerja baik dan kinerja buruk. Karena itu kinerja sama dengan prestasi atau kebalikannya prestasi adalah kinerja yang hasilnya bisa positif ataupun negatif.
Menurut Wibowo (2007:7) kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. Armstrong dan Buron (Wibowo,2007:7)kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan yang kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi.
Jadi kinerja adalah sebuah proses: melakukan pekerjaan untuk mencapai hasil; apa yang dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya; dan harus mempunyai tujuan.
Maksut pengertian proses kinerja di sini adalah untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan harus melalui suatu tindakan atau kegiatan (aktivitas) tertentu. Untuk itu memerlukan rentang waktu tertentu dan sumber daya lain yaitu manusianya sendiri, dana, prosedur, metode, teknologi dan informasi. Jadi untuk mencapai suatu hasil atau prestasi tidak semudah membalikan telapak tangan atau dalam kata lain tidak seperti mengigit cabe atau makan sambel cabe langsung merasakan pedas. Tidak semudah itu.
Dikatakan prestasi atau berprestasi karena mempunai nilai lebih dari ukuran atau standar yang telah ditetapkan sebelumnya. Jadi kalau hanya mencapai standar itu berarti baru kembali modal, belum mempunyai nilai tambah. Kalau standar dibuat 100 yang dihasilkan 110 maka yang 10 itu adalah suatu prestasi yang diperoleh.
Menurut Payaman J. simanjuntak (2005:1)kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu.
Dikatakan kinerja sebagai tingkat pencapaian hasil dalam pelaksanaan tugas/pekerjaan tertentu dapat kita fahami bahwa untuk mencapai hasil itu ada tingkatannya yaitu seperti tingkat pencapaian hasil rendah, sedang/cukup dan tinggi.
Dari definisi kinerja di atas maka dapat disimpulkan: kinerja adalah proses melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai hasil (tujuan) tertentu, pada tingkatan tertentu (menggunakan standar) dengan menggunakan cara-cara tertentu.
Impelentasi Konkrit Kinerja (Pelaksanaan Konkrit Kinerja).
Visi bangasa Indonesia salah satunya adalah mencerdasakan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945) maka dibutuhkan lembaga untuk melaksanakan tugas tersebut. Jadi lembaga formal pemerintahan yang melaksanakan visi dan juga dirumuskan ke dalam misi oleh lembaga tersebut yang dalam hal ini dilakukan dan menjadi atau dijadikan kewenangan dan kekuasaan oleh departemen Depdiknas. Dalam hal ini bagaimana usaha Depdiknas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui proses lembaga pendidikan atau pesekolahan. Tentu dalam hal ini pula Depdiknas harus mempunyai ukuran kinerja dari tahun ketahun dan harus ada peningkatan dengan standar tingkatan yang tertentu dan jelas, dilakukan berkesinambungan. Karena visi sudah mempunayai kekuatan hukum dalam pembukaan UUD 1945 dan itu sangat realistis dan rasional karena semua bangsa mempunyai tujuan yang sama yaitu mencerdaskan kehidupan bangasanya dalam rangka pencapaian kesejahteraan hidup bangsa. Oleh karena itu, visi tersebut sudah mempunyai keketapan dan yang berubah atau dilakukan perubahab adalah strategi (cara) atau metode (pendekatan) yang digunakan dalam rangka mencapai visi bangsa tersebut. Perubahan dalam arti adanya penyesuaian-penyesuaian sehingga tercipta terintegritid atau menjadi satu kesatuan untuk menwujudkan kehidupan bangsa yang cerdas.
Kinerja Depdiknas adalah totalitas dari kinerja unit-unitnya mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah maupun departemen sebagai subdiknas yang menyelenggarakan pendidikan atau persekolahan seperti Departemen Agama dan deparemen-departemen lain yang menyelenggarakan pendidikan atau pesekolahan yang bersifat kedinasan. Kinerja dari departemen dan unit-unit yang ada merupakan kinerja dari perseorangan atau kinerja individu.
Jadi keberhasilan Diknas dalam mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan hasil atau prestasi atau kinerja positif tetapi sebaliknya ketidakberhasilan juga merupakan hasil atau prestasi atau kinerja negatif dari Diknas pula.
Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas dan tujuan yang sangat mulia (tinggi) maka setiap lembanga yang menyelenggarakan pendidikan harus di isi dengan sumber daya manusia yang bermoral dan beretika positif; tidak korup tidak pugli, mempunyai edialisme untuk kemajuan pendidikan, mempunyai mental dan hati nurani siap melayani dengan kesungguhan bukan dilayani, bertanggung jawab dan dapat dipertanggungjawabkan, tidak hanya sekedar mencari kehidupan tetapi mempunyai tanggung jawab untuk menghidupkan semangat pengabdian mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini adalah prinsip-prinsip standar moral kerja yang harus dimiliki oleh semua SDM yang menyelenggarakan , melaksanakan atau mengelola pendidikan. Hal ini harus digerakkan atau dikondisikan oleh para pimpinan top, middle dan lower yang sudah memilki prinsip standar moral kerja yang stabil. Sebagaimana hal tersebut yang sudah menjadi tuntutan untuk melakukan reformasi birokrasi yang dikomandoi oleh MANPAN.
Berbicara kinerja pemerintah adalah kinerja totalitas dari lembaga-lembaga pemerintahan pada tingkat pusat dan daerah.
Berikut adalah dua dimensi moral kerja yang dikemukakan oleh Sudarwan Danim (2004: 48-49) adalah sbb:
Moral Kerja Tinggi (Suasana Batin Positif)
Senang
Bersemangat
Menyelesaikan
Bekerja menyamping atau lateral
Mendorong
Terpanggil
Partisipasi maksimal
Percaya diri
Rasa sejawat
Inovatif
Moral Kerja Rendah (Suasana Batin Negatif)
o Tidak senang
o Loyo
o Menunda
o Bekerja vertikal
o Menghambat
o Ikatan ambil muka
o Partisipasi rendah
o Lepas-lepas
o Meniru
Kalau melihat dari fenomena yang ada saat ini, moral kerja kita masih kebanyakkan pada dimensi moral kerja rendah (suasana batin rendah). Maka pertanyaan yang perlu dipertanyakan adalah apa yang salah?.
Bagaimana Kinerja Jualan Bakso Keliling Siswa dan Mahasiswa?.
Penjual bakso keliling mempunyai target hasil penjulan bulanan. Target dalam arti standar. Misalnya dalam satu bulan berjualan bakso keliling harus mengantonggi keuntungan 1.000.000 rupuah. Penghasilan 1.000.000 rupiah satu bulan adalah standar. Jika dia mampu menghasilkan 1.200.000 rupiah dalam satu bulan berarti dia mempunyai presatasi sebesar 200.000 rupaih. Yang 1.000.000 dijadikan dana oprasional keseharian atau uang dibelanjakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup satu bulan dan yang 200.000 buat disimpan (saving).
Demikian juga prestasi belajar seorang siswa atau mahasiswa. Seorang siswa atau mahasiswa misalnya ingin memperoleh nilai ujian semester rata-rata 75.00, ternyata dia mampu memperoleh rata nilai 85.00 (atau lebih besar). Penambahan 10 angka dari angka standar angka 75.00 adalah prestasi. Kalau hanya mencapai standar juga prestasi karena sudah ada usaha untuk mencapai standar, tetapi orang pada umumnya hanya menyebutnya sebagai hasil yang biasa-biasa saja.
Bagaimana Kinerja Rumahtangga?.
Kinerja suatu rumahtangga sama dengan dengan kinerja suatu unit usaha atau unit organisasi atau tim. Satu rumahtangga terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak, mungkin ditambah pembatu rumahtangga. Jadi kinerja satu rumahtangga adalah kinerja satu unit keluarga atau kinerja tim. Kinerja satu unit keluarga atau tim dibangun atas kinerja personal atau individual yaitu kinerja bapak, kinerja ibu, kinerja anak dan kinerja pembantu rumahtangga jika menggunakan jasa pembantu rumahtangga. Yang diperlu di lihat dalam kinerja rumahtangga adalah sbb: kondisi ekonomi; keharmonisan dalam rumahtangga; Kesehatan; pendidikan anak.
Secara ekonomi apakah sudah lebih baik tahun ini dari satu tahun yang lalu. Keharmonisan dalam rumahtangga satu tahun ini sudahkah lebih baik dari satu tahun lalu. Apakah kondisi kesehatan orang-orang di dalam rumahtangga tahun ini sudah lebih baik dari satu tahun yang lalu, demikian juga dengan pendidikan anak, apakah prestasi belajarnya ada peningkatan tahun ini bila dibandingkan dengan satu tahun yang lalu. Jadi standarnya adalah berdasarkan apa yang telah diperoleh satu tahun yang lalu. Dalam kalimat lain, jadi untuk melihat kinerja rumahtangga satu tahun kedepan adalah berdasarkan apa yang telah diperoleh satu tahun kebelakang.
Apakah prestasi atau kinrja mencapai standar itu bukan prestasi atau kinerja?.
Mencapai prestasi atau kinerja sesuai standar juga prestasi atau kinerja tetapi tidak mencapai perubahan yang sangat berarti (perubahan yang signifikan). Atau prestasi disebut prestasi biasa-biasa saja. Jadi kalau seperti penjual bakso keliling tadi di atas, prestasi baru memcapai yaitu prestasi hanya dapat memenuhi kebutuhan oprasioal hidup dalam satu bulan. Karena prestasi atau kinerja mencapai standar yang akan digunakan untuk oprasional maka hasil prestasi itu akan habis digunakan dan tidak ada saving. Prestasi berjalan horizontal dan diagonal. Horizontal berarti prestasi itu bergerak datar atau selalu mencapai standar atau biasa-biasa saja, sedangkan prestasi berjalan diagonal berarti dari waktu ke waktu mengalami peningkatan. Misalnya, prestasi Sea Games KE 25 di Laos 2009, Indonesia memperoleh peringkat ke 3 dalam perolehan mendali. Posisi isi sudah dikatakan prestasi tetapi prestasi yang diharapkan adalah peringkat ke 1.
Kinerja Petani Dll.
Prestasi atau kinerja pentani jaggung misalnya. Misalkan saja seorang petani jaggung menaman jaggung seluas 10.000 meter. Dari dua atau tiga kali panen belakangan bisa menghasilkan dengan rata-rata 10 ton gabah jaggung. Berarti standar untuk satu kali panen kedepan adalah 10 ton. Jika ingin memperoleh prestasi atau kinerja maka harus bisa meningkatkan penghasilan lebih dari 10 ton. Kalau hanya mendapatkan hasil sama dengan 10 ton maka hanya mencai nilai standar atau biasa-biasa saja.
Demikian juga dengan profesi seperti tukang ojek, penelayan, dagang sembako dsb. Kesemuanya dapat dilihat dari prestasi atau kinerjanya. Prestasi dilihat dari hasil akhir dengan standar. Dalam hal lain standar juga disebut target, yaitu target yang dicapai. Kalau produktivitas dilihat dari hasil pembandingan antar input dan output.
Jadi kesimpulannya adalah, prestasi atau kinerja (ferpormance) dapat dilaksanakan/diimplementasikan bukan hanya pada tataran organisasi pemerintahan dan swasta tetapi juga dibanyak kegiatan atau aktivitas atau profesi yang dilakukan oleh manusia.
Reference
Wibowo (2007), Manajemen Kinerja: PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Payaman J. Simanjuntak (2005), Manajemen dan Evaluasi Kinerja: Fak. Ekonomi Univ. Indonesia
Sudarwan Danim (2004), Motivasi dan Kepemimpinan dan Efektivirtas Kelompok: Reneka Cipta, Jakarta
Undang-Undang Dasar RI 1945
Monday, December 21, 2009
HARI IBU MOMEN INTROPEKSI DAN EVALUASI
HARI IBU MOMEN INTROPEKSI DAN EVALUASI
Hari ibu adalah suatu momen untuk melakukan intropeksi dan evaluasi diri, apa saja yang sudah dilakukan atau peran apa saja yang telah dilakukan dalam perjalanan setahun ini, tahun 2009. Terutamanya dalam hal pendidikan anak-anak yang berkualitas. Seorang ibu sejak mulai mengandung sampai dengan anak bisa mandiri (bisa mengurusin dirinya sendiri): apakah sudah memberikan pendidikan dan perhatian terahadap anak? atau dalam bahasa “pelayanan” yaitu, apakah ibu sudah benar-benar berpihak kepada pelayanan pendidikan anak-anaknya?. Seorang ibu merupakan pelayan bagi anak-anaknya.
Secara kodrati pengurusan dan pendidikan anak yang utama adalah menjadi tugas seorang ibu disamping juga tugas seorang bapak. Seorang ibu adalah kepada rumah tangga sedang peran bapak adalah kepala keluarga. Jadi keluarga atau rumahtangga seperti juga sebuah organisasi pemerintahan atau organisasi nonpemerintahan. Kalau di dalam sebuah organisasi, sebagai kepala rumahtangga itu tugasnya apa sih?. Demikian pula tugas ibu sebagai kepala rumahtangga itu apa?. Fungsi sebagai kepala rumahtangga tidak boleh diabaikan, itu sudah merupakan kodrat, meskipun mengambil peran sebagai wanita karier. Artinya, jangan sampai pendidikan anak lebih besar didelegasikan/dilimpahkan ke pembantu. Banyak kasus anak orang kaya secara ekonomi tidak karuan pendidikan anaknya seperti menjurus ke Narkoba dsb, karena anak hanya dilanyai dengan uang semata. Tidak ada pelayanan dalam komunkasi yang baik, perhatian, bimbingan, arahan.
Bukannnya surga dibawah telapak kaki ibu tetapi bisa terjadi sebaliknya neraka dibawah telapak kaki ibu. Hal ini bisa terjadi jika ibu salah dalam mendidik anak.Bukan hanya anak harus tunduk/patuh kepada ibu tetapi yang penting apa soerang ibu sudah memberikan pelayanan perhatian pendidikan dan pengetahaun agar si anak bisa mengikuti apa kata ibunya, tunduk/patuh?. Seperti tuntutan masyarakat pada umunya adalah kualitas pelayanan birokrasi pemerintah rendah. Maka untuk meningkatkan kualitas pelayanan birokrasi pemerintah rendah harus dikerjakan orang-orang yang berkualitas atau professional. Demikian juga dengan kualitas pelayanan pendidikan anak di dalam rumahtangga. Kalau ingin anak yang berkualtias maka harus dididik, diasuh/dibimibing seorang ibu yang berkualitas atau professional. Rosional, logika dan edialnya kan seperti itu. Disilah pentingnya peran wanita untuk meningkatkan kualitas melalui pendidikan agar mampu mengeban tugas atau melaksanakan peran kodratinya sebagai pendidikan anak-anaknya. Kalau tingkat kualitas pendidikan seorang ibu minsalnya lulusan SMA atau sederajat, jika anaknya kesulitan mengerjakan PR atau ada yang tidak mengerti berkaitan dengan pelajaran di sekolah, sang ibu bisa melayani atau memberi bantuan. Apalagi lulusan deploma dan sarjana penuh. Banyak kita temukan kasus seorang anak bertanya kepada ibunya “Bu ini bagaimana cara mengerjakannya”. Jawabannya: “Sono tanya pada bapak mu atau sama guru mu!”. Bertanya kepada bapaknya jawabanya sama "sono tanya sama ibumu atau sama gurumu . Mungkin saja dalam hati anak protes, bapak ibu bisanya kasih makan doang/saja”. Kenapa terjadi seperti itu?, mungkin kedua orangtuanya juga dulunya sekolah lulus karena kasihan atau dengan pertimbangan sekolah yaitu daripada bermasalah atau bikin penyakit bagi siswa yang lain, ya lulusin aja, entar selanjunya urusan dia dan kedua orangtuanya. Masalah yang bermasalah. Mau melanjutkan nilai rendah; bisanya diterima disekolahan swasta harus bayar mahal; pengahsilan orang tua kecil; tidak sekolah pengangguran. Pikiran jadi mentok. Mentok-mentoknya pilihan berkeluarga. Ekonomi nebeng/boncengan sama orang tua atau mertua. Beranakpianak, ekonomi tidak semakin membaik, bertambahlah sederatan kemiskinan ekonomi, pengetahuan dan keterampilan.
Oleh karena itu, bapak dan ibu, terutama kepada ibu-ibu. Dengan momen hari ibu sekarang ini, tahun ini (2009), jadikan bahan intropeksi, evaluasi, tehadap peran kodrati sebagai ibu pendidik anak-anak di rumah: apa yang telah dilakukan selama setahun ini dan akan melakukan apa pada tahun 2010 yang sebentar lagi akan tiba. Bukan sekedar festa makan dan lain-lainnya. Ingatkan kembali kepada kalimat yang syarat dengan motivasi yaitu ‘hari esok harus lebih baik dari hari” atau “tahun 2010 harus lebih baik dari tahun 2009”. Kata-kata “harus” sama artinya dengan “wajib”. Hukum wajib seperti apa?, tanya pada “rumput yang bergoyang” (kata Ebit G. Ade). Artinya, tanyakan kepada orang cerdik pandai, yang tahu tentang hukum wajib, bisa Ustadz/Ustadzah dsb.
“SELAMAT MEMPERINGATI HARI IBU, DENGAN PERINGATAN INI SEKALIGUS MENGINGGATKAN PENINGKATAN KUALITAS ATAU PROFESSIONALITAS PARA IBU DAN CALON-CALON IBU”
Hari ibu adalah suatu momen untuk melakukan intropeksi dan evaluasi diri, apa saja yang sudah dilakukan atau peran apa saja yang telah dilakukan dalam perjalanan setahun ini, tahun 2009. Terutamanya dalam hal pendidikan anak-anak yang berkualitas. Seorang ibu sejak mulai mengandung sampai dengan anak bisa mandiri (bisa mengurusin dirinya sendiri): apakah sudah memberikan pendidikan dan perhatian terahadap anak? atau dalam bahasa “pelayanan” yaitu, apakah ibu sudah benar-benar berpihak kepada pelayanan pendidikan anak-anaknya?. Seorang ibu merupakan pelayan bagi anak-anaknya.
Secara kodrati pengurusan dan pendidikan anak yang utama adalah menjadi tugas seorang ibu disamping juga tugas seorang bapak. Seorang ibu adalah kepada rumah tangga sedang peran bapak adalah kepala keluarga. Jadi keluarga atau rumahtangga seperti juga sebuah organisasi pemerintahan atau organisasi nonpemerintahan. Kalau di dalam sebuah organisasi, sebagai kepala rumahtangga itu tugasnya apa sih?. Demikian pula tugas ibu sebagai kepala rumahtangga itu apa?. Fungsi sebagai kepala rumahtangga tidak boleh diabaikan, itu sudah merupakan kodrat, meskipun mengambil peran sebagai wanita karier. Artinya, jangan sampai pendidikan anak lebih besar didelegasikan/dilimpahkan ke pembantu. Banyak kasus anak orang kaya secara ekonomi tidak karuan pendidikan anaknya seperti menjurus ke Narkoba dsb, karena anak hanya dilanyai dengan uang semata. Tidak ada pelayanan dalam komunkasi yang baik, perhatian, bimbingan, arahan.
Bukannnya surga dibawah telapak kaki ibu tetapi bisa terjadi sebaliknya neraka dibawah telapak kaki ibu. Hal ini bisa terjadi jika ibu salah dalam mendidik anak.Bukan hanya anak harus tunduk/patuh kepada ibu tetapi yang penting apa soerang ibu sudah memberikan pelayanan perhatian pendidikan dan pengetahaun agar si anak bisa mengikuti apa kata ibunya, tunduk/patuh?. Seperti tuntutan masyarakat pada umunya adalah kualitas pelayanan birokrasi pemerintah rendah. Maka untuk meningkatkan kualitas pelayanan birokrasi pemerintah rendah harus dikerjakan orang-orang yang berkualitas atau professional. Demikian juga dengan kualitas pelayanan pendidikan anak di dalam rumahtangga. Kalau ingin anak yang berkualtias maka harus dididik, diasuh/dibimibing seorang ibu yang berkualitas atau professional. Rosional, logika dan edialnya kan seperti itu. Disilah pentingnya peran wanita untuk meningkatkan kualitas melalui pendidikan agar mampu mengeban tugas atau melaksanakan peran kodratinya sebagai pendidikan anak-anaknya. Kalau tingkat kualitas pendidikan seorang ibu minsalnya lulusan SMA atau sederajat, jika anaknya kesulitan mengerjakan PR atau ada yang tidak mengerti berkaitan dengan pelajaran di sekolah, sang ibu bisa melayani atau memberi bantuan. Apalagi lulusan deploma dan sarjana penuh. Banyak kita temukan kasus seorang anak bertanya kepada ibunya “Bu ini bagaimana cara mengerjakannya”. Jawabannya: “Sono tanya pada bapak mu atau sama guru mu!”. Bertanya kepada bapaknya jawabanya sama "sono tanya sama ibumu atau sama gurumu . Mungkin saja dalam hati anak protes, bapak ibu bisanya kasih makan doang/saja”. Kenapa terjadi seperti itu?, mungkin kedua orangtuanya juga dulunya sekolah lulus karena kasihan atau dengan pertimbangan sekolah yaitu daripada bermasalah atau bikin penyakit bagi siswa yang lain, ya lulusin aja, entar selanjunya urusan dia dan kedua orangtuanya. Masalah yang bermasalah. Mau melanjutkan nilai rendah; bisanya diterima disekolahan swasta harus bayar mahal; pengahsilan orang tua kecil; tidak sekolah pengangguran. Pikiran jadi mentok. Mentok-mentoknya pilihan berkeluarga. Ekonomi nebeng/boncengan sama orang tua atau mertua. Beranakpianak, ekonomi tidak semakin membaik, bertambahlah sederatan kemiskinan ekonomi, pengetahuan dan keterampilan.
Oleh karena itu, bapak dan ibu, terutama kepada ibu-ibu. Dengan momen hari ibu sekarang ini, tahun ini (2009), jadikan bahan intropeksi, evaluasi, tehadap peran kodrati sebagai ibu pendidik anak-anak di rumah: apa yang telah dilakukan selama setahun ini dan akan melakukan apa pada tahun 2010 yang sebentar lagi akan tiba. Bukan sekedar festa makan dan lain-lainnya. Ingatkan kembali kepada kalimat yang syarat dengan motivasi yaitu ‘hari esok harus lebih baik dari hari” atau “tahun 2010 harus lebih baik dari tahun 2009”. Kata-kata “harus” sama artinya dengan “wajib”. Hukum wajib seperti apa?, tanya pada “rumput yang bergoyang” (kata Ebit G. Ade). Artinya, tanyakan kepada orang cerdik pandai, yang tahu tentang hukum wajib, bisa Ustadz/Ustadzah dsb.
“SELAMAT MEMPERINGATI HARI IBU, DENGAN PERINGATAN INI SEKALIGUS MENGINGGATKAN PENINGKATAN KUALITAS ATAU PROFESSIONALITAS PARA IBU DAN CALON-CALON IBU”
Sunday, December 20, 2009
PEMBANGUNAN MORAL/ETIKA DAN ANCAMANNYA
PEMBANGUNAN MORAL/ETIKA DAN ANCAMANNYA
Berbicara tentang moral adalah bebicara tentang baik dan buruk sebagaimana juga kita berbicara tenang etika juga berbicara baik dan buruk. Kalau bebericara moral dan etika pada umumnya orang-orang akan membicarakan tentang hal-hal yang baik, karena pada prinsipnya orang-orang mengingikan sesuatu dilakukan atau memperlakukan maupun diperlakukan dengan cara-cara baik. Sesuatu yang baik dipersepsikan oleh orang-orang adalah adalah hal-hal yang baik, maka yang tidak baik adalah hal-hal yang tidak bermoral dan beretika. Hal-hal yang baik adalah sikap dan perilaku yang dihasilkan oleh seseorang, beberapa orang, atau sekelompok orang terhadap seseorang, beberapa orang atau sekelompok orang.
Moral pada umunya dikaitan dengan agama, karena agama adalah ajaran moral, sumbernya diyakini atau merujuk kepada Tuhan. Mengajarkan atau menyampaikan ajaran atau perintah atau ajakan kepada perbaiklan sikap dan perbuatan tentang nilai-nilai kebaikan-kebaikan sedangkan etika dikaitkan dengan pengetahuan, merupakan hasil dari yang hasil pemikiran manusuia di dalam praktik-praktik kehidupan.
Apa Itu Moral dan Apa Itu Etika?
Moral adalah (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti, susila. (versi Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Jadi simpel, yang baik yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban adalah mengandung prinsip-prinsip moral, sedangkan yang tidak diterima umum mengenai perbuatan, sikap, keawajiban mengandung prinsip-prinsip tidak bermoral
Sudarwan Danim (2004) membedakan moral ke dalam dua dimensi yaitu moral tinggi dan moral renah. Kalau melihat adanya moral tinggi dan moral rendah, maka yang kita semua sepakat dan harapkan adalah moral tinggi. Lalu bagaimana dengan moral rendah?. Moral yang rendah tentu kita sepakat dan kita mengharapkan tidak terjadi. Kalaupun itu terjadi, masih bisa kita lakukan dengan berbagai upaya supaya moral meningkat dari yang rendah kepada yang lebih baik dan tinggi. Artinya dikodisikan agar dari moral rendah dilakukan perubahan atau pengeseran kepada yang lebih baik dan tinggi. Ada peningkatan dari yang rendah kepada lebih tinggi. Yang disayangkan dan tidak kita inginkan semua adalah kalau kondisi moral yang rendah bergerak kelebih yang renah lagi. Atau lebih dekatnya dapat dikatakan “tidak bermoral”. Kita yakin semua bahwa kita sepakat dan berharap pada satu tujuan yaitu roral yang tinggi atau bermoral. Bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik buruk; berakhlak baik; sesaui dengan moral (adat sopan santun dsb). Simplenya, melakukan perbautan, bersikap dan kewajiban harus mempetimbangkan baik dan buruk. Kalau itu baik maka lanjutkan dan jika tidak baik ia jangan dilakukan. Tujuanya, agar perbauatan, sikap dan melakukan kewajiban menunjukkan yang bermoral yang diterima umum atau masyarakat.
Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Ini adalah etika dalam sudut pandang keilmuan. Kemudian dalam praktik (implementasi-oprsionalisasi), baik dalam keluaraga/rumahtangga, dalam berkumpul/berserikat, pemerintahan/birokrasi atau dalam berbangsa dan bernegara kita juga mengenal “etik” atau “kode etik”. Adanya etik dan kode etik adalah dalam rangka memberikan batasan-batasan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, dengan tujuan terciptanya keteraturan sehinga tidak berbenturan satu dengan yang lain. Dengan demikian apa itu etik?. Etik adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan dan masyarakat. Jadi etika sebagai ilmu, dipelajari dan diajarkan. Etika bukan hanya dipelajari dan diajarkan tetapi harus dipraktikkan didalam berbagai segi kehidupan dan pembangunan. Maka etik atau kode etik adalah pelaksanaan dalam praktik. Di dalam kehidupan sudah terdapat ajaran etika/etik seperti dalam rumah tangga/atau keluara dan bergaul/pergaulan hidup bertangga secara tidak tertulis. Kalau kode etik sudah berbentuk formal (tertulis) seperti kode etik profesi, kode etik penyelengaraan dan pelaksanaan pemerintahanan. Juga terdapat di dalam organisasi informal. (bicara Etika dan etik di atas disarikan dari Kamus Besar Indonesia).
Maka dapat disimpulkan moral/etika adalah ajaran tentang asas atau nilai tentang baik dan buruk tetapi lebih menekankan pencitaan dan pelaksanaan pada sisi kebaikan daripada keburukan. Ajaran moral dan ajaran etika datang dari kutub berbeda yang mempunyai sisi terang dan gelap (baik dan buruk) dengan tujuan yang sama mengedepankan sisi terang atau kebaikan.
Bagaimana Memperbaiki Moral/Etika Buruk atau Moral/Etika yang Rendah?
Membangun atau memperbaiki moral/Etika meliputi tiga dimensi (aspek) yaitu; keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat.
Keluarga adalah satu rumahtangga yang terdiri kedua orang tua dan anak-anak. Pertanyaannya adalah, apakah di dalam keluarga sudah ada nilai moral/etika tertanam, ditumbuhkan dan dikembangkan. Karena ini penting. Pentingnya apa?. Penting karena keluarga adalah sumber untuk sumber yang lainnya. Kalau kita umpakan keluarga adalah sumber mata air yang bersih dan mengalir keluar ke dalam lembaga pendidikan (kali/sugai) dan akan bermuara ke lautan luas (masyarakat luas). Kalau di dalam keluarga sudah tertanam, tumbuh dan berkembang, kemudian di lembaga pendidikan juga dilanjutkan tanam, tumbuh dan kembangakan dan masyarakat yang akan menikmati haslinya. Di dalam keluarga dan lembaga pendidikan adalah dua tahapan proses penanaman, penumbuh kembangkan ajaran moral/etika. Jika ke dua tahapan proses tersebut sudah mengalir dengan baik dan seberapa kuat bangunan moral/etika tersebut sudah tetanam, tumbuh dan pengembangannya. Kita ketahui bahwa lautan adalah muara dari banyak sungai. Semua kotoran dari sungai masuk ke lautan luas. Maka kalau dari mata air (keluarga) sudah bersih dan di lembaga pendidikan (kali/sugai) bersih, sudah pasti menghasilkan lautan yang bersih (masyarakat yang bersih). Tinggi atau baik kualitas air lautan. Tinggi atau baik kuliatas moral/etika dari masyarakat. Sebaliknya, kalau dari mata air (keluarga) sudah kotor dan di lembaga pendidikan (kali/sugai) kotor, sudah pasti menghasilkan lautan yang kotor dan kotor (masyarakat yang kotor). Rendah atau buruk kualitas air lautan. Rendah atau buruk kuliatas moral/etika dari masyarakat.
Tadi sudah sudah disinggung bahwa seberapa kuat banggunan moral/etika sudah tertanam, tumbuh dan pengembangannya di dalam keluarga dan lembanga pndidikan (formal, informal, nonforma). Kuat tidaknya akan teruji jika hasil proses pendidikan moral/etika di dalam keluarga dan di lembaga pendidikan di dalam masyarakat. Jadi masyarakat adalah acaman bagi hasil proses pendidikan moral/etika yang dihasilkan oleh keluarga dan lembaga pendidikan. Misalnya begini, manusia keluaran proses pendidikan moral/etika di keluarga dan pendidikan sudah baik tetapi begitu masuk ke dalam masyarakat sebagai dunia proses ketiga menjadi terganggu. Terganggunya karena ajaran moral di keluarga dan di lembaga pendidikan tidak berlaku dimasyarakat (lautan masyarat yang sudah kotor). Jadilah manusia tadi terbegong-begong, sambil berkata dalam hatinya “gila”. Melihat media elektronik, membaca dimedia cetak lagi-lagi penuh dengan berita rendahnya moral/etika. Apalagi yang menjadi contoh yang sehararusnya memberikan contoh dan tauladan menunjukkan atau memberikan cara-cara perbautan, sikap, dan tanggung jawab yang dilihat dari dimensi moral/etika adalah dipersepsikan rendah atau lebih ekstrim “tidak bermoral” dirasa dengan standar/ukuran yang moral/etika minimal sekalipun sudah tidak cocok. Masyarakat yang dimaksudkan disini adalah masyarakat pada sektor publik, dunia usaha (swasta), dan masyarakat biasa (tidak berada dalam sektor publik dan swasta). Demikian juga dilihat dan dirasakan setelah masuk ke dalam kelompok kerja pada sektor publik, setengah publik dan swasta. Dari segi perbandingan sudah tidak seimbang maka terseret dan terkontamisasi juga dengan budaya lingkungan kerja yang ada. faktor yang mempengaruhi sangat dominan dari faktor penolakan. Banyak contoh kasus pelanggaran moral/etika yang sudah diputuskan lembaga yang berwenang dan masih banyak pula masih dalam tahap proses untuk diputuskan serta banyak pula yang bermunculan kasus-kasus baru. Jadi antara yang diproses dan diputuskan lembaga hukum dengan yang baru muncul kejar-kejaran dan salin menyalip. Maka mana yang kuat akan melemahkan yang lemah. Suatu indikasi kuatnya penghacuran moral/etika seperti kata teman saya yang punya teman dan temanya punya kawan mengatakan “jika tidak ikut, takut dikatan tidak loyal”. Bisa kita tangkap maksudnya, cara-cara tidak baik yang dilakukan sang nahoda harus turuti, yang tidak berarti tidak loyal. karena tidak loyal kinerja baikpun jadi tidak baik. Kemudian ada lagi , saya punya kawan dan kawan saya punya teman dan temannya punya teman lagi mengatakan “jika tidak ikut maka tidak usah ikut kelompok atau organisasi pemerinatah, kalau ikut maka harus menerima, tidak menerima kosekuensinya akan tersingkirkan lingkungan kerja atau orang yang tidak dipakai". Dapat kita fahami maksudnya, ajakan berbuat yang tidak seharusnya secara “berjemaah”. Kalau di dalam ilmu administrasi disebutkan kerjasama dua orang atau lebih untuk mencapai suatu tujuan. Ada pula menggunakan ilmu manajemen yaitu mencapai tujuan dengan atau lewat orang lain. Kedua sebutan itu bisa juga disalahgunakan untuk mencapai tujuan tidak baik secara kelompok atau tujuan sendiri dengan mengorbakan orang lain (memanfaatkan orang lain). Di sini perlu ditegakkannya moral/etika dalam admistrasi dan manajemen untuk tujuan yang baik (positif) agar terhindar dari perbuatan dan sikap yang tidak bermoaral/tidak beretika. Sebagiamana disebutkan oleh Wahyudi Kumorotomo (2005), untuk kelestarian peradaban manusia kesadaran akan moral mutlak diperlukan….Tidak dibayangkan bagaimana proses sosial itu akan berjalan dengan tertib andaikata kaidah-kaidah moral tidak lagi dipatuhi oleh setiap individi.
Dari apa yang dikatakan oleh Wahyudi Kumorotomo di atas dapat difahami secara simpel bahwa peradapan manusia hanya akan lestari (di Indonesia khsusnya)jika manusianya sadar atas penegakan moral/etika di dalam keluarga, di lembaga pendidikan dan dimasyarakat. Peradapan manusia juga peradaban suatu bangsa karena manusialah menduki suatu bangsa, karena manusialah yang terikat dengan moral/etika. Apa ada selain manusia sebagai penghuni bumi ini yang terikat moral/etika?.
Jadi keutuhan suatu bangsa juga dibangun moral/etika disamping politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan dsb harus dibangun dengan moral/etika. Penegakan supermasi hukum juga tidak terlepas dari penegakan moral/etika. Artinya tidak efektifnya penegakan moral/etika akan sulit atau tidak efektif penegakan supermasi hukum. Seperti telah disebutkan di atas, antara kasus yang ditangani dengan pemunculan kasus baru saling kejar mengejar.
Penegakan moral/etika bersifat himbaukan supaya guru melalui lembaga pendidikan melakukan atau memberikan pendidikan moral melalui pendidikan agama. Himbauan juga dibayang-bayangi dengan peningkatan kesejahteraan guru. Saya garisbawahi himbauan tersebut. Bukan guru agama saja yang harus memberikan pendidikan moral/etika tetapi semua guru. Karena semua guru adalah orang lulusan pendidikan. Kita ketahui bahwa lulusan pendidikan itu bukan hanya memperluas dan memperdalam pengetahuan (knowledge) tetapi juga keterampilan (skill) dan sikap dan pendirian (attitude) dan pendidikan moral/etika (pendidikan agama). Dan pula kita ketahui bahwa tidak ada penduduk bangsa ini yang tidak mengikatkan diri dengan agama tertentu. Semua beragama dan oleh karena itu maka jawabannya adalah semua penduduk Indonesia adalah bermoral. Lalu kenapa moral/etika itu tidak muncul secara baik dalam masyarakat kita?.
Peningkatan kesejahteraan jika tidak dikaitan dengan peningkatan kinerja maka yang ada adalah kesejahteraan meningkat tapi kinerja statis atau menurun. Logika sederhananya begini, orang kalau sudah kekeyangkan makan bawaannya ngantuk dan malas. Orang berpikir kerja malas dengan kerja rajin kesejahteraannya sama, lalu mengapain rajin-rajin!. Dengan kondisi demikian orang akan memilih statis (biasa-biasa atau tengah-tengah). Dengan kondisi demikian maka proses dan hasil pendidikan kualitasnya biasa-biasa saja, tidak ada yang mencegangkan atau mengucapkan kata “hebat”, raga kagum. Logika sederhana lain, semangat orang pekerja harian tidak sama dengan orang pekerja borongan. Artinya, bekerja dengan standar tertentu yang harus dicapai jauh lebih siap dan bersemangat. Pekerja harian jika lemah control maka lemah pula semangat kerjanya, kalau kerja borongan yang melakukan kontrol adalah dari pekerja itu sendiri. Mental seperti ini bisa dirujuk kepada teori motivasi manusia tipe X da Y dari McGregor (Sudarwan Danim,2004). Dengan model menilai kinerja sendiri tidak efektif. Logikanya sederhana dalam dunia nyata, “hampir” tidak ada orang memberi nilai kinerjanya tidak baik dan mengatakan dirinya adalah berkinerja baik. Di dalam psikologi kepribadian mengatatkan, orang akan menampilkan kepada orang lain yang baik-baik saja, bukan yang sesungguhnya. Yang demikian disebutkan kedok/topeng. Seperti sering kita kemukakan bahwa mental kejujuran masih lemah. Lemahnya kejujuran karena moral/etika belum berdiri tegak.
Jadi agar segi kebermanfaatannya dalam pemberian kesejahteraan terhadap peningkatkan kinerja harus ada yang terukur dan tersetandar agar penggunaan dana untuk itu benar-benar efektif sebagai alat motivasi. Karena seseorang yang bermotivasi kerja tinggi berarti pula punya moral/etika kerja yang tinggi. Aspek kemanusiaan dengan peningkatan kesejahteraan dan aspek pelaksanaan tugas harus berdampingan.
Penutup.
Pembangunan moral/etika sama pentingnya dengan pembangunan bidang-bidang lainnya seperti politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan supermasi hukum yang bermoral/beretika. Pembangunan moral/etika di dalam keluarga diteruskan di lembaga pendidikan dan di semua lapisan masyarakat harus pula menunjukkan contoh dan tauladan dalam bersikap perilaku dan tanggung jawab yang bermoral/beretika, karena masyarakat merupakan ancaman besar terhadap pores dan hasil pembinaan moral/etika yang telah dilakukan di dalam keluarga dan di lembaga pendidikan. Budaya mencontoh atau mencontek sikap dan perilaku kurang/tidak bermoral sangat mudah dilakukan karena ada muncul persanaan dendam, “dia bisa kena kita tidak”. Juga karena ada rasa frustasi, apa yang didapat di keluarga dan di lembaga pendidikan tidak sejalan dengan yang terdapat di dalam masyarakat. Dengan demikian orang akan berpikir simpel, kalau begini keadaanya maka ayo lah kita rampok rame-rame, daripada nati kita tidak kebagian.
Refernce Buku:
Sudarman Danim (2004), Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok.
M.H. Matondang (2008), Kepemimpinan (Budaya Organisasi dan manajemen Strategik).
Wahyudi Kumorotomo (2005), Etika Atministrasi Negara.
Agus sujanto, Halim Lubis, Taufik Hadi, Psikologi Kepribadian
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Berbicara tentang moral adalah bebicara tentang baik dan buruk sebagaimana juga kita berbicara tenang etika juga berbicara baik dan buruk. Kalau bebericara moral dan etika pada umumnya orang-orang akan membicarakan tentang hal-hal yang baik, karena pada prinsipnya orang-orang mengingikan sesuatu dilakukan atau memperlakukan maupun diperlakukan dengan cara-cara baik. Sesuatu yang baik dipersepsikan oleh orang-orang adalah adalah hal-hal yang baik, maka yang tidak baik adalah hal-hal yang tidak bermoral dan beretika. Hal-hal yang baik adalah sikap dan perilaku yang dihasilkan oleh seseorang, beberapa orang, atau sekelompok orang terhadap seseorang, beberapa orang atau sekelompok orang.
Moral pada umunya dikaitan dengan agama, karena agama adalah ajaran moral, sumbernya diyakini atau merujuk kepada Tuhan. Mengajarkan atau menyampaikan ajaran atau perintah atau ajakan kepada perbaiklan sikap dan perbuatan tentang nilai-nilai kebaikan-kebaikan sedangkan etika dikaitkan dengan pengetahuan, merupakan hasil dari yang hasil pemikiran manusuia di dalam praktik-praktik kehidupan.
Apa Itu Moral dan Apa Itu Etika?
Moral adalah (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti, susila. (versi Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Jadi simpel, yang baik yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban adalah mengandung prinsip-prinsip moral, sedangkan yang tidak diterima umum mengenai perbuatan, sikap, keawajiban mengandung prinsip-prinsip tidak bermoral
Sudarwan Danim (2004) membedakan moral ke dalam dua dimensi yaitu moral tinggi dan moral renah. Kalau melihat adanya moral tinggi dan moral rendah, maka yang kita semua sepakat dan harapkan adalah moral tinggi. Lalu bagaimana dengan moral rendah?. Moral yang rendah tentu kita sepakat dan kita mengharapkan tidak terjadi. Kalaupun itu terjadi, masih bisa kita lakukan dengan berbagai upaya supaya moral meningkat dari yang rendah kepada yang lebih baik dan tinggi. Artinya dikodisikan agar dari moral rendah dilakukan perubahan atau pengeseran kepada yang lebih baik dan tinggi. Ada peningkatan dari yang rendah kepada lebih tinggi. Yang disayangkan dan tidak kita inginkan semua adalah kalau kondisi moral yang rendah bergerak kelebih yang renah lagi. Atau lebih dekatnya dapat dikatakan “tidak bermoral”. Kita yakin semua bahwa kita sepakat dan berharap pada satu tujuan yaitu roral yang tinggi atau bermoral. Bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik buruk; berakhlak baik; sesaui dengan moral (adat sopan santun dsb). Simplenya, melakukan perbautan, bersikap dan kewajiban harus mempetimbangkan baik dan buruk. Kalau itu baik maka lanjutkan dan jika tidak baik ia jangan dilakukan. Tujuanya, agar perbauatan, sikap dan melakukan kewajiban menunjukkan yang bermoral yang diterima umum atau masyarakat.
Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Ini adalah etika dalam sudut pandang keilmuan. Kemudian dalam praktik (implementasi-oprsionalisasi), baik dalam keluaraga/rumahtangga, dalam berkumpul/berserikat, pemerintahan/birokrasi atau dalam berbangsa dan bernegara kita juga mengenal “etik” atau “kode etik”. Adanya etik dan kode etik adalah dalam rangka memberikan batasan-batasan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, dengan tujuan terciptanya keteraturan sehinga tidak berbenturan satu dengan yang lain. Dengan demikian apa itu etik?. Etik adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan dan masyarakat. Jadi etika sebagai ilmu, dipelajari dan diajarkan. Etika bukan hanya dipelajari dan diajarkan tetapi harus dipraktikkan didalam berbagai segi kehidupan dan pembangunan. Maka etik atau kode etik adalah pelaksanaan dalam praktik. Di dalam kehidupan sudah terdapat ajaran etika/etik seperti dalam rumah tangga/atau keluara dan bergaul/pergaulan hidup bertangga secara tidak tertulis. Kalau kode etik sudah berbentuk formal (tertulis) seperti kode etik profesi, kode etik penyelengaraan dan pelaksanaan pemerintahanan. Juga terdapat di dalam organisasi informal. (bicara Etika dan etik di atas disarikan dari Kamus Besar Indonesia).
Maka dapat disimpulkan moral/etika adalah ajaran tentang asas atau nilai tentang baik dan buruk tetapi lebih menekankan pencitaan dan pelaksanaan pada sisi kebaikan daripada keburukan. Ajaran moral dan ajaran etika datang dari kutub berbeda yang mempunyai sisi terang dan gelap (baik dan buruk) dengan tujuan yang sama mengedepankan sisi terang atau kebaikan.
Bagaimana Memperbaiki Moral/Etika Buruk atau Moral/Etika yang Rendah?
Membangun atau memperbaiki moral/Etika meliputi tiga dimensi (aspek) yaitu; keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat.
Keluarga adalah satu rumahtangga yang terdiri kedua orang tua dan anak-anak. Pertanyaannya adalah, apakah di dalam keluarga sudah ada nilai moral/etika tertanam, ditumbuhkan dan dikembangkan. Karena ini penting. Pentingnya apa?. Penting karena keluarga adalah sumber untuk sumber yang lainnya. Kalau kita umpakan keluarga adalah sumber mata air yang bersih dan mengalir keluar ke dalam lembaga pendidikan (kali/sugai) dan akan bermuara ke lautan luas (masyarakat luas). Kalau di dalam keluarga sudah tertanam, tumbuh dan berkembang, kemudian di lembaga pendidikan juga dilanjutkan tanam, tumbuh dan kembangakan dan masyarakat yang akan menikmati haslinya. Di dalam keluarga dan lembaga pendidikan adalah dua tahapan proses penanaman, penumbuh kembangkan ajaran moral/etika. Jika ke dua tahapan proses tersebut sudah mengalir dengan baik dan seberapa kuat bangunan moral/etika tersebut sudah tetanam, tumbuh dan pengembangannya. Kita ketahui bahwa lautan adalah muara dari banyak sungai. Semua kotoran dari sungai masuk ke lautan luas. Maka kalau dari mata air (keluarga) sudah bersih dan di lembaga pendidikan (kali/sugai) bersih, sudah pasti menghasilkan lautan yang bersih (masyarakat yang bersih). Tinggi atau baik kualitas air lautan. Tinggi atau baik kuliatas moral/etika dari masyarakat. Sebaliknya, kalau dari mata air (keluarga) sudah kotor dan di lembaga pendidikan (kali/sugai) kotor, sudah pasti menghasilkan lautan yang kotor dan kotor (masyarakat yang kotor). Rendah atau buruk kualitas air lautan. Rendah atau buruk kuliatas moral/etika dari masyarakat.
Tadi sudah sudah disinggung bahwa seberapa kuat banggunan moral/etika sudah tertanam, tumbuh dan pengembangannya di dalam keluarga dan lembanga pndidikan (formal, informal, nonforma). Kuat tidaknya akan teruji jika hasil proses pendidikan moral/etika di dalam keluarga dan di lembaga pendidikan di dalam masyarakat. Jadi masyarakat adalah acaman bagi hasil proses pendidikan moral/etika yang dihasilkan oleh keluarga dan lembaga pendidikan. Misalnya begini, manusia keluaran proses pendidikan moral/etika di keluarga dan pendidikan sudah baik tetapi begitu masuk ke dalam masyarakat sebagai dunia proses ketiga menjadi terganggu. Terganggunya karena ajaran moral di keluarga dan di lembaga pendidikan tidak berlaku dimasyarakat (lautan masyarat yang sudah kotor). Jadilah manusia tadi terbegong-begong, sambil berkata dalam hatinya “gila”. Melihat media elektronik, membaca dimedia cetak lagi-lagi penuh dengan berita rendahnya moral/etika. Apalagi yang menjadi contoh yang sehararusnya memberikan contoh dan tauladan menunjukkan atau memberikan cara-cara perbautan, sikap, dan tanggung jawab yang dilihat dari dimensi moral/etika adalah dipersepsikan rendah atau lebih ekstrim “tidak bermoral” dirasa dengan standar/ukuran yang moral/etika minimal sekalipun sudah tidak cocok. Masyarakat yang dimaksudkan disini adalah masyarakat pada sektor publik, dunia usaha (swasta), dan masyarakat biasa (tidak berada dalam sektor publik dan swasta). Demikian juga dilihat dan dirasakan setelah masuk ke dalam kelompok kerja pada sektor publik, setengah publik dan swasta. Dari segi perbandingan sudah tidak seimbang maka terseret dan terkontamisasi juga dengan budaya lingkungan kerja yang ada. faktor yang mempengaruhi sangat dominan dari faktor penolakan. Banyak contoh kasus pelanggaran moral/etika yang sudah diputuskan lembaga yang berwenang dan masih banyak pula masih dalam tahap proses untuk diputuskan serta banyak pula yang bermunculan kasus-kasus baru. Jadi antara yang diproses dan diputuskan lembaga hukum dengan yang baru muncul kejar-kejaran dan salin menyalip. Maka mana yang kuat akan melemahkan yang lemah. Suatu indikasi kuatnya penghacuran moral/etika seperti kata teman saya yang punya teman dan temanya punya kawan mengatakan “jika tidak ikut, takut dikatan tidak loyal”. Bisa kita tangkap maksudnya, cara-cara tidak baik yang dilakukan sang nahoda harus turuti, yang tidak berarti tidak loyal. karena tidak loyal kinerja baikpun jadi tidak baik. Kemudian ada lagi , saya punya kawan dan kawan saya punya teman dan temannya punya teman lagi mengatakan “jika tidak ikut maka tidak usah ikut kelompok atau organisasi pemerinatah, kalau ikut maka harus menerima, tidak menerima kosekuensinya akan tersingkirkan lingkungan kerja atau orang yang tidak dipakai". Dapat kita fahami maksudnya, ajakan berbuat yang tidak seharusnya secara “berjemaah”. Kalau di dalam ilmu administrasi disebutkan kerjasama dua orang atau lebih untuk mencapai suatu tujuan. Ada pula menggunakan ilmu manajemen yaitu mencapai tujuan dengan atau lewat orang lain. Kedua sebutan itu bisa juga disalahgunakan untuk mencapai tujuan tidak baik secara kelompok atau tujuan sendiri dengan mengorbakan orang lain (memanfaatkan orang lain). Di sini perlu ditegakkannya moral/etika dalam admistrasi dan manajemen untuk tujuan yang baik (positif) agar terhindar dari perbuatan dan sikap yang tidak bermoaral/tidak beretika. Sebagiamana disebutkan oleh Wahyudi Kumorotomo (2005), untuk kelestarian peradaban manusia kesadaran akan moral mutlak diperlukan….Tidak dibayangkan bagaimana proses sosial itu akan berjalan dengan tertib andaikata kaidah-kaidah moral tidak lagi dipatuhi oleh setiap individi.
Dari apa yang dikatakan oleh Wahyudi Kumorotomo di atas dapat difahami secara simpel bahwa peradapan manusia hanya akan lestari (di Indonesia khsusnya)jika manusianya sadar atas penegakan moral/etika di dalam keluarga, di lembaga pendidikan dan dimasyarakat. Peradapan manusia juga peradaban suatu bangsa karena manusialah menduki suatu bangsa, karena manusialah yang terikat dengan moral/etika. Apa ada selain manusia sebagai penghuni bumi ini yang terikat moral/etika?.
Jadi keutuhan suatu bangsa juga dibangun moral/etika disamping politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan dsb harus dibangun dengan moral/etika. Penegakan supermasi hukum juga tidak terlepas dari penegakan moral/etika. Artinya tidak efektifnya penegakan moral/etika akan sulit atau tidak efektif penegakan supermasi hukum. Seperti telah disebutkan di atas, antara kasus yang ditangani dengan pemunculan kasus baru saling kejar mengejar.
Penegakan moral/etika bersifat himbaukan supaya guru melalui lembaga pendidikan melakukan atau memberikan pendidikan moral melalui pendidikan agama. Himbauan juga dibayang-bayangi dengan peningkatan kesejahteraan guru. Saya garisbawahi himbauan tersebut. Bukan guru agama saja yang harus memberikan pendidikan moral/etika tetapi semua guru. Karena semua guru adalah orang lulusan pendidikan. Kita ketahui bahwa lulusan pendidikan itu bukan hanya memperluas dan memperdalam pengetahuan (knowledge) tetapi juga keterampilan (skill) dan sikap dan pendirian (attitude) dan pendidikan moral/etika (pendidikan agama). Dan pula kita ketahui bahwa tidak ada penduduk bangsa ini yang tidak mengikatkan diri dengan agama tertentu. Semua beragama dan oleh karena itu maka jawabannya adalah semua penduduk Indonesia adalah bermoral. Lalu kenapa moral/etika itu tidak muncul secara baik dalam masyarakat kita?.
Peningkatan kesejahteraan jika tidak dikaitan dengan peningkatan kinerja maka yang ada adalah kesejahteraan meningkat tapi kinerja statis atau menurun. Logika sederhananya begini, orang kalau sudah kekeyangkan makan bawaannya ngantuk dan malas. Orang berpikir kerja malas dengan kerja rajin kesejahteraannya sama, lalu mengapain rajin-rajin!. Dengan kondisi demikian orang akan memilih statis (biasa-biasa atau tengah-tengah). Dengan kondisi demikian maka proses dan hasil pendidikan kualitasnya biasa-biasa saja, tidak ada yang mencegangkan atau mengucapkan kata “hebat”, raga kagum. Logika sederhana lain, semangat orang pekerja harian tidak sama dengan orang pekerja borongan. Artinya, bekerja dengan standar tertentu yang harus dicapai jauh lebih siap dan bersemangat. Pekerja harian jika lemah control maka lemah pula semangat kerjanya, kalau kerja borongan yang melakukan kontrol adalah dari pekerja itu sendiri. Mental seperti ini bisa dirujuk kepada teori motivasi manusia tipe X da Y dari McGregor (Sudarwan Danim,2004). Dengan model menilai kinerja sendiri tidak efektif. Logikanya sederhana dalam dunia nyata, “hampir” tidak ada orang memberi nilai kinerjanya tidak baik dan mengatakan dirinya adalah berkinerja baik. Di dalam psikologi kepribadian mengatatkan, orang akan menampilkan kepada orang lain yang baik-baik saja, bukan yang sesungguhnya. Yang demikian disebutkan kedok/topeng. Seperti sering kita kemukakan bahwa mental kejujuran masih lemah. Lemahnya kejujuran karena moral/etika belum berdiri tegak.
Jadi agar segi kebermanfaatannya dalam pemberian kesejahteraan terhadap peningkatkan kinerja harus ada yang terukur dan tersetandar agar penggunaan dana untuk itu benar-benar efektif sebagai alat motivasi. Karena seseorang yang bermotivasi kerja tinggi berarti pula punya moral/etika kerja yang tinggi. Aspek kemanusiaan dengan peningkatan kesejahteraan dan aspek pelaksanaan tugas harus berdampingan.
Penutup.
Pembangunan moral/etika sama pentingnya dengan pembangunan bidang-bidang lainnya seperti politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan supermasi hukum yang bermoral/beretika. Pembangunan moral/etika di dalam keluarga diteruskan di lembaga pendidikan dan di semua lapisan masyarakat harus pula menunjukkan contoh dan tauladan dalam bersikap perilaku dan tanggung jawab yang bermoral/beretika, karena masyarakat merupakan ancaman besar terhadap pores dan hasil pembinaan moral/etika yang telah dilakukan di dalam keluarga dan di lembaga pendidikan. Budaya mencontoh atau mencontek sikap dan perilaku kurang/tidak bermoral sangat mudah dilakukan karena ada muncul persanaan dendam, “dia bisa kena kita tidak”. Juga karena ada rasa frustasi, apa yang didapat di keluarga dan di lembaga pendidikan tidak sejalan dengan yang terdapat di dalam masyarakat. Dengan demikian orang akan berpikir simpel, kalau begini keadaanya maka ayo lah kita rampok rame-rame, daripada nati kita tidak kebagian.
Refernce Buku:
Sudarman Danim (2004), Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok.
M.H. Matondang (2008), Kepemimpinan (Budaya Organisasi dan manajemen Strategik).
Wahyudi Kumorotomo (2005), Etika Atministrasi Negara.
Agus sujanto, Halim Lubis, Taufik Hadi, Psikologi Kepribadian
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Thursday, December 17, 2009
MASALAH MOTIVASI ANAK DIDIK DALAM BELAJAR
Pada umumnya, dari dulu sampai sekarang masalah yang bermasalah adalah tidak/kurang adanya keseriusan atau kesungguhan, dalam kata lain yang kita kenal adalah tidak/kurang/lemah motivasi anak didik untuk belajar. Tidak/kurang/lemahnya motivasi belajar anak didik bukan saja dikeluhkan oleh guru pada umunya di sekolahan dan juga menjadi keluhan orang tua didik. Permasalahan yang sama juga menjadi permalasahan pada aparatur di dalam birokrasasi pemerintahan.
Motivasi
Mativasi berasal dari kata Latin “movere” yang berarti “dorongan” atau daya penggerak . Motif adalah suatu peransang keinginan (want) dan daya pengerak kemaun bekerja seseorang; setiap motif mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai (Malyu S.P. Hasibuan: 2007:92-95).
Kata “motif”, diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat diartikan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subyek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai kondisi internal (kesiapsiagaan). Berawal dari kata “motif” itu, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya pengerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sanggat dirasakan mendesak (Sardiman: 2007:73).
Motivasi (motivatioan) diartikan sebagai kekuatan dorongan, kebutuhan semangat, tekanan, atau mekanisme psikologis yang mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai prestasi tertentu sesuai dengan apa yang dikehendakinya (Sudarwan Danim: 2004:2).
Harold Koontz, motivation refers to the drive and effort to statsfy a want or goal. Artinya: Motivasi mengacu pada dorongan dan usaha untuk memuaskan kebutuhan atau suatu tujuan. (Malyu S.P. Hasibuan: 2007:95)
Wayne F. Cascio, motivation is a force tahat result from an individual’s desire to statisfy there needs (e.g. hunger, thirst, social approval). Artinya: Motivasi adalah suatu kekeuatan yang dihasilkan dari keinginan seseorang untuk memuaskan kebutuhannya (misalnya: rasa lapas, haus, dan bermasyarakat).
Harold J. Leavitt; Muslicha Zarkasi :1992:7).Motivasi (motivation) yang melatarbelakangi perilaku, yang dikenal dan suatu “desakan” atau “keinginan” (want) atau kebutuhan (need) atau suatu “dorongan” (drive).
Dari beberapa pengertian motif dan motivasi di atas maka dapat disimpulkan. Motif adalah ransangan awal muncul karena ada suatu keinginan (kita mengartikan motif juga adalah niat). Motif adalah dasar/awal untuk memunculkan keiginan. Sedangkan motivasi adalah kekuatan dorongan yang berawal dari sutau keiginan dan berusaha untuk mencapai atau terpenuhinya suatu tujuan tertentu sesuai keiginan/niat.
Contoh 1: Seorang yang lapar igin makan untuk menghilangkan rasa lapar. Lapar (motif), keinginan (motivasi), hilang rasa lapar (tujuan). Yang di dalam psikologi manajemen disebutkan: perilaku itu mempunyai penyebab, perilaku itu mempuyai motivasi, perilaku itu dimotivasi oleh tujuan (Harold J. Leavitt: oleh Muslichah Zarkasi,1992:10). Jadi rasa lapar adalah sebab-akibat atu motif, keinginan untuk makan memunculkan motivasi, dan menghilangkan rasa lapar sebagai tujuan (tercapainya tujuan karena motivasi).
Contoh 2: Seseorang melakukan pembunuhan terhadap seseorang. Niat awal orang tersebut membunuh (sebagai motif), membunuh karena ada keinginan mendesak dan memunculkan motivasi (dorongan), untuk mencapai tujuan dari si pembunuh. Tujuan membunuh itu bisa kerena ingin mengambil harta orang yang dibunuh, karena perang, karena sakit hati terhadap seseorang, dll.
Niat, seperti yang sudah umum kita dengar: Orang melakukan sesuatu tergantung dari niatnya. Misalnya: Niat untuk korupsi, keinginan melakukan yang menimbulkan dorongan (motivasi), tujuan untuk memperkaya diri/kelompok. Ini adalah niat tidak baik. Niat seorang muslim. Seperti, umur 60 tahun akan berangkat Haji. Karena sudah niat haji, kemudian dorongan untuk menabung untuk tujuan haji.
Mengapa anak didik tidak/kurang/lemah motivasi belajarnya?
Kalau kita melihat dari permasalahan dan pengertian motivasi di atas maka dapat kita identifikasi masalah tentang tidak/kurang/lemahnya motivasi anak belajar.
Untuk anak didik SMP, Siswa Sekolah Menegah Atas dan Perguruan tinggi:
1. Rasa ingin tahu dari anak didik tidak ada atau rendah
2. Tidak mempunyai cita-cita yang akan diraih (seperti menjadi:Insiyur,dokter, ekonom, politikus, dsb)
3. Tidak ingin berprestsi di sekolah (mencapai nilai baik dan terbaik)
4. Tidak ada keinginan untuk melanjutkan sekolah, diterima di sekolah berkualitas.
5. Persepsi, sekolah tinggi-tinggi tidak ada peluang pekerjaan.
6. Tidak/kurang menghargai atau tidak ada rasa kasihan dengan orang tua
7. Sekolah hanya ikut-ikutan teman-teman
8. Tidak bakat sekolah, sekolah karena dorongan orang tua
9. Bersekolah pada sekolah tidak sesuai dengan keinginan
untuk anak anak didik SD
1. Rasa ingin tahu anak didik tidak ada atau lemah
2. Tidak ada keinginan untuk mendapatkan nilai yang lebih baik dan tinggi
3. Tidak sayang sama bapak/ibu
Motivasi dilihat dari sumbernya terdiri dari motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik yang bersumber atau kemunculannya dari diri setiap orang. Motivasi ekstrinsik bersumber atau kemunculnya dari luar diri setiap orang. Harold J. Leavitt (Muslihchah Zakasi: 1992:24), motivasi intrinsik mempunyai arti seperti bunyinya, yaitu memotivasi dari dalam diri seseorang; seseorang melakukan sesuatu karena ingin melakukannya. Motivasi ekstrinsik bersal dari luar diri orang tertentu. Seseorang melakukan sesuatu untuk memenangkan suatu hadiah yang khusus ditawarkan untuk perilaku tersebut.
Contoh: motivasi dari dalam diri seseorang. Si Budi ingin mempunyai prestasi belajar yang bagus dan juara kelas.
Untuk lebih jelas tentang motivasi ekstrinsik maka dapat dicontohkan dengan kegiatan favorit di tanah air yaitu acara perlombaan panjat pinang agustusan. Orang termotivasi melakukan panjat pinang karena untuk mengabil hadiah yang digantung diatasnya. Jika tidak ada hadiah-hadiah digantunkan di jung pohon pinang maka tidak ada yang mau melakukan panjat pinang.
Dari fenomena yang ada dapat kita amati, bisa kita asmumsikan persentase (didasarkan intuisi) motivasi intrinsik dan ekstrinsik untuk anak didik SD, SMP dan SMA (atau sederajat) sbb:
Anak didik (motivasi intrinsik)
> SD = 20%
> SMP = 30%
> SMA = 55%
Orang tua (motivasi ekstrinsik)
> SD = 35%
> SMP = 35%
> SMA = 25%
Guru/sekolah (motivasi ekstrinsik)
> SD = 45%
> SMP = 35%
> SMA = 20%
Jadi untuk mendukung motivasi penuh (optimal) belajar anak didik atau siswa harus dibangun dari ke tiga unsur tersebut: anak didik/siswa, guru/sekolah dan orang tua.
Perlu dipehatikan seperti orang Jawa mengatakan bahwa: Kacang, mangsa tinggala lanjaran. Yang artinya: tidak mungkin seorang anak tidak melakukan apa yang sejak kecil dicontohkan oleh orang tuanya. Demikian pula mengapa bangsa Inggris mengatakan: You can take the boy out of the country, but you can’t take the country out of the boy. Artinya, anak dapat lepas dari daerah kelahirannya tetapi daerah itu tidak akan dapat lepas dari si anak itu (Agus Sujanto, dkk, 1997:9).
Dapat kita maknai bahwa kalau dorongan orang tua terhadap belajar anak tidak ada atau lemah maka anak akan melakukan hal yang sama di sekolah. Jadi orang tua harus bersemangat atau open (perduli) untuk mengarahkan, membimbing, mendorong, memberi pemahaman, dan contoh-contoh yang berhubungan dengan peningkatan motivasi belajar anak, dsb.
Sebagaima pula Agus Sujanto dkk menyimpulkan yaitu betapa pentingya peranan keluarga sebagai peletak dari pola pembentukan kepribadian anak tsb. Sedangkan lembaga pendidikan yang lain tinggalah memberikan isinya saja, untuk selanjutnya akan ditentukan sendiri bentuk dan warnanya oleh anak itu sendiri (penulis: mulai SMA ke atas) sesuai dengan kemampuan, kekuatan dan kreasi si anak itu dalam pertumbuhan dan perkembangannya lebih lanjut.
Dapat kita umpakan dengan laying-layang. Orang tua sudah membuat kerangka yang bagus, kuat dan seimbang, sekolah tinggal meneruskan dengan memberi kertas atau membungkus dengan kertas yang berkualitas, warna-warni yang serasi dan memberikan benang. Si anak tinggal menunggu agin dan menaikan ke udara.
Sebagaimana pula dikemukakan oleh Makmun dan Surya (Riduan, 2009:20), guru sebagai motivator bagi para siswanya harus mampu untuk (1) meningkatkan dorongan siswa untuk belajar (2) menjelaskan secara konkrit kepada siswa apa yang dapat dilakukan pada kahir pelajaran (3) memberikan ganjaran untuk prestasi yang dicapai kemudian hari (4) membuat regulasim (aturan) perilaku siswa. Dalam kegiatan PBM, motivasi sangat diperlukan. Hasil belajar siswa akan menjadi optimal bila ada motivasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Hawley yang mengatakan bahwa para siswa yang memiliki motivasi tinggi, belajarnya lebih baik dibandingkan dengan para siswa motivasinya rendah.
Yang perlu digarisbawahi, jika guru tidak mampu meransang motivasi anak maka proses PBM tidak efektif atau tidak berhasil. Kalau tidak berhasil adalah suatu pekerjaan yang sia-sia. Maka itu, dalam melakukan proses PBM harus dirancang sedemikian rupa, penyampaian yang sistematis, dengan suara yang cukup jelas, membuat konsidisi belajar tidak tegang tapi menyenagkan. Jika bisa sedikit homoris. Rasa senang akan menumbuhkan motivasi juga dan sedikit humoris. Kalau sudah tidak senang motivasi juga lenyab. Mengajar dan mendidik itu harus dilkukan dengan seni (art).
Seni secara sederhana bisa kita fahami yaitu: indah, menarik dsb. Agar mempunyai nilai seni: indah dan menarik maka perlu dirancang (didesain) cara penyampaian materi ajaran. Orang yang mampu melakukan pekerjaan ini adalah orang punya bakat mengajar atau orang yang banyak belajar. Artinya orang yang kurang berbakat untuk mengajar bisa melakukan pekerjaan mengajar asalkan banyak belajar dari buku dan media-media lainnya.
Ciri dari orang punya bakat mengajar atau orang yang banyak belajar selalu berenovasi, kreativitasnya tinggi, tidak mengelung dalam menghadapi sikap dan perilaku anak/siswa. Ciri dari orang yang tidak/kurang berbakat mengajar, cara mengajar menoton atau tidak enovatif dan kreatif dan banyak keluhan dalam menghadapi siswa. Jadi bawaannya marah-marah dan stress. Masuk ke kelas membawa wajah muram. Akhiranya mengajar hanya sebagai pelaksanaan tugas atau kewajiban sambil berkata dalam hati “mau gerti atau tidak masa bodo”. Yang penting sudah melaksanakan tugas. Terhindar dari sifat demikian, seorang guru harus melakukan aktualisasi diriyaitu dengan belajar dan belajar.
Belajar sepajang hidup. Guru secara terus menerus berhadapat dengan manusia maka juga harus memperdalam dan memperluas pengetahuan psikoligi anak disamping disiplin ilmu lain yang berkaitan. Mempedalam dan memperluas atau memberdayakan diri (self empowerment) sesuai dengan tugas atau profesi kita merupakan bagian dari tugas kita bukan hanya tugas dari lembaga atau organisasi dimana kita bekerja. Karena hal itu adalah modal dan harga diri kita. Ingat kata Tuhan “orang yang berilmu akan ditinggikan derajatnya”. Kalau kita tidak berilmu siapa yang mau meninggikan derajat kita. Tolong difahami dalam kontek ini, bukan “ilmu santet”.
Contoh konkrit: kalau dikampung-kampung ada orang tua atau setengah tua punya pengetahuan, karena berpengatahuan punya wawasan pemikiran luas. Kalau ada salah satu masyarakat mengudang baik acara syukuran atapun selamatan dsb, tuan rumah selalu menyeapkan tempat duduknya yang pantas dan terhormat. Disini kita lihat, dengan pengetahuan dan wawasanya yang luas selalu menjadi tumpuan untuk meminta pendapat atau pemikiran dalam berbagai hal. Oleh karena itu telah ditinggikan derajatnya oleh dia sendiri dan oleh orang/masyarakat lingkungannya.
Kepribadian guru juga sangat mempengaruhi motivasi anak belajar. Oleh karena itu pula guru harus mendesain kepribadian yang pantas dicontoh dan diteladani oleh semua anak didik. Karena guru adalah model bagi anak didik. Contohnya, ada guru yang diidolakan anak dan ada pula yang tidak. Guru yang tidak diidolakan anak didik, anak kepinginnya tidak usah masuk kelas atau guru masuk kelas anak bersikap cuek atau anak membolos. Kita juga pernah mengalami hal seperti ini.
Kepribadian guru mempengaruhi motivasi belajar anak didik sebagaimana yang dikemukakan Zakiah Dradjad (Riduan, 2009:20), kepribadian adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap keseberhasilan seorang guru. Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah dia akan menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghacur bagi hari depan anak didik terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).
Tingkat sekolah dasar yang dimaksudkan di atas dapat difahami adalah anak didik SD sampai dengan SMP sesuai dengan penetapan wajib belajar 9 tahun.
Tentang kepribadian guru berikut hasil temuan oleh Riduan (2009:20) menjelaskan sbb: Kepribadian yang ditampilkan guru dalam mengajar sesuai dengan harapan siswa, maka siswa akan termotivasi untuk belajar dengan baik. Namun kenyatakan menunjukkan, seringkali kepribadian guru dalam KBM kurang membangun motivasi siswa. Hal in teramati pada saat melakukan (PLBK) Praktek Lapangan Bimbingan dan Konseling dan (PPL) Program Pengalaman Lapangan terhadap kpribadian guru, dimana guru seringkali berprilaku yang kurang patut diteladani dan kurang menggugah motivasi belajar siswa. Hal ini terlihat dari seringnya guru terlambat ke kelas, menggunakan metode pembelajaran yang kurang menyentuh aspek psikologis siswa, menyajikan materi tidak sistimatis, tidak ramah, lekas marah, tidak melibatkan siswa dalam PBM, tidak memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengungkapkan idea tau gagasan, sehingga siswa tidak tertarik untuk mempelajari mata pelajaran yang diberikan guru.
Dari penjelasan di atas, tentang kepribadian guru terhadap motivasi belajar anak didik/siswa sejalan dengan apa yang kita amati. Seperti guru jarang sekalai begitu bunyi bel masuk dia masuk ke kelas. Keseringan guru diingatkan atau dipanggil/dijemput oleh anak didik. Sehingga waktu yang disediakan atau terjadwalkan menjadi kurang efektif. Budaya ingin dilayani masih sangat kental daripada budaya melayani. Seperti yang sering kita kemukan bahwa kesadaran masih kurang dan kewajiban sebagai melayani lemah karena lemahnya kesadaran kita.
Sebagai pimpinan sekolah pengawas sekolah sering-sering bertanya kepada siswa, bagaimana cara mengajar guru-gurunya. Anak akan memberikan informasi tentang guru yang mengajarnya secara objektif. Dari informasi tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk program peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru. Yang sangat kita tidak inginkan kalau kelapala sekolah tidak mampu menunjukkan kualitasnya begitu juga dengan pengawas pendidikan. Kalah sisik dengan guru. Misalnya, kepala sekolah dan pengawas tidak melakukan supervisi kelas untuk melihat dan menilai secara komprehensif cara mengajar guru di kelas. Yang jadi masalah, yang disupervisi lebih berkualitas daripada yang mensupervisi, ini sangat merepotkan. Oleh karena itu yang memimpin harus lebih siap dari yang dipimpin. Ini terkait dengan masalah harga diri/kepribadian dan dalam pemberian motivasi pada orang yang dipimpin. Masksudnya, kepala sekolah adalah guru dari guru, pegawas sekolah gurunya dari kepala sekolah.
Kalau kepala sekolah lebih tahu daripada pengawas, wah jadi repot itu. Kita bisa melihat dari kenyataan dan membadingkan kepemimpinan bangsa dan pemerintahan kita mulai orde lama, orde baru dan orde reformasi saat ini. Demikian juga kita dapat melihat dan menilai keberhasilan pimpimnan di dunia, mana yang bagus (berkualitas) dan tidak bagus. Demikian pula disekolahan, sering pergantian pempinan. Dari pergantian pimpinan itu kita dapat merasakn dan memberikan penilaian mana yang bagus dan mana yang tidak. Yang perlu kita fahami bersama bahwa pimpinan berkualtas akan memberikan keberhasilan, perbaikan dan kemajuan organisasi/unit/negara yang dipimpinnya.
Kekauatan Movitasi Ekstrinsik Oleh Guru Terhadap Anak Didik (Contoh Riil).
Kekuatan motivasi eksternal dari beberapa teman guru. Memberikah hadiah kepada hasil ujian harian, ujian semesteran dan ujian nasional. Ada guru mata pelajaran X membuat kesepakatan dengan anak didik. Nilai terbagus masuk 10 besar dari 40 anak (satu kelas) diberi hadiah selverquin (kueh coklat). Dana dikumpulkan dari anak per anak 1000. (dari anak untuk anak untuk tujuan anak). Setelah hasil ulangan harian dikoreksi oleh guru X lalau dibuar ranking 1 s/d 40. Yang masuk 10 besar mendapatkan kueh coklat dengan jumlah yang berbeda. Yang nomor satu tentu lebih banyak, tetapi yang tidak masuk 10 besar juga dapat satu orang satu kuih. Ternyata dari cara demikian motivasi anak belajar positif. Ada usaha untuk memperoleh nilai yang lebih tinggi agar mendapatkan hadiah. Anak didik jadi kompetitif (bersaing). Sanagat berbeda hasilnya atara ulangan harian sebelumnya tidak memberikan hadiah.
Ada juga guru mata pelajaran matematika mencoba memberikan hadiah. Yang satu ini tidak mengumpulkan data dari peserta didik. Menggunakan uangnya sendiri. Cara deikian dilakukan melihat motivasi belajar anak mata pelajaran matematikan hamper tidak ada. Gurunya sudah pusing tujuh keliling. Mengadu kesemua guru tentang rendahnya motivasi anak belajar matematika. Guru tersebut berjanji kepada kepada anak didik. Bagi siswa yang mendapatkan nilai ulangan harian matematika nilai delapan ke atas akan diberikan hadiah 20.000 peranak. Kebetulan dilakukan pada salah satu kelas yang sangat rendah sekali motivasi belajar matematika. Cara demikian ternyata dapat mendongkrak hasil ujian harian anak. Ada sekitar delapan anak mencapai nilai delapan ke atas.
Ada pula guru membuat cara menjawab soal dengan membuat tekateki silang. Dengan cara ini kelihatan anak merasa senang dan bersemangat mengerjakan soal ujian harian. Rasa senang dan bersemangat menunjukkan adanya motivasi anak.
Ada juga juru matematika berjanji memberikan hadiah secara pribadi kepada anak didik pada ujian nasionanl. Guru matematika tersebut berjanji, jika 10 anak didik mendapatkan nilai 10 maka akan diberi hadiah jalan-jalan ke Kebun Bitang Ragunan Jakarta Selatan. Cara ini juga sangant efektif, terlihat dari antusias anak didik dalam mempersiapkan ujian nasional. Hasilnya dapat mendongkrak nilai peserta didik ujian nasional, meskipun tidak mencapai tergat 10 orang, tetapi ada mendapat nilai 10 dua orang nilai 9 orang dan nilai delapan 15 orang dari 97 peserta ujian nasional. Dalam hal ini pula kelihatan secara signifikan semangat, gairah, antusias, kesungguhan anak untuk mempersiapkan diri untuk ujian nasional.
Guru bahasa inggris membuat janji dengan siswa. Jika mampu memperoleh nilai ujian nasional delapan ke atas akan diberi hadiah 50.000 per-anak. Uang pribadi guru tersebut. Hal ini juga mendorong anak melakukan persiapan ujian nasional bahasa inggris dengan sungguh dan samangat yang tinggi. Hasilnya ada 12 anak yang memperoleh nilai delapan ke atas dari 97 peserta ujian nasional. Dengan melihat prestasi dan motivasi belajar anak-anak tidak ada yang mencapai nilai delapan ke atas. Guru yang mengajari anak kelas IX tersebut sanagat pesimis. Dengan cara memberikan hadiah ternyata dapat menghilangkan rasa pesimis guru tersebut dan hasilnya sangat mengagatkan dia sendiri.
Yang kita inign garisbawahi dari ketiga perlakuan ekstrinsik tersebut efektif. Dapat mendorong (memotivasi) anak untuk belajar, menimbulkan kompetisi antar sesama anak dan nilai anak sangat bervariasi. Peningkatan prestasi anak didik adalah tujuan sedangkan hadiah kueh coklat, uang dan jalan-jalan keluar kota adalah alat yang digunakan untuk memunculkan motif, keinginan dan motivasi anak didik/siswa.
Perlu kita informasikan bahwa kondisi sekolah 97 % input siswa berasal dari lingkungan kelurga miskin perkotaan. Anak yang kebanyakan dari golognan ekonomi menengah dan atas. Pada awal tahun banyak anak yang berprestasi mendaftar masuk, tetapi setelah diterima di SMP Negeri anak-anak tersebut mengudurkan diri. Tinggalah anak-anak kemampuan sedang dan lebih banyak kemapuan rendah. Karena anak yang kemampuan bagus-bagus tadi sudah diterima di sekolah bagus (berkualitas), sekolahan kita kekosongan bangku atau peserta didik baru. Dan jumlahnya cukup banyak.Bisa separuhnya mengundurkan diri. Mau tidak mau, harus menerima anak didik yang tidak diterima dari SMP Negeri (nilai USBN-nya sangat rendah). Sekolah kita juga sekolah negeri dibawah binaan Departemen Agama (MTsN) yang berkedudukan di Jakarta Pusat.
Disi perlu kita berbagi, dengan adanya secaranyata pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap motivasi belajar anak/siswa sebagaimana teman-teman lakukan di atas, perlu dicoba lakukan disekolah-sekolah lainya di nusantara. Memberikan hadiah kepada anak berprestasi misanya untuk 10 besar untuk setiap kelas setiap semesteran dan ujian nasional. Walaupun tidak besar tapi sangat besar pengaruhnya terhadap motivasi belajar serta prestasi anak didik/siswa dan akan meningkatkan kualitas proses dan hasil output sekolah.
Seperti yang telah disebutkan di atas yaitu dengan prinsip “dari anak, untuk anak dan untuk tujuan anak”. Dikumpulkan dananya dari anak 100 rupiah/anak dan itu diberikan hadiah dalam bentuk kueh atau permen atau alat-alat tulis bagi anak-anak sudah cukup senang gembira. Suasana belajar akan berbeda. Yang tidak berprestasi pun diberikan karena dia juga sudah berjuang. Yang penting suananya diciptakan senang dan gembira. Seakan-akan tidak ada kalah dan menang. Cuma pembagian hadiah yang berbeda antara yang berprestasi seperti yang diharapkan dengan yang tidak.
Demikian juga dengan orang tua, buat janji dengan anak kalau nilai bisa mencapai rata-rata X maka akan diberi hadiah. Hadiah dalam arti mendidik, jangan sampai menyesatkan anak. Harga terjangkau, seperti mebawa anak berbain ketempat wisata atau berbentuk makanan, barang dan alat tulis menulis dsb.
Jadi bagian dari tugas guru dan sekolah adalah motivasi anak belajar, dengan menumbuh kembangkan. Secara terus menerus menstabilkan dan meningkatkan. Menurut Yusuf (Ridwan, 2009:20) menjelaskan tentang anak didik yang memiliki motivasi belajar rendah adalah sbb: Siswa yang memiliki motivasi belajar rendah ditandai oleh bentuk tingkah laku sebagi berikut: (1) kelesuan dan ketidakberdayaan (2) penghindaran atau pelarian diri (3) pertentangan (4) kompensasi.
Oleh karena itu guru/sekolah dan orang tua anak didik/siswa, memberi kegairahan, menjadikan berdaya, membuat belajar adalah pekerjaan yang menyenangkan, tidak menimbulkan pertentangan dan memberikan hadiah kepada anak yang berprestasi, seperti anak yang mendapatkan nilai murni 7 ke atas diberikan hadiah besarnya bervariasi.
Penutup
Motivasi belajar anak didik/siswa agar dapat optimal dibagunan melali 3 unsur yaitu oleh siswa sendiri, guru/sekolah dan orang tua didik. Ketiga unsur merupakan satu kekuatan harus saling kerjsama. Oleh karena itu anak/siswa harus peduli (open) dengan dirinya, demikian juga guru/sekolah dan orang tua didik melaksanakan peran sebagai motivator.
Untuk memancing atau membangkitkan/meransang motivasi intrinsik anak/siswa karena tidak ada atau lemah maka harus dilakukan dengan motivasi ekstrinsik. Kelihatanya cara demikian dapat memberikan hasil, tetapi langka atau jarang dilakukan oleh sekolah. Sekolah ingin meningkatan kualitas tetapi dengan sedikit berpuat, tidak rasional.
Tidak ada/kurang atau lemah motivasi anak/siswa dalam belajar disebabkan oleh tidak adanya: sebab/akibat (motif), dorongan (motivasi) dan tujuan. Oleh karena itu perlu diinformasikan atau disosilisasikan, dijelaskan dan ditanyakan tujuan dari anak didik/siswa sekolah, yaitu yang berkaitan tidak ada/kurang atau lemahnya motivasi belajar (negative) menjadi kalimat positif.
Untuk anak didik SMP, Siswa Sekolah Menegah Atas dan Perguruan tinggi:
1. Rasa ingin tahu dari anak didik tidak ada atau rendah
2. Tidak mempunyai cita-cita yang akan diraih (seperti menjadi : Insiyur, dokter, ekonom, politikus, dsb)
3. Tidak ingin berprestsi di sekolah (mencapai nilai baik dan terbaik)
4. Tidak ada keinginan untuk melanjutkan sekolah, diterima di sekolah berkualitas.
5. Persepsi, sekolah tinggi-tinggi tidak ada peluang pekerjaan.
6. Tidak/kurang menghargai atau tidak ada rasa kasihan dengan orang tua
7. Sekolah hanya ikut-ikutan teman-teman
8. Tidak bakat sekolah, sekolah karena dorongan orang tua
9. Bersekolah pada sekolah tidak sesuai dengan keinginan
untuk anak anak didik SD
1. Rasa ingin tahu anak didik tidak ada atau lemah
2. Tidak ada keinginan untuk mendapatkan nilai yang lebih baik dan tinggi
3. Tidak sayang sama bapak/ibu
Perbaikan sikap dan perilaku atupun kepribadian, pemberdayaan diri sebagai modal dan harga diri dalam jenis pekerjaan apapun, dimanapun tempat kejara kita. Meningkat dan ditingkatkan oleh kita sendiri dan organisasi. Dilakukan melalui aktulisasi diri, mengikuti perubahan dan perkembangan sesuai dengan pekerjaan/profesi kita.
Guru/sekolah sebagai motivator bagi anak didik/siswa juga harus bisa memotivasi diri untuk lebih berdaya melalui aktualisai diri.
Reperence
Riduan, Penelitian untuk Guru dan Karyawan
Harold J. Leavitt (Muslichah Zarkasi), Psikologi Manajemen
Agus sujanto, Halim Lubis, Taufik Hadi, Psikologi Kepribadian
Sardiman A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar
Sudarwan Danim, Motivasi Kepemimpinan dan Efektifitas Kelompok
Pada umumnya, dari dulu sampai sekarang masalah yang bermasalah adalah tidak/kurang adanya keseriusan atau kesungguhan, dalam kata lain yang kita kenal adalah tidak/kurang/lemah motivasi anak didik untuk belajar. Tidak/kurang/lemahnya motivasi belajar anak didik bukan saja dikeluhkan oleh guru pada umunya di sekolahan dan juga menjadi keluhan orang tua didik. Permasalahan yang sama juga menjadi permalasahan pada aparatur di dalam birokrasasi pemerintahan.
Motivasi
Mativasi berasal dari kata Latin “movere” yang berarti “dorongan” atau daya penggerak . Motif adalah suatu peransang keinginan (want) dan daya pengerak kemaun bekerja seseorang; setiap motif mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai (Malyu S.P. Hasibuan: 2007:92-95).
Kata “motif”, diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat diartikan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subyek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai kondisi internal (kesiapsiagaan). Berawal dari kata “motif” itu, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya pengerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sanggat dirasakan mendesak (Sardiman: 2007:73).
Motivasi (motivatioan) diartikan sebagai kekuatan dorongan, kebutuhan semangat, tekanan, atau mekanisme psikologis yang mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai prestasi tertentu sesuai dengan apa yang dikehendakinya (Sudarwan Danim: 2004:2).
Harold Koontz, motivation refers to the drive and effort to statsfy a want or goal. Artinya: Motivasi mengacu pada dorongan dan usaha untuk memuaskan kebutuhan atau suatu tujuan. (Malyu S.P. Hasibuan: 2007:95)
Wayne F. Cascio, motivation is a force tahat result from an individual’s desire to statisfy there needs (e.g. hunger, thirst, social approval). Artinya: Motivasi adalah suatu kekeuatan yang dihasilkan dari keinginan seseorang untuk memuaskan kebutuhannya (misalnya: rasa lapas, haus, dan bermasyarakat).
Harold J. Leavitt; Muslicha Zarkasi :1992:7).Motivasi (motivation) yang melatarbelakangi perilaku, yang dikenal dan suatu “desakan” atau “keinginan” (want) atau kebutuhan (need) atau suatu “dorongan” (drive).
Dari beberapa pengertian motif dan motivasi di atas maka dapat disimpulkan. Motif adalah ransangan awal muncul karena ada suatu keinginan (kita mengartikan motif juga adalah niat). Motif adalah dasar/awal untuk memunculkan keiginan. Sedangkan motivasi adalah kekuatan dorongan yang berawal dari sutau keiginan dan berusaha untuk mencapai atau terpenuhinya suatu tujuan tertentu sesuai keiginan/niat.
Contoh 1: Seorang yang lapar igin makan untuk menghilangkan rasa lapar. Lapar (motif), keinginan (motivasi), hilang rasa lapar (tujuan). Yang di dalam psikologi manajemen disebutkan: perilaku itu mempunyai penyebab, perilaku itu mempuyai motivasi, perilaku itu dimotivasi oleh tujuan (Harold J. Leavitt: oleh Muslichah Zarkasi,1992:10). Jadi rasa lapar adalah sebab-akibat atu motif, keinginan untuk makan memunculkan motivasi, dan menghilangkan rasa lapar sebagai tujuan (tercapainya tujuan karena motivasi).
Contoh 2: Seseorang melakukan pembunuhan terhadap seseorang. Niat awal orang tersebut membunuh (sebagai motif), membunuh karena ada keinginan mendesak dan memunculkan motivasi (dorongan), untuk mencapai tujuan dari si pembunuh. Tujuan membunuh itu bisa kerena ingin mengambil harta orang yang dibunuh, karena perang, karena sakit hati terhadap seseorang, dll.
Niat, seperti yang sudah umum kita dengar: Orang melakukan sesuatu tergantung dari niatnya. Misalnya: Niat untuk korupsi, keinginan melakukan yang menimbulkan dorongan (motivasi), tujuan untuk memperkaya diri/kelompok. Ini adalah niat tidak baik. Niat seorang muslim. Seperti, umur 60 tahun akan berangkat Haji. Karena sudah niat haji, kemudian dorongan untuk menabung untuk tujuan haji.
Mengapa anak didik tidak/kurang/lemah motivasi belajarnya?
Kalau kita melihat dari permasalahan dan pengertian motivasi di atas maka dapat kita identifikasi masalah tentang tidak/kurang/lemahnya motivasi anak belajar.
Untuk anak didik SMP, Siswa Sekolah Menegah Atas dan Perguruan tinggi:
1. Rasa ingin tahu dari anak didik tidak ada atau rendah
2. Tidak mempunyai cita-cita yang akan diraih (seperti menjadi:Insiyur,dokter, ekonom, politikus, dsb)
3. Tidak ingin berprestsi di sekolah (mencapai nilai baik dan terbaik)
4. Tidak ada keinginan untuk melanjutkan sekolah, diterima di sekolah berkualitas.
5. Persepsi, sekolah tinggi-tinggi tidak ada peluang pekerjaan.
6. Tidak/kurang menghargai atau tidak ada rasa kasihan dengan orang tua
7. Sekolah hanya ikut-ikutan teman-teman
8. Tidak bakat sekolah, sekolah karena dorongan orang tua
9. Bersekolah pada sekolah tidak sesuai dengan keinginan
untuk anak anak didik SD
1. Rasa ingin tahu anak didik tidak ada atau lemah
2. Tidak ada keinginan untuk mendapatkan nilai yang lebih baik dan tinggi
3. Tidak sayang sama bapak/ibu
Motivasi dilihat dari sumbernya terdiri dari motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik yang bersumber atau kemunculannya dari diri setiap orang. Motivasi ekstrinsik bersumber atau kemunculnya dari luar diri setiap orang. Harold J. Leavitt (Muslihchah Zakasi: 1992:24), motivasi intrinsik mempunyai arti seperti bunyinya, yaitu memotivasi dari dalam diri seseorang; seseorang melakukan sesuatu karena ingin melakukannya. Motivasi ekstrinsik bersal dari luar diri orang tertentu. Seseorang melakukan sesuatu untuk memenangkan suatu hadiah yang khusus ditawarkan untuk perilaku tersebut.
Contoh: motivasi dari dalam diri seseorang. Si Budi ingin mempunyai prestasi belajar yang bagus dan juara kelas.
Untuk lebih jelas tentang motivasi ekstrinsik maka dapat dicontohkan dengan kegiatan favorit di tanah air yaitu acara perlombaan panjat pinang agustusan. Orang termotivasi melakukan panjat pinang karena untuk mengabil hadiah yang digantung diatasnya. Jika tidak ada hadiah-hadiah digantunkan di jung pohon pinang maka tidak ada yang mau melakukan panjat pinang.
Dari fenomena yang ada dapat kita amati, bisa kita asmumsikan persentase (didasarkan intuisi) motivasi intrinsik dan ekstrinsik untuk anak didik SD, SMP dan SMA (atau sederajat) sbb:
Anak didik (motivasi intrinsik)
> SD = 20%
> SMP = 30%
> SMA = 55%
Orang tua (motivasi ekstrinsik)
> SD = 35%
> SMP = 35%
> SMA = 25%
Guru/sekolah (motivasi ekstrinsik)
> SD = 45%
> SMP = 35%
> SMA = 20%
Jadi untuk mendukung motivasi penuh (optimal) belajar anak didik atau siswa harus dibangun dari ke tiga unsur tersebut: anak didik/siswa, guru/sekolah dan orang tua.
Perlu dipehatikan seperti orang Jawa mengatakan bahwa: Kacang, mangsa tinggala lanjaran. Yang artinya: tidak mungkin seorang anak tidak melakukan apa yang sejak kecil dicontohkan oleh orang tuanya. Demikian pula mengapa bangsa Inggris mengatakan: You can take the boy out of the country, but you can’t take the country out of the boy. Artinya, anak dapat lepas dari daerah kelahirannya tetapi daerah itu tidak akan dapat lepas dari si anak itu (Agus Sujanto, dkk, 1997:9).
Dapat kita maknai bahwa kalau dorongan orang tua terhadap belajar anak tidak ada atau lemah maka anak akan melakukan hal yang sama di sekolah. Jadi orang tua harus bersemangat atau open (perduli) untuk mengarahkan, membimbing, mendorong, memberi pemahaman, dan contoh-contoh yang berhubungan dengan peningkatan motivasi belajar anak, dsb.
Sebagaima pula Agus Sujanto dkk menyimpulkan yaitu betapa pentingya peranan keluarga sebagai peletak dari pola pembentukan kepribadian anak tsb. Sedangkan lembaga pendidikan yang lain tinggalah memberikan isinya saja, untuk selanjutnya akan ditentukan sendiri bentuk dan warnanya oleh anak itu sendiri (penulis: mulai SMA ke atas) sesuai dengan kemampuan, kekuatan dan kreasi si anak itu dalam pertumbuhan dan perkembangannya lebih lanjut.
Dapat kita umpakan dengan laying-layang. Orang tua sudah membuat kerangka yang bagus, kuat dan seimbang, sekolah tinggal meneruskan dengan memberi kertas atau membungkus dengan kertas yang berkualitas, warna-warni yang serasi dan memberikan benang. Si anak tinggal menunggu agin dan menaikan ke udara.
Sebagaimana pula dikemukakan oleh Makmun dan Surya (Riduan, 2009:20), guru sebagai motivator bagi para siswanya harus mampu untuk (1) meningkatkan dorongan siswa untuk belajar (2) menjelaskan secara konkrit kepada siswa apa yang dapat dilakukan pada kahir pelajaran (3) memberikan ganjaran untuk prestasi yang dicapai kemudian hari (4) membuat regulasim (aturan) perilaku siswa. Dalam kegiatan PBM, motivasi sangat diperlukan. Hasil belajar siswa akan menjadi optimal bila ada motivasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Hawley yang mengatakan bahwa para siswa yang memiliki motivasi tinggi, belajarnya lebih baik dibandingkan dengan para siswa motivasinya rendah.
Yang perlu digarisbawahi, jika guru tidak mampu meransang motivasi anak maka proses PBM tidak efektif atau tidak berhasil. Kalau tidak berhasil adalah suatu pekerjaan yang sia-sia. Maka itu, dalam melakukan proses PBM harus dirancang sedemikian rupa, penyampaian yang sistematis, dengan suara yang cukup jelas, membuat konsidisi belajar tidak tegang tapi menyenagkan. Jika bisa sedikit homoris. Rasa senang akan menumbuhkan motivasi juga dan sedikit humoris. Kalau sudah tidak senang motivasi juga lenyab. Mengajar dan mendidik itu harus dilkukan dengan seni (art).
Seni secara sederhana bisa kita fahami yaitu: indah, menarik dsb. Agar mempunyai nilai seni: indah dan menarik maka perlu dirancang (didesain) cara penyampaian materi ajaran. Orang yang mampu melakukan pekerjaan ini adalah orang punya bakat mengajar atau orang yang banyak belajar. Artinya orang yang kurang berbakat untuk mengajar bisa melakukan pekerjaan mengajar asalkan banyak belajar dari buku dan media-media lainnya.
Ciri dari orang punya bakat mengajar atau orang yang banyak belajar selalu berenovasi, kreativitasnya tinggi, tidak mengelung dalam menghadapi sikap dan perilaku anak/siswa. Ciri dari orang yang tidak/kurang berbakat mengajar, cara mengajar menoton atau tidak enovatif dan kreatif dan banyak keluhan dalam menghadapi siswa. Jadi bawaannya marah-marah dan stress. Masuk ke kelas membawa wajah muram. Akhiranya mengajar hanya sebagai pelaksanaan tugas atau kewajiban sambil berkata dalam hati “mau gerti atau tidak masa bodo”. Yang penting sudah melaksanakan tugas. Terhindar dari sifat demikian, seorang guru harus melakukan aktualisasi diriyaitu dengan belajar dan belajar.
Belajar sepajang hidup. Guru secara terus menerus berhadapat dengan manusia maka juga harus memperdalam dan memperluas pengetahuan psikoligi anak disamping disiplin ilmu lain yang berkaitan. Mempedalam dan memperluas atau memberdayakan diri (self empowerment) sesuai dengan tugas atau profesi kita merupakan bagian dari tugas kita bukan hanya tugas dari lembaga atau organisasi dimana kita bekerja. Karena hal itu adalah modal dan harga diri kita. Ingat kata Tuhan “orang yang berilmu akan ditinggikan derajatnya”. Kalau kita tidak berilmu siapa yang mau meninggikan derajat kita. Tolong difahami dalam kontek ini, bukan “ilmu santet”.
Contoh konkrit: kalau dikampung-kampung ada orang tua atau setengah tua punya pengetahuan, karena berpengatahuan punya wawasan pemikiran luas. Kalau ada salah satu masyarakat mengudang baik acara syukuran atapun selamatan dsb, tuan rumah selalu menyeapkan tempat duduknya yang pantas dan terhormat. Disini kita lihat, dengan pengetahuan dan wawasanya yang luas selalu menjadi tumpuan untuk meminta pendapat atau pemikiran dalam berbagai hal. Oleh karena itu telah ditinggikan derajatnya oleh dia sendiri dan oleh orang/masyarakat lingkungannya.
Kepribadian guru juga sangat mempengaruhi motivasi anak belajar. Oleh karena itu pula guru harus mendesain kepribadian yang pantas dicontoh dan diteladani oleh semua anak didik. Karena guru adalah model bagi anak didik. Contohnya, ada guru yang diidolakan anak dan ada pula yang tidak. Guru yang tidak diidolakan anak didik, anak kepinginnya tidak usah masuk kelas atau guru masuk kelas anak bersikap cuek atau anak membolos. Kita juga pernah mengalami hal seperti ini.
Kepribadian guru mempengaruhi motivasi belajar anak didik sebagaimana yang dikemukakan Zakiah Dradjad (Riduan, 2009:20), kepribadian adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap keseberhasilan seorang guru. Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah dia akan menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghacur bagi hari depan anak didik terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).
Tingkat sekolah dasar yang dimaksudkan di atas dapat difahami adalah anak didik SD sampai dengan SMP sesuai dengan penetapan wajib belajar 9 tahun.
Tentang kepribadian guru berikut hasil temuan oleh Riduan (2009:20) menjelaskan sbb: Kepribadian yang ditampilkan guru dalam mengajar sesuai dengan harapan siswa, maka siswa akan termotivasi untuk belajar dengan baik. Namun kenyatakan menunjukkan, seringkali kepribadian guru dalam KBM kurang membangun motivasi siswa. Hal in teramati pada saat melakukan (PLBK) Praktek Lapangan Bimbingan dan Konseling dan (PPL) Program Pengalaman Lapangan terhadap kpribadian guru, dimana guru seringkali berprilaku yang kurang patut diteladani dan kurang menggugah motivasi belajar siswa. Hal ini terlihat dari seringnya guru terlambat ke kelas, menggunakan metode pembelajaran yang kurang menyentuh aspek psikologis siswa, menyajikan materi tidak sistimatis, tidak ramah, lekas marah, tidak melibatkan siswa dalam PBM, tidak memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengungkapkan idea tau gagasan, sehingga siswa tidak tertarik untuk mempelajari mata pelajaran yang diberikan guru.
Dari penjelasan di atas, tentang kepribadian guru terhadap motivasi belajar anak didik/siswa sejalan dengan apa yang kita amati. Seperti guru jarang sekalai begitu bunyi bel masuk dia masuk ke kelas. Keseringan guru diingatkan atau dipanggil/dijemput oleh anak didik. Sehingga waktu yang disediakan atau terjadwalkan menjadi kurang efektif. Budaya ingin dilayani masih sangat kental daripada budaya melayani. Seperti yang sering kita kemukan bahwa kesadaran masih kurang dan kewajiban sebagai melayani lemah karena lemahnya kesadaran kita.
Sebagai pimpinan sekolah pengawas sekolah sering-sering bertanya kepada siswa, bagaimana cara mengajar guru-gurunya. Anak akan memberikan informasi tentang guru yang mengajarnya secara objektif. Dari informasi tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk program peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru. Yang sangat kita tidak inginkan kalau kelapala sekolah tidak mampu menunjukkan kualitasnya begitu juga dengan pengawas pendidikan. Kalah sisik dengan guru. Misalnya, kepala sekolah dan pengawas tidak melakukan supervisi kelas untuk melihat dan menilai secara komprehensif cara mengajar guru di kelas. Yang jadi masalah, yang disupervisi lebih berkualitas daripada yang mensupervisi, ini sangat merepotkan. Oleh karena itu yang memimpin harus lebih siap dari yang dipimpin. Ini terkait dengan masalah harga diri/kepribadian dan dalam pemberian motivasi pada orang yang dipimpin. Masksudnya, kepala sekolah adalah guru dari guru, pegawas sekolah gurunya dari kepala sekolah.
Kalau kepala sekolah lebih tahu daripada pengawas, wah jadi repot itu. Kita bisa melihat dari kenyataan dan membadingkan kepemimpinan bangsa dan pemerintahan kita mulai orde lama, orde baru dan orde reformasi saat ini. Demikian juga kita dapat melihat dan menilai keberhasilan pimpimnan di dunia, mana yang bagus (berkualitas) dan tidak bagus. Demikian pula disekolahan, sering pergantian pempinan. Dari pergantian pimpinan itu kita dapat merasakn dan memberikan penilaian mana yang bagus dan mana yang tidak. Yang perlu kita fahami bersama bahwa pimpinan berkualtas akan memberikan keberhasilan, perbaikan dan kemajuan organisasi/unit/negara yang dipimpinnya.
Kekauatan Movitasi Ekstrinsik Oleh Guru Terhadap Anak Didik (Contoh Riil).
Kekuatan motivasi eksternal dari beberapa teman guru. Memberikah hadiah kepada hasil ujian harian, ujian semesteran dan ujian nasional. Ada guru mata pelajaran X membuat kesepakatan dengan anak didik. Nilai terbagus masuk 10 besar dari 40 anak (satu kelas) diberi hadiah selverquin (kueh coklat). Dana dikumpulkan dari anak per anak 1000. (dari anak untuk anak untuk tujuan anak). Setelah hasil ulangan harian dikoreksi oleh guru X lalau dibuar ranking 1 s/d 40. Yang masuk 10 besar mendapatkan kueh coklat dengan jumlah yang berbeda. Yang nomor satu tentu lebih banyak, tetapi yang tidak masuk 10 besar juga dapat satu orang satu kuih. Ternyata dari cara demikian motivasi anak belajar positif. Ada usaha untuk memperoleh nilai yang lebih tinggi agar mendapatkan hadiah. Anak didik jadi kompetitif (bersaing). Sanagat berbeda hasilnya atara ulangan harian sebelumnya tidak memberikan hadiah.
Ada juga guru mata pelajaran matematika mencoba memberikan hadiah. Yang satu ini tidak mengumpulkan data dari peserta didik. Menggunakan uangnya sendiri. Cara deikian dilakukan melihat motivasi belajar anak mata pelajaran matematikan hamper tidak ada. Gurunya sudah pusing tujuh keliling. Mengadu kesemua guru tentang rendahnya motivasi anak belajar matematika. Guru tersebut berjanji kepada kepada anak didik. Bagi siswa yang mendapatkan nilai ulangan harian matematika nilai delapan ke atas akan diberikan hadiah 20.000 peranak. Kebetulan dilakukan pada salah satu kelas yang sangat rendah sekali motivasi belajar matematika. Cara demikian ternyata dapat mendongkrak hasil ujian harian anak. Ada sekitar delapan anak mencapai nilai delapan ke atas.
Ada pula guru membuat cara menjawab soal dengan membuat tekateki silang. Dengan cara ini kelihatan anak merasa senang dan bersemangat mengerjakan soal ujian harian. Rasa senang dan bersemangat menunjukkan adanya motivasi anak.
Ada juga juru matematika berjanji memberikan hadiah secara pribadi kepada anak didik pada ujian nasionanl. Guru matematika tersebut berjanji, jika 10 anak didik mendapatkan nilai 10 maka akan diberi hadiah jalan-jalan ke Kebun Bitang Ragunan Jakarta Selatan. Cara ini juga sangant efektif, terlihat dari antusias anak didik dalam mempersiapkan ujian nasional. Hasilnya dapat mendongkrak nilai peserta didik ujian nasional, meskipun tidak mencapai tergat 10 orang, tetapi ada mendapat nilai 10 dua orang nilai 9 orang dan nilai delapan 15 orang dari 97 peserta ujian nasional. Dalam hal ini pula kelihatan secara signifikan semangat, gairah, antusias, kesungguhan anak untuk mempersiapkan diri untuk ujian nasional.
Guru bahasa inggris membuat janji dengan siswa. Jika mampu memperoleh nilai ujian nasional delapan ke atas akan diberi hadiah 50.000 per-anak. Uang pribadi guru tersebut. Hal ini juga mendorong anak melakukan persiapan ujian nasional bahasa inggris dengan sungguh dan samangat yang tinggi. Hasilnya ada 12 anak yang memperoleh nilai delapan ke atas dari 97 peserta ujian nasional. Dengan melihat prestasi dan motivasi belajar anak-anak tidak ada yang mencapai nilai delapan ke atas. Guru yang mengajari anak kelas IX tersebut sanagat pesimis. Dengan cara memberikan hadiah ternyata dapat menghilangkan rasa pesimis guru tersebut dan hasilnya sangat mengagatkan dia sendiri.
Yang kita inign garisbawahi dari ketiga perlakuan ekstrinsik tersebut efektif. Dapat mendorong (memotivasi) anak untuk belajar, menimbulkan kompetisi antar sesama anak dan nilai anak sangat bervariasi. Peningkatan prestasi anak didik adalah tujuan sedangkan hadiah kueh coklat, uang dan jalan-jalan keluar kota adalah alat yang digunakan untuk memunculkan motif, keinginan dan motivasi anak didik/siswa.
Perlu kita informasikan bahwa kondisi sekolah 97 % input siswa berasal dari lingkungan kelurga miskin perkotaan. Anak yang kebanyakan dari golognan ekonomi menengah dan atas. Pada awal tahun banyak anak yang berprestasi mendaftar masuk, tetapi setelah diterima di SMP Negeri anak-anak tersebut mengudurkan diri. Tinggalah anak-anak kemampuan sedang dan lebih banyak kemapuan rendah. Karena anak yang kemampuan bagus-bagus tadi sudah diterima di sekolah bagus (berkualitas), sekolahan kita kekosongan bangku atau peserta didik baru. Dan jumlahnya cukup banyak.Bisa separuhnya mengundurkan diri. Mau tidak mau, harus menerima anak didik yang tidak diterima dari SMP Negeri (nilai USBN-nya sangat rendah). Sekolah kita juga sekolah negeri dibawah binaan Departemen Agama (MTsN) yang berkedudukan di Jakarta Pusat.
Disi perlu kita berbagi, dengan adanya secaranyata pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap motivasi belajar anak/siswa sebagaimana teman-teman lakukan di atas, perlu dicoba lakukan disekolah-sekolah lainya di nusantara. Memberikan hadiah kepada anak berprestasi misanya untuk 10 besar untuk setiap kelas setiap semesteran dan ujian nasional. Walaupun tidak besar tapi sangat besar pengaruhnya terhadap motivasi belajar serta prestasi anak didik/siswa dan akan meningkatkan kualitas proses dan hasil output sekolah.
Seperti yang telah disebutkan di atas yaitu dengan prinsip “dari anak, untuk anak dan untuk tujuan anak”. Dikumpulkan dananya dari anak 100 rupiah/anak dan itu diberikan hadiah dalam bentuk kueh atau permen atau alat-alat tulis bagi anak-anak sudah cukup senang gembira. Suasana belajar akan berbeda. Yang tidak berprestasi pun diberikan karena dia juga sudah berjuang. Yang penting suananya diciptakan senang dan gembira. Seakan-akan tidak ada kalah dan menang. Cuma pembagian hadiah yang berbeda antara yang berprestasi seperti yang diharapkan dengan yang tidak.
Demikian juga dengan orang tua, buat janji dengan anak kalau nilai bisa mencapai rata-rata X maka akan diberi hadiah. Hadiah dalam arti mendidik, jangan sampai menyesatkan anak. Harga terjangkau, seperti mebawa anak berbain ketempat wisata atau berbentuk makanan, barang dan alat tulis menulis dsb.
Jadi bagian dari tugas guru dan sekolah adalah motivasi anak belajar, dengan menumbuh kembangkan. Secara terus menerus menstabilkan dan meningkatkan. Menurut Yusuf (Ridwan, 2009:20) menjelaskan tentang anak didik yang memiliki motivasi belajar rendah adalah sbb: Siswa yang memiliki motivasi belajar rendah ditandai oleh bentuk tingkah laku sebagi berikut: (1) kelesuan dan ketidakberdayaan (2) penghindaran atau pelarian diri (3) pertentangan (4) kompensasi.
Oleh karena itu guru/sekolah dan orang tua anak didik/siswa, memberi kegairahan, menjadikan berdaya, membuat belajar adalah pekerjaan yang menyenangkan, tidak menimbulkan pertentangan dan memberikan hadiah kepada anak yang berprestasi, seperti anak yang mendapatkan nilai murni 7 ke atas diberikan hadiah besarnya bervariasi.
Penutup
Motivasi belajar anak didik/siswa agar dapat optimal dibagunan melali 3 unsur yaitu oleh siswa sendiri, guru/sekolah dan orang tua didik. Ketiga unsur merupakan satu kekuatan harus saling kerjsama. Oleh karena itu anak/siswa harus peduli (open) dengan dirinya, demikian juga guru/sekolah dan orang tua didik melaksanakan peran sebagai motivator.
Untuk memancing atau membangkitkan/meransang motivasi intrinsik anak/siswa karena tidak ada atau lemah maka harus dilakukan dengan motivasi ekstrinsik. Kelihatanya cara demikian dapat memberikan hasil, tetapi langka atau jarang dilakukan oleh sekolah. Sekolah ingin meningkatan kualitas tetapi dengan sedikit berpuat, tidak rasional.
Tidak ada/kurang atau lemah motivasi anak/siswa dalam belajar disebabkan oleh tidak adanya: sebab/akibat (motif), dorongan (motivasi) dan tujuan. Oleh karena itu perlu diinformasikan atau disosilisasikan, dijelaskan dan ditanyakan tujuan dari anak didik/siswa sekolah, yaitu yang berkaitan tidak ada/kurang atau lemahnya motivasi belajar (negative) menjadi kalimat positif.
Untuk anak didik SMP, Siswa Sekolah Menegah Atas dan Perguruan tinggi:
1. Rasa ingin tahu dari anak didik tidak ada atau rendah
2. Tidak mempunyai cita-cita yang akan diraih (seperti menjadi : Insiyur, dokter, ekonom, politikus, dsb)
3. Tidak ingin berprestsi di sekolah (mencapai nilai baik dan terbaik)
4. Tidak ada keinginan untuk melanjutkan sekolah, diterima di sekolah berkualitas.
5. Persepsi, sekolah tinggi-tinggi tidak ada peluang pekerjaan.
6. Tidak/kurang menghargai atau tidak ada rasa kasihan dengan orang tua
7. Sekolah hanya ikut-ikutan teman-teman
8. Tidak bakat sekolah, sekolah karena dorongan orang tua
9. Bersekolah pada sekolah tidak sesuai dengan keinginan
untuk anak anak didik SD
1. Rasa ingin tahu anak didik tidak ada atau lemah
2. Tidak ada keinginan untuk mendapatkan nilai yang lebih baik dan tinggi
3. Tidak sayang sama bapak/ibu
Perbaikan sikap dan perilaku atupun kepribadian, pemberdayaan diri sebagai modal dan harga diri dalam jenis pekerjaan apapun, dimanapun tempat kejara kita. Meningkat dan ditingkatkan oleh kita sendiri dan organisasi. Dilakukan melalui aktulisasi diri, mengikuti perubahan dan perkembangan sesuai dengan pekerjaan/profesi kita.
Guru/sekolah sebagai motivator bagi anak didik/siswa juga harus bisa memotivasi diri untuk lebih berdaya melalui aktualisai diri.
Reperence
Riduan, Penelitian untuk Guru dan Karyawan
Harold J. Leavitt (Muslichah Zarkasi), Psikologi Manajemen
Agus sujanto, Halim Lubis, Taufik Hadi, Psikologi Kepribadian
Sardiman A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar
Sudarwan Danim, Motivasi Kepemimpinan dan Efektifitas Kelompok
Tuesday, December 8, 2009
Masalah Pelayanan adalah Kesadaran...
MASALAH PELAYANAN ADALAH MASALAH KESADARAN BERMASYARAKAT DAN BERSAUDARA
Sebagaimana kita ketahui citra pelayanan pemerintah pada saat ini masih belum memuaskan masyarakat. Berbagai keluhan dari penyelenggaraan pelayanan masih terus mewarnai dunia pelayanan publik di Indonesia (LAN RI, Setrategi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik).
Pelayanan publik sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No:63/KEP/M.PAN/7/2003 diartikan sebagai segala kegiatan pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Publik diartikan masyarakat secara luas. Masyarakat perlu dilayani dan dipenuhi kebutuhannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagai kewajibawan pemerintah penyelenggara pelayanan memberikan hak atas masyarakat, yang telah memerikan kewajibannya dengan pembayaran pajak.
Terbentuknya suatu negara karena dibangun unsur-unsur adaya suatu wilayah, masyarakat(penduduk), pemerintahan (Miriam Budiardjo,1993) dan pengakuan dunia internasional. Inodnesia dengan wilayah yang luas dalam bentuk kepulauan, dengan beragam suku bangsa, bahasa, budaya dan agama.
Terbentuknya suatu pemerintahan karena adanya unsur masyarakat juga. Masyarakat golongan bawah, menengah dan atas dilihat dari aspek ekonomi maupun tingkat pendidikan. Masyarakat juga dari golongan suku-suku bangsa dan bahasa.
Organisasi partai politik terbangun dari dan oleh unsur masyarakat berbagai suku bangsa, bahasa, budaya dan agama yang punga pandangan dan paham politik yang sama untuk dapat mengambil peran dalam pemerintahan. Organisasi masa yang berorientasi sosial maupun keagamaan juga di bangun dari unsur masyakarat untuk suatu kepentingan dan tujuan. Birokrasai pemerintahan atau organisasi pemerintahan sebagai pelaksana dan sekaligus sebagai penerima proses pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan yang juga diisi dari unsur masyakat dari berbagai suku bangsa, budaya, bahasa dan agama.
Jadi semua itu terbangun dari unsur masyarakat dari dalam wilayah negara, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak ada yang mengambil dari luar NKRI. Suatu negara adalah suatu rumah tangga yang besar yang terbangun dari unsur-unsur rumahtangga-rumahtangga yang kecil-kecil berbagai suku bangsa, bahasa, budaya dan agama. Semuanya itu berawal atau bermula dari masyarakat yang kemudian mempunyai kesempatan berpartisipasi dalam penyelanggaraan dan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan baik yang berada di wilayah politik maupun di wilayah birokrasi pemerintahan adalah orang-orang yang semula sebagai masyarakat biasa.
Yang perlu ditegaskan dalam hal ini adalah tidak ada anggota legeslatif, ekskutif dan yudikatif yang bukan bersumber dari masyakat biasa pada awalnya. Demikian juga dengan aparatur-aparatur birokrasi pemerintahan, semuanya bermula dari masyarakat biasa pada awalnya. Jadi tidak ada yang muncul dari dalam perut bumi dan jatuh dari langit atau masuk dari samping kanan dan dari samping kiri dan dari depan ataupun dari belakang. Artinya, Legislatif, ekskutif, yudikatif dan birokrasi pemerintahan merupakan bagian dari eksekutif adalah dari sumber yang sama yaitu masyarakat yang ada dan yang sama. Dan bukan mahluk aneh sehingga seperti minyak dengan air. Yang membedakan adalah dalam melaksanakan perannya masing-masing. Role (peran) : apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalanakan suatu peranan (Soedjono Soekanto,1990).
Peran Legislatif sebagai pembuat undang-undang, pengawasan, dan buggeting. Esksekutif melaksanakan perintah undang-undang secara teknis dan birokrasi sebagai pelaksana oprasional, dan yudikakif sebagai lembaga peradilan. Masyarakat melakukan aktivitas produktif dan sebagian hasilnya diberikan kepada pemerintah yang diberi kuasa untuk mengakumulasi dan mendistribusikan kembali untuk kepentingan umum masyarakat. Malayani kebutuhan umum masyarakat. Legislatif, eskseukit/birokrasi pemerintahan dan yudikatif yang mendapatkan atau dikompensasi oleh masyarakat, yang juga sebagai masyarakat harus menyisihkan sebagaian dari kompensasi yang diterima dari pemerintah untuk membayar pajak. Kompensasi yang diterima karena melaksanakan perannya mengatur atau mengurusi kepentingan masyarakat. Pajak merupukan bentuk kompensasi dari masyarakat tehadap pelenggaraan kepemerintahan. Oleh karena sebagian pajak tersebut digunakan untuk kompensasi peyelenggara kepemerintahan.
Kepemerintahan meliputi Legislatif, ekskutif/birokrasi dan yudikatif dan institusi lain yang menggunakan dana dari pemerintah. Intinya, sebagai masyarakat walaupun berbeda perannya punya kewajiban untuk memberikan sebagian dari penghasilannya yang disebut pajak. Pajak adalah sebagai sumber utama dalam terselengaranya kepemerintahan dan pembangunan.
Karena Legislatif, eksekutif/birokrasi dan yudikatif mengambil peran sebagai yang mengatur atau mengurusi atau melayani kepentingan masyarakat, awalnya juga sebagai masyarakat dan yang dilayani juga masyarakat. Maka dapat dikatakan masyarakat melayani masyarakat. Sebagai masyarakat yang sama-sama masyarakat. Sebangsa setanah air dan sebahasa. Bangsa Indonesia sebagai suatu rumah tangga yang besar bermasyakat bersaudara. Maka sauadara melayani kepentinan saudaranya.
Dengan prinsip masyarakat melayani masyakat, saudara melayani saudaranya sendiri, maka tidak ada pelayanan yang tidak baik di republik ini. Itu semestinya. Merasa senasip, seperjuangan, untuk mencapai kebaikan, kemajuan, keadilan, keamanan, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup dan kehidupan. Karena sebagai masyarakat yang berbeda peran tetepi berawal dari satu masyarakat yang satu melakukan dan berbuat untuk kepentingan bersama. Oleh karena itu, tidak ada diskriminasi, tidak mempersulit atau berbelit-belit dalam melayani kepentingan masyarakat. Tidak pungli dan tidak kurupsi. Jika masalah pelayanan tidak baik memenuhi rasa dan harapan masyarakat, maka itu sudah memperlakukan masyarakat atau saudara kita sendiri dengan cara-cara yang tidak sewajarnya. Sejawajarnya adalah sebagaiamana kita sendiri ingin diperlakukan masyarakat atau sauadara kita sendiri. Perasaan seperti inilah yang harus dimunculkan dalam melaksanakan berbagai bentuk pelayanan antar sesama masyarakat dan sauadara. Ini hanya ada, kalau kita sudah memunculkan kesadaran yang tinggi. Seperti, tidak tertib berlalulintas, tidak tertib membuang sampah pada tempatnya, tidak ada motivasi anak didik untuk belajar dsb. Ini menujukan kurang kesadaran. Pada umunya orang mengatakan demikian. Jadi selamanya, jika kesadaran itu tidak muncul lebih tinggi maka tidak ada ketertiban atau ketertiban akan selalu rendah dalam berbagai bentuk perbuatan atau berperilaku.
Jadi untuk membangun suatu masyarakat atau sauadara yang saling melayani jauh dari paktik-praktik yang semua kita tidak menginginkannya seperti yang telah dikemukakan di atas maka kita semua harus membagun kesadaran yang lebih tinggi. Sebaik apapun sistem yang dibuat, kalau masyarakat kita kesadaran menerima dan melaksanakan tidak ada atau lemah maka selamanya tidak tertib dan bigitu pula dengan berbagai bentuk pelayanan. Kesadaran itu akan membedakan baik dan buruk dan kesadaran itu pula yang mengarahkan orang untuk berlaku jujur.
Kata “kita semua harus membangun kesadaran yang tinggi”, dalam makna sesorang itu tidak mampu mempengaruhi atau menyandarkan orang lain jika orang lain tersebut tidak mau menerima/menolak usul atau pun saran dari orang yang mencoba mempengaruhi untuk menyadarkannya. Jadi kesadaran yang hakiki itu memang harus muncul dari setiap individu. Individu berasal dari rumahtangga. Bagaimana pembinaan kesadaran yang tinggi di dalam keluarga. Individu dan rumahtangga adalah masyarakat. Kalau semua individu dalam rumahtangga sudah tertanam kesadaran yang tinggi maka itu akan menjadi kebiasaan yang baik dalam berperilaku.
Karena dari individu dan dalam rumahtangga (keluarga) sudah kurang baik sebagai sumber awal masyarakat, demikian juga dengan pengendalian aspek agama dan dari pemerintah kurang baik, maka dipandang perlu ada gerakan untuk membangun kesadaran nasional dari pemerintah bersama-sama unsur-unsur yang mewakili masyarakat seperti organisasi keagamaan dsb, sebagai pendorong peningkatan kesadaran individu, keluarga dan semua lapisan masyarakat baik di kepemerintahan dan masyarakat pada umumnya. Diharapkan akan muncul perilaku pelayanan dengan penuh kesadaran, karena merasa antara yang melayani dengan yang dilayani dari masyarakat yang sama dan bersaudara. Masyarakat yang bersaudara bukan hanya dalam satu wilayah negara tetapi juga antar bangsa dan negara harus dan selalu memberikan pelayanan dan melayani dengan baik (berkualitas).
Kita sering melakukan diskusi dan/atau sering mengikuti diskusi tentang sikap dan perilaku masyarakat kita baik formal di Kampus maupun secara nonformal selalu muncul kata “kurang kesadaran”. Lalu ……: jangan-jangan, jangan-jangan nenek moyang ……..seperti itu. Jika…; maka; Ini, harus dihentikan jagan dilanjutkan.
Reference:
Buku;
Dasar-dasar Ilmu Politik (Miriam Budiardjo)
Sosiologi, suatu pengantar (Soerjono Soekanto)
Setrategi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik (LAN RI)
Sebagaimana kita ketahui citra pelayanan pemerintah pada saat ini masih belum memuaskan masyarakat. Berbagai keluhan dari penyelenggaraan pelayanan masih terus mewarnai dunia pelayanan publik di Indonesia (LAN RI, Setrategi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik).
Pelayanan publik sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No:63/KEP/M.PAN/7/2003 diartikan sebagai segala kegiatan pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Publik diartikan masyarakat secara luas. Masyarakat perlu dilayani dan dipenuhi kebutuhannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagai kewajibawan pemerintah penyelenggara pelayanan memberikan hak atas masyarakat, yang telah memerikan kewajibannya dengan pembayaran pajak.
Terbentuknya suatu negara karena dibangun unsur-unsur adaya suatu wilayah, masyarakat(penduduk), pemerintahan (Miriam Budiardjo,1993) dan pengakuan dunia internasional. Inodnesia dengan wilayah yang luas dalam bentuk kepulauan, dengan beragam suku bangsa, bahasa, budaya dan agama.
Terbentuknya suatu pemerintahan karena adanya unsur masyarakat juga. Masyarakat golongan bawah, menengah dan atas dilihat dari aspek ekonomi maupun tingkat pendidikan. Masyarakat juga dari golongan suku-suku bangsa dan bahasa.
Organisasi partai politik terbangun dari dan oleh unsur masyarakat berbagai suku bangsa, bahasa, budaya dan agama yang punga pandangan dan paham politik yang sama untuk dapat mengambil peran dalam pemerintahan. Organisasi masa yang berorientasi sosial maupun keagamaan juga di bangun dari unsur masyakarat untuk suatu kepentingan dan tujuan. Birokrasai pemerintahan atau organisasi pemerintahan sebagai pelaksana dan sekaligus sebagai penerima proses pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan yang juga diisi dari unsur masyakat dari berbagai suku bangsa, budaya, bahasa dan agama.
Jadi semua itu terbangun dari unsur masyarakat dari dalam wilayah negara, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak ada yang mengambil dari luar NKRI. Suatu negara adalah suatu rumah tangga yang besar yang terbangun dari unsur-unsur rumahtangga-rumahtangga yang kecil-kecil berbagai suku bangsa, bahasa, budaya dan agama. Semuanya itu berawal atau bermula dari masyarakat yang kemudian mempunyai kesempatan berpartisipasi dalam penyelanggaraan dan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan baik yang berada di wilayah politik maupun di wilayah birokrasi pemerintahan adalah orang-orang yang semula sebagai masyarakat biasa.
Yang perlu ditegaskan dalam hal ini adalah tidak ada anggota legeslatif, ekskutif dan yudikatif yang bukan bersumber dari masyakat biasa pada awalnya. Demikian juga dengan aparatur-aparatur birokrasi pemerintahan, semuanya bermula dari masyarakat biasa pada awalnya. Jadi tidak ada yang muncul dari dalam perut bumi dan jatuh dari langit atau masuk dari samping kanan dan dari samping kiri dan dari depan ataupun dari belakang. Artinya, Legislatif, ekskutif, yudikatif dan birokrasi pemerintahan merupakan bagian dari eksekutif adalah dari sumber yang sama yaitu masyarakat yang ada dan yang sama. Dan bukan mahluk aneh sehingga seperti minyak dengan air. Yang membedakan adalah dalam melaksanakan perannya masing-masing. Role (peran) : apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalanakan suatu peranan (Soedjono Soekanto,1990).
Peran Legislatif sebagai pembuat undang-undang, pengawasan, dan buggeting. Esksekutif melaksanakan perintah undang-undang secara teknis dan birokrasi sebagai pelaksana oprasional, dan yudikakif sebagai lembaga peradilan. Masyarakat melakukan aktivitas produktif dan sebagian hasilnya diberikan kepada pemerintah yang diberi kuasa untuk mengakumulasi dan mendistribusikan kembali untuk kepentingan umum masyarakat. Malayani kebutuhan umum masyarakat. Legislatif, eskseukit/birokrasi pemerintahan dan yudikatif yang mendapatkan atau dikompensasi oleh masyarakat, yang juga sebagai masyarakat harus menyisihkan sebagaian dari kompensasi yang diterima dari pemerintah untuk membayar pajak. Kompensasi yang diterima karena melaksanakan perannya mengatur atau mengurusi kepentingan masyarakat. Pajak merupukan bentuk kompensasi dari masyarakat tehadap pelenggaraan kepemerintahan. Oleh karena sebagian pajak tersebut digunakan untuk kompensasi peyelenggara kepemerintahan.
Kepemerintahan meliputi Legislatif, ekskutif/birokrasi dan yudikatif dan institusi lain yang menggunakan dana dari pemerintah. Intinya, sebagai masyarakat walaupun berbeda perannya punya kewajiban untuk memberikan sebagian dari penghasilannya yang disebut pajak. Pajak adalah sebagai sumber utama dalam terselengaranya kepemerintahan dan pembangunan.
Karena Legislatif, eksekutif/birokrasi dan yudikatif mengambil peran sebagai yang mengatur atau mengurusi atau melayani kepentingan masyarakat, awalnya juga sebagai masyarakat dan yang dilayani juga masyarakat. Maka dapat dikatakan masyarakat melayani masyarakat. Sebagai masyarakat yang sama-sama masyarakat. Sebangsa setanah air dan sebahasa. Bangsa Indonesia sebagai suatu rumah tangga yang besar bermasyakat bersaudara. Maka sauadara melayani kepentinan saudaranya.
Dengan prinsip masyarakat melayani masyakat, saudara melayani saudaranya sendiri, maka tidak ada pelayanan yang tidak baik di republik ini. Itu semestinya. Merasa senasip, seperjuangan, untuk mencapai kebaikan, kemajuan, keadilan, keamanan, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup dan kehidupan. Karena sebagai masyarakat yang berbeda peran tetepi berawal dari satu masyarakat yang satu melakukan dan berbuat untuk kepentingan bersama. Oleh karena itu, tidak ada diskriminasi, tidak mempersulit atau berbelit-belit dalam melayani kepentingan masyarakat. Tidak pungli dan tidak kurupsi. Jika masalah pelayanan tidak baik memenuhi rasa dan harapan masyarakat, maka itu sudah memperlakukan masyarakat atau saudara kita sendiri dengan cara-cara yang tidak sewajarnya. Sejawajarnya adalah sebagaiamana kita sendiri ingin diperlakukan masyarakat atau sauadara kita sendiri. Perasaan seperti inilah yang harus dimunculkan dalam melaksanakan berbagai bentuk pelayanan antar sesama masyarakat dan sauadara. Ini hanya ada, kalau kita sudah memunculkan kesadaran yang tinggi. Seperti, tidak tertib berlalulintas, tidak tertib membuang sampah pada tempatnya, tidak ada motivasi anak didik untuk belajar dsb. Ini menujukan kurang kesadaran. Pada umunya orang mengatakan demikian. Jadi selamanya, jika kesadaran itu tidak muncul lebih tinggi maka tidak ada ketertiban atau ketertiban akan selalu rendah dalam berbagai bentuk perbuatan atau berperilaku.
Jadi untuk membangun suatu masyarakat atau sauadara yang saling melayani jauh dari paktik-praktik yang semua kita tidak menginginkannya seperti yang telah dikemukakan di atas maka kita semua harus membagun kesadaran yang lebih tinggi. Sebaik apapun sistem yang dibuat, kalau masyarakat kita kesadaran menerima dan melaksanakan tidak ada atau lemah maka selamanya tidak tertib dan bigitu pula dengan berbagai bentuk pelayanan. Kesadaran itu akan membedakan baik dan buruk dan kesadaran itu pula yang mengarahkan orang untuk berlaku jujur.
Kata “kita semua harus membangun kesadaran yang tinggi”, dalam makna sesorang itu tidak mampu mempengaruhi atau menyandarkan orang lain jika orang lain tersebut tidak mau menerima/menolak usul atau pun saran dari orang yang mencoba mempengaruhi untuk menyadarkannya. Jadi kesadaran yang hakiki itu memang harus muncul dari setiap individu. Individu berasal dari rumahtangga. Bagaimana pembinaan kesadaran yang tinggi di dalam keluarga. Individu dan rumahtangga adalah masyarakat. Kalau semua individu dalam rumahtangga sudah tertanam kesadaran yang tinggi maka itu akan menjadi kebiasaan yang baik dalam berperilaku.
Karena dari individu dan dalam rumahtangga (keluarga) sudah kurang baik sebagai sumber awal masyarakat, demikian juga dengan pengendalian aspek agama dan dari pemerintah kurang baik, maka dipandang perlu ada gerakan untuk membangun kesadaran nasional dari pemerintah bersama-sama unsur-unsur yang mewakili masyarakat seperti organisasi keagamaan dsb, sebagai pendorong peningkatan kesadaran individu, keluarga dan semua lapisan masyarakat baik di kepemerintahan dan masyarakat pada umumnya. Diharapkan akan muncul perilaku pelayanan dengan penuh kesadaran, karena merasa antara yang melayani dengan yang dilayani dari masyarakat yang sama dan bersaudara. Masyarakat yang bersaudara bukan hanya dalam satu wilayah negara tetapi juga antar bangsa dan negara harus dan selalu memberikan pelayanan dan melayani dengan baik (berkualitas).
Kita sering melakukan diskusi dan/atau sering mengikuti diskusi tentang sikap dan perilaku masyarakat kita baik formal di Kampus maupun secara nonformal selalu muncul kata “kurang kesadaran”. Lalu ……: jangan-jangan, jangan-jangan nenek moyang ……..seperti itu. Jika…; maka; Ini, harus dihentikan jagan dilanjutkan.
Reference:
Buku;
Dasar-dasar Ilmu Politik (Miriam Budiardjo)
Sosiologi, suatu pengantar (Soerjono Soekanto)
Setrategi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik (LAN RI)
Tuesday, December 1, 2009
UN Prokontra
UJIAN NASIONAL (UN) PRO-KONTRA
Kopi Morning, Reference Buat Kita Semua)
Pengadaan ujian nasional SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA yang dipermasalah oleh sekelompok orang dan bahkan meminta untuk dihapuskan. Dalam berdemokrasi dan reformasi prokontra, keberagaman bisa terjadi, dalam menilai sesuatu termasuk pengadaan ujian nasional. Ini menunjukan dinamika cara berpikir atas apa yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan dan kita simpulkan atas suatu fenomena yang yang kita permasalahkan. Perlu di ingat untuk melakukan ini kita harus objektiv dan berpikir edial, kita harus mengatakan yang semestinya/seharusnya bukan sebaiknya.
Membedakan makna semestinya/seharusnya dengan sebaiknya. Semestinya/seharusnya mempunyai makna mengkaji tentang sesuatu secara mendalam (berpikir fhilosifis), sementara pernyataan sebaiknya bermakna politis (win-win solution), tawar-menawar guna mengiring opini, argument, ke suatu titik temu yang menghasilkan prinsip kompromistis, yang hasilnya adalah warna abu-abu, tidak jelas, tidak terang, sehingga kita berada dalam suatu ketidak pastian. Politis juga mengandug makna kekuasaan, penguasaan atas posisi dan sember-sumber daya, karena adanya suatu kepentingan yang belum tentu dapat menyelesaikan masalah jangka pendek apalagi untuk jangka panjang. Kita bukan lagi merekayasa untuk jangka pendek tetapi untuk keperluan jangka panjang. Oleh karena itu kita harus menbangun pondasi yang mencakar ke bumi dan ke langit agar tetap berdiri kokoh, dapat mengatisifasi tuntutan perubahan disegala aspek termasuk aspek kualitas proses dan output pendidikan dari bangsa ini.
Kualitas pendidikan kita di Asia dan Asean sudah jauh tertinggal, contoh riilnya adalah export SDM ke luar negeri masih didominasi SDM berpendidikan rendah, akibatnya sering menibulkan masalah dan bermasalah. Sementara SDM lulusan perguran tinggi yang menganggur cukup besar, tidak mampu berkompetisi untuk merebut pasar kerja internasional. Hal ini menunjukkan proses pendidikan belum dilakukan sepenuh hati, belum berprinsip visioner dan globalisasi baik dari aspek pemerintah, masyarakat atau orang tua didik maupun dari anak didik itu sendiri mulai dari tingkat terendah sampai perguruan tinggi.
Masyarakat kita masih mengejar ijazah. Bangga dengan kepemilikan ijazah. Misalnya, suatu pernyataan “anak saya sudah/telah lulus sekolah tingkat ini dan itu, tetapi bisa apa?. Jadi pengangguran, pemiskinan diri, tidak mandiri, selamanya mengantungkan hidup dengan ekonomi orangtua. Buat apa ijazah yang hanya jadi pajangan, memenuhi lemari. Seharusnya dengan modal ijazah itu dapat mendesain bakat dan kemampuan untuk menjadi manusia kreatif dan enovatif membuat usaha produktif tanpa harus tergantung dengan lapagan kerja dari pemerintah dan swasta.
Sebarnya juga PNS kita tidak perlu banyak, sedikit tapi berkualitas, karena sedikit maka dengan mudah dapat dinaikan penghasilnnya, tanggung jawab kerja jadi meningkat. Kenapa jumlah PNS begitu besar, karena harus mengurangi pengangguran yang jumlah cukup besar.
Kedepan, dengan ijazah yang dimiliki putera puteri bangsa Insonesia juga harus mampu berkerja di luar negeri. Dunia ini bukan sedaun “kelor”, dunia ini luas. Misalnya, kedepan TKW/TKP (Tenaga Keraja Wanita/Tenaga Kerja Peria) minimal berpendidikan tingkat SMA dan yang sederajat. Oleh karena itu kompetensi pengetahuan dan komunikasi internasional (misal: bahasa ingris) harus dikuasai oleh putra-putri republik ini, baik diperkotaan maupun diperdesaan. Kalau kita memiliki kompetensi globalisasi, kita tidak hanya mampu bekerja di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Kalau kita sendiri dan kebijakan, proses pendidikan serta kualitas output pendidikan sudah membentuk manusia globalisasi akan menjadi manusia unggulan, dapat berkompetisi baik di dalam dan luar negeri. Jadi manusia berpendidikan globalisasi dimagnai, ”kebelahan duniamanpun dia pergi, dia dapat beradaptasi dengan kompentensi yang telah dia milikinya”.
Makna dari prokontra UN ini mendorong kita untuk berpikir, untuk membuat sesuatu termasuk pengadaan ujian nasional agar dilakukan dan melakukan, renovasi, enovasi, berpikir kreatif, dan filsafat, untuk suatu perubahan dan penyempuraan kepada yang lebih baik dari yang telah pernah ada saat ini maupun masa lampau. Kita memikirkan sesuatu bukan lagi kondisi sekarang kemasa lampau tetapi kita memikirkan kondisi saat ini yang merupakan hasil dari proses masa lampau yang harus kita gunakan untuk kepentingan masa akan datang. Masa akan datang adalah globalasisasi, yang diartikan mendunia, baik perdangangan, informasi, demokrasi, penegakan hukum dan HAM, termasuk Sumber daya manusia (SDM) dari bangsa Indonsesia ini harus menjadi manusia globalisasi (tidak coba-coba).
Untuk membangun dan membentuk SDM globalisasi di republik ini agar mempunyai daya saing bangsa yang tidak ketinggalan (jadul, tradisi yang membudaya) yaitu dengan membanggun dan membentuk SDM dengan memprioritaskan kepada bidang studi tertentu, bukan bidang studi lainnya tidak penting, tapi dari kesemuanya yang penting itu harus ada yang lebih penting, dari yang baik harus ada yang lebih baik. Seperti juga dalam kehidupan diri kita, keluarga kita, demikian juga dengan negara dan pemerintahan kita, selalu ada penekanan atau skala prioritas, mana yang harus lebih didahulukan atau di utamakan. Yang didahulukan atau diutamakan itu sangat strategis sifatnya, berdampak luas atau berpengaruh besar kontribusinya terhadap permasahan individu, keluarga, regional, nasional dan internasional. Misalnya, seorang yang lapar dan haus karena berpuasa, setelah waktu magrib dihadapkan kepada dua pilihan buka puasa dulu baru kemudian sholat magrib atau sebaliknya. Tentu akan lebih aman dan kusuk dalam melaksanakan sholat magrib dengan mengambil keputusan untuk minum dan makan-manakan ringan terlebih dahulu baru kemudian sholat. Jadi prioritanya adalah minum dan makan-makanan kecil. Kalau seorang petani dengan penghasilan paspasan dihadapkan pada beberapa pilihan. Hasil panen dari hasil tani untuk menyesekolahkan anaknya atau menambah atau memperluas kebun atau sawah garapannya. Jika anak dirahkan untuk bertani saja tidak usah sekolah. Saat menjual hasil tani di bohongi pedangang, karena tidak bisa hitung-hitungan, tidak bisa tulis baca, tidak tahu harga pasar dan seterusnya. Oleh karena itu yang menjadi utama atau prioritas menyekolahkan anak dengan kemampuan yang ada untuk mencapai tingkat pendidikan tertentu dari pada anak langsung diarahkan untuk bertani. Bekerja sebagai PNS atau swasta, setiap bulan terima gaji, dari gaji yang diterima setiap bulannya harus dibelanjakan untuk apa?, untuk kebutuhan sembako atau untuk hal lainnya seperti: beli baju baru, kredit kenderaan baru, kredit rumah tinggal, untuk sekolah anak dan lain sebagainya. Dari sekian kebutuhan dan keinginan itu harus ada yang lebih diutamakan. Kalau di pemerintahan juga ada skala prioritas atau yang lebih utama seperti penekananan pada aspek: kesetabilan politik, peningkatan ekonomi, pemberantasan korupsi, penggurangan pengangguran dan kemiskinan, peningkatan pelayanan kesehatan dan peningkatan pelayanan kualitas pendidikan, penegakan supermasi hukum dan HAM, reformasi birokrasi, dsb.
Demikian juga yang diutamakan dalam ujian nasional dari sekian banyak mata pelajaran tentu harus ada penekanan atau prioritas dalam rangka membangun dan membentuk SDM yang hidup yang dihadapkan pada globalisasi, siap berkompertisi dan meningkatkan daya saing bangsa dalam bidang kompetensi SDM yang berkualitas, meningkatkan harga diri individu, keluarga dan masyarakat, bangsa dan negara. Dalam hal ini dilakukan ujian nasional terbatas untuk sekolah dasar, menenggah pertama dan menengah atas. Untuk SMP/MTs diprioritaskan untuk mata pelajaran: Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Bahasa Indonesia adalah sebagai akar budaya bangsa, pemersatu bangsa, interaksi komunikasi dalam bangsa yang beragam suku bangsa dan bahasa. Jadi bahasa Indonesia merupakan identitas utama dan jati diri bangsa. Matematika modal utama dalam membentuk dasar logika, dasar sistimatika berpikir, dan dasar-dasar pendidikan analisis, kecermatan berpikir dan juga menjadi pengetahuan terapan dalam kehidupan sehari-hari dan juga keterkaitannya dengan disiplin atau mata pelajaran lain seperti IPA dan ekonomi. Jadi matematika bersinegri dengan IPA dan ekonomi dan disiplin ilmu lain yang berkaitan dengan angka-angka (statistic). Jaman sekarang sulit rasanya jika tidak ada pengetahuan dasar tentang hitung-hitungan. Masih banyak lulusan sekolah dasar belum mampu melakukan hitungan: tambah, kurang, dan pembagian. Kalau mau tahu yang sesungguhnya tes langsuh dengan mendatangi sekolah dasar negeri/swasta yang dikategorikan standar input peserta didik menengah dan bawah, tidak usah di perdesaan di perkotaan saja masih banyak. Kalau besiknya tidak baik maka untuk melangkah lebih lanjut akan lebih sulit, oleh karena itu pelajaran matematika menjadi sesuatu yang menakutkan, tidak disukai, di benci, menghindari, sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi sekalipun. Ini adalah masalah yang perlu suatu penyelesaian membuat menjadi tidak ditakuti atau dihindari tetapi menjadi sesuatu yang biasa saja seperti mata pelajaran lain.
Mata pelajaran bahasa Inggris juga sangat penting di dalam dunia informasi saat ini untuk membuka jendela dunia, sebagai alat komunikasi antar bangsa dengan bahasa yang berbeda. Ilmu pengetahuan mengalir dari barat ke timur, jika kita tidak mumpuni bahasa inggris (bahasa intertnasional) maka kita tidak melek dengan perkembangan teknologi informasi dan pengetahuan. Kita menjadi manusia, bangsa seperti katak dalam tempurung, berwawasan sempit, kuper. Sebagimana telah disebutkan di atas SDM globalisasi harus mumpuni bahasa inggris atau bahasa internasional.
Kita juga tidak boleh kalah dalam penguasaan teknologi. Oleh karena itu dasar-dasar pendidikan atau pelajaran IPA harus kuat, karena bagi anak didik telah lulus sekolah 9 tahun yang punya bakat kearah itu sudah punya dasar yang kuat untuk memilih jurusan pada sekolah lanjutan atas atau perguruan tinggi baik di dalam dan luar negeri.untuk memperkuat atau dapat mengikuti pelajaran IPA dasarnya adalah jika mata pelajaran matemetika bagus.
Demikian juga untuk ujian sekolah tingkat menengah atas yaitu SMU/MA dan sederajat dengan materi ujian nasional : Bahasa Indonesia, Matematika (ekonomi untuk jurusan social), Bahasa Inggris, dan ditambah dengan mata pelajaran kompetensi jurusan untuk jurusa sosial atau jurusan IPA, dll.
Sekarang sudah jauh lebih baik karena sudah mempunyai standar kompentensi minimal. Jika impelementasinya baik saya kira sangat signifikan dalam perbaikan kepada yang lebih baik SDM kita sebagai asset bangsa, generasi penerus bangsa dan pemerintahan, SDM globalisasi.
Ujian nasional sebagai standar nasional juga untuk meniadakan diskrimansi suatu lulusan sekolah lokal kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lain baik dalam satu provensi dengan kabupaten/kota provensi lainnya. Jadi seperti yang telah dikemukan di atas SDM berkualitas global, bukan hanya dapat diterima di luar wilyah Indonesia (luar negeri) juga dapat diterima di seluruh waliyah Indonesia. Jika tidak ada kualitas stantar minimal secara nasional akan menimbulkan diskirminasi hasil kelulusan sekolah.
Membanggun SDM yang berkualitas berstandar nasional dan bersandar SDM globalisasi, seperti membangun gedung tinggi mencakar langit. Untuk membangun gedung seperti ini harus membuat terlebih dahulu pondasi dan tiang sebagai bingkai dasarnya atau kerangka dari banggunan gedung tersebut. Kemudian dilakukan pemasangan batu bata, menutup batu bata dengan semen sebagai komponen pendukung. Sehingga berdirilah suatu bangunan yang kekar dan kokoh. Yang dimaksud pondasi dan tiang atau kerangka gedung di dalam peningkatan kualitas pendidikan kita adalah mata pelajaran UN, sedangkan untuk mata pelajaran US (ujian sekolah) itu adalah batu bata, semen dan lain-lainnya. Kalau kita ambil contoh manusia, kerangka manusia adalah mata pelajaran UN sedangkan daging dan lain-lainnya yang menempel di luar kerangka adalah mata pelajaran US. Maka berdirilah dia sebagai manusia yang tegap, kokoh dan tanngguh. Contoh yang lebih simpel memuat layang-layang. Membuat kerangka bagus, kuat, seimbang dan serasi, kemudian dilengkapi komponen pendukung seperti kertas, benang dan elem perekat. Jadilah laying-layang yang layak terbang.
Demikian juga dalam membangun bidang-bidang lain: politik/demokrasi, ekonomi, sosial-budaya/agama,kerukunan beragama, pertahanan keamanan, NKRI, dsb.
Mengapa Perlu Standar?.
Standar dapat di buat secara nasional maupun tingkat provensi dan kabupaten/kota. Standar kelulusan ujian nasional minimal, penting karena dalam mengukur keberhasilan pendidikan secara nasional harus berdasarkan standar yang jelas. Standar ujian nasional juga bukan hanya mengukur kognitif (pengetahuan) siswa, tetapi juga mengukur semua proses pendidikan: kompentensi guru, kompetensi manajerial kepala sekolah; visi dan misi, metode, strategi, sasaran dan tujuan, profisional pengawas pendidikan, kualitas pembinaan dan pengarahan pimpinan struktural terkait dengan pendidikan tingkat kota/kabupaten, dan bagaimana kulitas pendidikan dan pelatihan tenaga kependidikan, yaitu seperti apakah prosesnya dan bagaimana hasilnya. Proses mentukan hasil bukan hasil menentukan proses. Jika hasilnya sesuai dengan standar minimal berarti proses sudah berjalan seperti yang diharapkan. Harapan yang paling tinggi yaitu bisa melampui standar minimal, untuk itu prosesnyapun harus di atas proses minimal. Apakah mungkin mendapatkan hasil yang maksimal dengan usaha yang minimal. Usaha maksimal dalam kerangka berpikir dan usaha positif: rasionalitas, accountable dan jujur. Dalam hal ini, tidak menggunakan cara atau jalan menghalalkan segala cara. Hal seperti ini masih mewarnai dunia pendidikan, oleh karena itu secara rasional atau logis bahwa dunia pendidikan kita berkontribusi besar dalam membentuk mental ketidakjujuran. Karena dari fenomena bisa kita amati bahwa, pembangunan dan pengembangan mental kejujuran yang masih sangat lemah di republik ini, meskipun berlatar belakang relegius.
Standar mengerakkan atau mendorong semua yang terlibat di dalam proses pendidikan lansung seperti SDM yang ada di sekolah dan yang tidak secara langsung seperti jabatan struktural di atasnya termasuk pengawan pendidikan dan juga siswa untuk berusaha dengan kesungguhan dagan kemampuan yang ada untuk mencapai standar minimal kelulusan dan diharapkan lebih, demikian juga dengan orang tua anak didik. Tanpa ada standar tertentu proses pendidikan akan berjalan tidak beraturan, berperoses dan berjalan sendiri-sendiri. Indonesia adalah negara kepulauwan, perkotaan dan pedesaan yang juga menjadi masalah dalam mendapatakan akses informasi pendidikan. Oleh karena itu harus menggunakan standar minimal kompetensi anak didik utuk kelulusan secara nasional dengan membuat tingkat kesulitan soal yang berbeda.
Di kota seperi di DKI Jakarta saja banyak sekolah yang peserta didiknya dari input tidak baik karena berasal dari orang ekonomi lemah atau miskin perkotaan, yang orang tuanya tidak begitu open (kurang/tidak perduli) dengan pendidikan anaknya, diserhakan ke sekolah, orang tua pokoknya terima jadi, terima beres. Oleh karena itu perlu sekolah dasar sampai menengah atas, baik di kota provensi, kabupaten/kota di beri standar dalam kategori sekolah A, B dan C. Dengan demikian dapat dilakukan dan diberikan kualitas soal ujian nasional yang berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik. Contoh sekolah SMP di DKI Jakarta, menerima lulusan dari SD berdasarkan jumlah atau rerata nilai USBN. Misalnya SMP 1 menerima peserta didik baru dengan jumlah atau rerata nilai adalah X1 (tinggi), untuk SMP 2 menerima peserta didik baru dengan jumlah atau rerata nilai adalah X2 (sedang), kemudian untuk SMP 3 menerima paserta didik baru dengan jumlah atau rerata nilai adalah X3 (rendah). Jadi dapat dikategorikan SMP 1 tipe A, SMP 2 tipe B dan SMP 3 tipe C. Lalu bagaiamana dengan sekolah SMP swasta?, SMP swasta paforit/unggulan/moded masuk tipe A dan yang lainnya masuk tipe B dan paling banyak adalah tipe C. demikian dengan SMA/SMK dan yang sederajat baik negeri maupun swasta.
Untuk tingkat provensi dan kabupaten/kota juga bisa membuat stantar kelulusan di atas standar minimal kelulusan ujian nasional untuk tujuan memaju atau memberi dorongan kepada semua yang terlibat dalam proses pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung seperti telah dikemukakan di atas dan juga kepada peserta didik dan orang tua didik. Minsalnya, standar kelulusan ujian nasional untuk SMP/MTs 2009 rata-rata 5,50, untuk tingkat provensi dan kabupaten/kota membuat dengan standar 60,65 atau 65,50. Jadi bagaimana upaya dari peran pejabat institusi pendidikan pada tingkat provensi dan kabupaten/kota membuat standar kelulusan yang lebih menantang semua yang terlibat dalam pencapaian standar. Rasional dari pembuatan standar adalah tidak tinggi dan tidak pula rendah tetapi menantang. Kalau standar nasional rata-rata 5,50 lalu sekolah dan institusi pendidikan tingkat provensi dan kabupaten/kota mematok standar yang sama ia jelas kebabalasan, banyak yang tidak lulus. Kalau sekolah atau tingkat institusi provensi dan kabupaten/kota mematok 60,65 – 65,50 maka dalam ujian nasional posisinya jadi aman, karena nilai yang paling rendah akan berada pada posisi 5,50. Jadi dapat dikatakan sangat keliru kalau sekolah atau institusi pendidikan provensi dan kabupaten/kota mematok stadar kelulusan ujian nasional sama dengan standar nasional. Maka hasilnya banyak yang tidak lulus, lalu mencari kesalahan pada orang lain untuk menutupi kesalahan diri sendiri. Disini perlunya sekolah dan institusi pendidikan tingkat provensi dan kabupaten/kota kreatif dan enovatif dengan masyarakat atau orang tua anak didik dalam menentukan kualitas standar minimal pendidikan.
Proses Pendidikan
Proses pendidikan anak tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan atau sekolah. Orang tua juga harus open/perduli dengan proses dan mengikuti, mendorong, mengawasi, pendidikan anaknya. Jangan hanya bisanya mengeluh dan protes karena anak nilai kesehariannya jelek tidak naik kelas, tidak lulus ujian nasional. Orang tua anak didik harus banyak bertanya kepada diri sendiri, apakah kita sebagai orang tua sudah sangat open dengan pendidikan anak-anak?. Dalam kata lain intropeksi diri sebelum menyalahkan pihak lain, termasuk pengadaan ujian nasional. Sudah open dalam proses belajar anak di rumah dan proses pembelajaran di sekolah?.
Pada saat pemberian rapor tengah semester atau semesteran, sekolah mengundang orang tua peserta didik, kan bisa di lihat keberhasilan proses belajar anak. Dengan demikian orang tua didik bisa menilai dimana letak kesalahan jika nilai anak tidak baik, dalam proses di sekolah atau di rumah/lingkungan?. Kalau prosesnya kesalahan pihak sekolah maka berikan masukan-masukan kepada sekolah dan di pantau pelaksanaannya. Sekolah adalah milik masyarakat maka itu masyarakat (orang tua didik) harus berpartisipasi mengingkatkan kualitas anak baik proses dan hasilnya.
Kekuatan dan Kelemahan UN dan EBTANAS
Keduanya masih mempunyai kekeuatan dan kelemahan. Ebtanas tidak mempunyai standar yang jelas, yang penting ikut ujian pasti lulus. Sedangkan UN sudah mempunyai standar yang jelas dan terukur dan dinamis. Terseleksi, yang tidak lulus harus mengulang atau ikut paket C/B dan cara lain sebagai altenatifnya. Dinamis dalam arti dari tahun ketahun hasil UN di evaluasi secara menyeluruh, jika sudah berjalan dengan baik maka standar UN ditingkatkan sedikit demi sedikit apakah itu dari semua mata pelajaran UN atau untuk mata pelajaan tertentu dari kelompok mata pelajaran UN tersebut. Misalnya, untuk mata pelajaran matematika standar kelulusan tahun ini tidak di naikkan, untuk mata pelajaran lain mungkin sudah bisa dinaikkan. Ini dilakukan dalam rangka mengejar ketertinggal kualitas pendidikan kita khususnya di Asia. Perlu di antispasi mulai dari sekarang, jangan sampai negara yang termasuk jumlah penduduk atu SDM-nya termasuk yang besar di muka bumi ini tidak berkualitas. Jika itu yang terjadi, sangat tidak berpirnya masyarakat dan bangsa ini. Yang kita banggakan bukanlah jumlah penduk yang besar, luas wilayah negara yang besar, kaya sumberdaya alamnya (SDA)tetapi yang perlu dan penting kita banggakan adalah jumlah kualitas masyakat atau SDM yang besar. Apalah artinya gemuk tetapi tidak berkualitas, banyak masalah, banyak penyakit. Kalau sudah demikian tinggal menunggu kesengsaraan, keterpurukan, pengangguran dan kemiskinan dalam ekonomi, pengetahuan dan keterampilan.
Pengalaman saya, pernah ikut megoreksi ujian Ebtanas serta mengolah nilai, seterusnya tidak mau lagi, karena bertendangan dengan hati nurani saya. Nilai 1, 2, 3 dan 4 di kantrol menjadi 5 dan maksimal 6. Karena kalau meluluskan anak didik banyak angka 4 dan lima dipertanyakan masyarakat/orang dan memuat malu sendiri. Mencari informasi dari sekolah lain terdekat tentang berapa nilai kelulusan yang paling rendah. Maka dibuatlah nilai yang lebih enak di lihat, dirasakan, dan dinggar masyarakat. Ini kan telah melakukan kebohongan publik. Di sini yang perlu kita garis bawahi bahwa proses pendidikan kita belum bisa dibuat dengan cara jujur, maka hasilnya terciptalah manusia yang kejujurannya dipertanyakan sebagaimana fenomena bangsa saat ini. Ini merupakan hasil porses dan hasil pendidikan masa lalu kita.
Demikian juga ujian sekolah (US) yang ada saat ini yang sebenarnya banyak yang tidak mencapai target KKM yang di buat oleh guru mata pelajaran sehingga sekolah menunggu hasil UN, jika hasil UN menyatakan anak didik lulus maka nilai US disesuaikan untuk mencapai nilai KKM. Lagi-lagi proses tidak jujur. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa proses menentukan hasil. Kalau hasilnya demikian bagaimana proses yang merupakan suatu sistem yang berjalan selama ini. Ini yang perlu dianalis dan reevaluasi guna menemukan masalah dan pemecahannya. Di sini yang perlu di garis bawahi adalah permasalahan mental aparatur dan masyarakat kita.
Pada umunya di DKI Jakarta guru hanya berani memberi standar KKM mata pelajaran sekitar 60-65 untuk kategori sekolah input kualitas peserta didik menengah dan bawah. Padahal sekolah ada di simpul negara. SDM guru S1, sarana pendukung cukup lengkap, berkedudukan di pusat informasi. Kenapa masih ada anak lulusan SD/MI ada yang tidak/kurang bisa berhitung, menulis juga belum lancar demikian juga dengan membaca?. Ini kenyataan dan kita sering menemukan. Dalam hal ini, siapa yang salah dan siapa yang membuat masalah?. Kalau kita melihat kekeliruan seperti ini karena sekolah lebih memaksakan anak untuk naik kelas yang sebenarnya kemampuannya belum memenuhi untuk itu. Anak belum siap menghadapi tingkat pelajaran yang lebih tinggi tetapi dipaksakan. Kondisi seperti ini bukannya memperbaiki mental dan perbaikan belajar anak malah akan menimbulkan yang sebaliknya. Misalanya, seorang anak belum mampu secara baik naik sepeda kayuh tetapi sudah disuruh naik sepeda motor. Seorang anak balita baru bisa merangkang tetapi diminta bisa untuk berdiri dan berlari.
Di dalam Ebtanas tidak terlihat secara jelas motivasi dan tanggung jawab pendidik, kepala sekolah, pengawas sekolah dan struktural di atasnya untuk meningkatkan kuliatas proses pendidikan yang kerkualitas dan juga orang tua anak didik, karena tidak ada tuntutan kebijakan secara jelas bahwa kualitas output pendidikan harus mencapai standar minimal tertentu.
Kalau di dalam UN standar minimal sudah ada dan jelas dan di dalam proses pembelajaran semesteran juga sudah membuat atau mempunyai standar yaitu KKM, kemanpuan minimal yang harus di capai oleh guru dan siswa. Jika sudah diusahakan dengan berbagai usaha oleh pihak sekolah dan khusunya guru mata pelajaran (melalui remedial) namun hasilnya masih di bawah standar minimal maka anak didik tersebut lebih baik mengulang/tidak naik kelas. Karena secara mental anak belum kuat maka di beri kesempatan mengulang untuk memperbaiki diri. Jika tidak demikian, anak tersebut akan menghadapi kesilutan yang lebih sulit lagi karena dasarnya tidak kuat. Jika di paksakan akan menyiksa anak itu sendiri. Seumpanya, anak kurang gizi disuruh berkeja keras/berat, apalah jadinya!. Anak didik yang menggulang bebanya sudah berkuarang dalam menghadapi pelajaran, karena sebahagian pelajaran sudah dikuasainya, tinggal memperkuat yang dianggap masih lemah. Lambat hasilnya pasti lebih baik dari pada cepat tidak berkualitas, karena yang diinginkan dan dicari kan kualitas. Mislanya. buat apa menyekolahkan anak ke sekolah swasta paforit dengan biaya yang tinggi, karena ingin proses dan hasil anak didik yang berkualitas.
Protes Terhadap Proses dan Hasil UN
Pengawasan UN sudah cukup baik tinggal disempurnakan. Jika ada oknum atau sekelompok kepala sekolah dan pengawas dan/atau ada penekanan secara struktural untuk membocorkan jawaban UN, bukan hanya sanksi adminstratif tetapi dilakukan pemecatan jari jabatan, karena perbuatan seperti itu telah menodai dunia pendidikan dan etika moral, etika profisi sudah tidak dimilikinya. Kalau sudah etika moral dan tangungjawab dan etika profisi sudah tidak dimiliki oleh tenaga kependidikan lebih baik tidak berkecimpung dalam wilayah yang terkait dengan pendidikan. Karena hasil pendidikan adalah asset mengantarkan bagsa negara ini ketujuan yang diharapkan seperti yang diamanatkan UUD 1945 dalam pembukaan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini sebagai modal untuk menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, produktif, kreatif, profusional. Bukan saja dalam jabatan formal/pemerintahan tetapi juga dalam dunia swasta, organisasi dan ormas-ormas yang ada. Seperti apa moralitas bangsa/negara/pemerintahan saat ini merupakan cermin hasil dari proses pendidikan dua orde pemerintahan masa lalu. Seharusnya orang-orang pendidik menyadari kekeliruan itu dan bisa menyetop untuk tidak berlanjut ke masa yang akan datang.
Lulus Tidak Lulus
Dalam seleksi sudah pasti ada yang di terima dan yang di tolak. Demikian juga dalam seleksi ujian nasional karena sudah ada standar minimal kelulusan. Yang di bawah standar minimal sudah tentu di tolak/tidak lulus. Tidak jaminan juara kelas, juara olempiade menang dalam berkompetisi atau seleksi ujian nasional. Fenomena menyatakan pada kita bahwa tidak semua sangjura tetap juara. Contoh, pemain bulutangakis Taufik Hidayat pernah menang dan pernah kalah dalam rangking tingkat Asia dan dunia, demikian dalam dunia: tinju, sepak bola, vollybool, renang dsb. Jadi ada peluang menang dan peluang kalah. Kemenangan atau kelulusan bukan hannya di tentukan oleh kesiapan tetapi disamping itu ada juga faktor keberuntungan. Yang sering di sebut orang dengan “nasib baik dan tidak baik” atau lagi beruntung dan tidak beruntung. Misalnya, viala dunia sepak bola perebutan juara pertama Brazil VS Itali, kedua-duanya tim bagus. Karena tim bagus sama kuat, tapi keberuntuangan tetap ada salah satu dari ke dua tim tersebut sehingga mengantrakan menjadi juara dunia.
Demikian pula di dalam penerimaan CPNS, masuk perguruan tinggi negeri/swasta, juga mengadakan tes (seleksi. penerimaan CPNS di tes karena yang diburuhkan terbatas jumlahnya sedangkan yang melamar cukup banyak, maka dari itu harus dilakukan penyaringan melalui tes. Begitu juga tes masuk perguruan tinggi,dilakukan karena daya tamping terbatas sedangkan pendaftar membuludak (banyak), maka harus dilakukan penyaringan (seleksi)secara ketat. Tujuan lain adalah pencocokan antara kemampuan calon mahsiswa dengan jurusan atau progam setudi yang boleh diambil.Begitu pula di sekolahan SMA dan/atau dederajat dan seleksi masuk SMP dan/atau sedejat.
Dari fenemena pro-kontara masalah UN, dapat kita ambil kesimpulan, bangsa kita adalah bangsa yang tidak mau berkompetisi dalam peningkatan kualitas SDM, itulah yang melemahkan posisi bangsa kita. Tidak mau menerima hasil kenyataan kekalahan/kekurangan, baik oleh siswa dan orang tua didik atas nilai UN, demikian juga dalam hal berdemokrasi. Dalam berdemokrasi tidak mau menerima kekalahan itu merupakan hasil proses pendidikan masa lalu. Kekalahan, kemenangan, lulus dan tidak lulus dalam mengikuti tes atau kompetisi bisa dilihat dari aspek agama kita masing-masing. Seperti apa agama menjawabnya?. Apakah ada tangan Tuhan di balik itu semua?. Kalau ada, kita diperintahkan untuk melakukan apa?. Orang yang berpikir sehat lah bisa memahami dan menjawab itu semua.
Demikian juga beberapa kasus anak ikut UN tahun X tidak lulus, padahal dia anak menjaurai “X”, atau “katanya” dan “katanya” nilai harian anak didik bagus. Kalau dari sekian mata pelajaran UN, dan setiap mata pelajaran sudah ditetapkan standar angka minimal kelulusan, jika salah satu saja di bawah standar itu bisa mentukan tidak lulus, ya tidak lulus. Bisa saja karena diikutkan anak dalam olempide untuk pelajaran tertentu, sehingga dia lebih kosentrasi dengan pelajaran tersebut, sedangkan mata pelajaran lain diabaikan. Kalau mata pelajaran olempiade yang juga mata pelajaran UN ternyata tidak lulus, itu bisa jadi si anak diarahkan oleh tim olempiade mempalajari materi seputar yang akan ditanyakan di olempiade yang mungkin kualitas materi dan soalnya lebih tinggi, tetapi dia lupa atau meninggalkan materi yang dasar dan materi dasar ini yang muncul dalam ujian nasional. Yang demikian itu dapat dikatakan terkecoh oleh diri kita sendiri. Disamping itu juga seperti contoh sepak bola di atas yaitu ada faktor keberuntungan/nasip baik. Banyak para jaura seperti juga dalam olah raga merasa pede (berbesar hati) bahkan dia tidak akan terkalahkan, kenyataan tidak demikian, bisa kalah juga.
Kalau lembaran jawaban takut tidak di baca oleh computer-scaner (alat pengoreksi UN), maka supaya terbaca dikerjakan sesuai dengan pentunjuk yang ada. Padahal teknologi scaner sangat sentitif. Memberi bulatan untuk satu soal lebih dari satu itu sudah tidak terbaca oleh scaner computer, karena kunci jawaban sudah setting atau di masukkan ke computer untuk satu jawaban hanya satu bulatan. Masalah, menganti jawaban yang baru lupa menghapus jawaban yang salah, atau jawaban yang salah tidak di hapus dengan bersih, demikian itu tidak terbaca oleh komputer. Untuk menghindari kesalahan demikian, jangan lasung memberi bulatan pada lembar jawaban konputer (LJK) cukup dengan menandai titik kecil sehingga mau melakukan koreksi kalau di hapus tidak meninggalkan bekas, atau dengan menggunakan kertas bantu yaitu dengan menuliskan nomor soal dan jawabannya, kemudian setelah yakin dengan jawaban tersebut baru di bulatkan di dalam LJK. Kesalahan juga karena kurang ketelitian dalam membaca soal dan memilih jawaban, karena jawaban harus memilih yang paling tepat.
Pengoreksian dengan computer jauh lebih baik dan objektif hasilnya daripada koreksi manual oleh guru. Koreksi dengan computer tertutup untuk semua orang kecuali orang-orang yang bekerja yang mengoprasikan computer. Kalau kunci jawaban sudah masuk ke dalam computer maka sudah muncul hasilnya dan itu obyektiv karena alat teknologi yang bekerja. Dia tidak punya otak, tidak punya perasaan, tidak punya belai kasihan kepada peserta ujian tertentu atau sekolah tertentu. Dia bekerja sesuai dengan intruksi dan apa adanya (obyektif). Sedangkan manusia punya akal pikiran, perasaan dan pertimbangan-pertimbangan lain yang bergolak dalam dirinya. Oleh karena itu pengoreksian dengan orang/guru itu tidak objektiv. Ada rasa tidak tega atau kasihan dan banyak pertimbangan sehingga memberikan nilai tidak sesuai dengan apa adanya. Meskipun dilakukan pemeriksaan dua kali dengan koreksi silang. Waktu kita mengolah nilai Ebatas, banyak menemukan antara koreksi pertama dengan koreksi kedua sangat tidak masuk akal, perbedaanya jauh sekali. Karena ada tujuannya ingin membatu hasil ujian anak, tapi cara seprti itu membantu anak untuk kesesatan lebih lanjut bagi anak. Sebenarnya dia tidak mampu tetapi di buat nilainya bahwa dia mampu. Di dalam diri anak juga punuh tanda tanya “kok hasilnya bagus” padahal menjawab soal dengan bantuan menghitug kancing bacu. Sehingga anak didik berkesimpulan tidak belajar juga lulus, dan informasi seperti berkembang dikalangan anak didik dan masyarakat. Rusaklah proses dan hasil yang sudah direncakan dan merupakan perbuatan sia-sia, tidak berdayaguna dan berhasilguna. Hancurlah pendidikan kita, bangsa dan negara kita di kelola oleh orang-orang yang tidak bermoral, tidak punya kompetensi yang baik, tidak profisional, dan tidak jujur. Di sekolah anak sudah diajari dan memperlihatkan cara berbuat tidak jujur maka hasil pendidikan kita adalah manusia yang tidak jujur, lihat kenyataan kondisi saat ini.
Alternatif UN
Pelaksanaan UN juga dapat dilakukan dengan cara pemetaan dengan kreteria tertentu. Untuk daerah-daerah tertuntu mungkin belum bisa, terutama di pelosok desa. Tetapi akan mumcul diskriminasi terhadap hasil outpun pendidikan yang tidak melaksanakan UN. Dengan tidak melaksanakan UN juga tidak ada dorongan atau tantangan bagi pemerintah pusat (diknas) dan dinas-dinas pendidikan di daerah daerah, demikian juga guru, kepala sekolah dan penagawas sekolah, dorongan orang tua/masyarakat dan juga pemerintah provinsi dan kabupaten/kota melemah. Tidak adanya standar minimal kualitas pendidikan secara nasional akan menimbulkan diskriminasi antara lulusan wilayah provinsi atau kabupaten/kota satu dengan yang lain seperti yang telah dikemukakan di atas.
Jadi adanya kesenjangan pelaksanaan pendidikan perkotaan dengan pedesaan maka kualitas soal UN yang harus di desain dengan tepat. Kalau di perkotaan anak didik harus bisa apa dan di pedesaan anak harus bisa apa. Jangan sampai hasil pendidikan tidak tahu apa-apa, maka itu harus ada standar minimal yang harus diajarkan sekolah dan harus menjadi kemampuan dasar anak didik. Kurikulum mata pelajaran nasional berlaku secara nasional. Apakah sekolah dan guru sudah mengajarkan sesuai isi kurikulum tersebut?. Dari isi kurikulum ini bisa desain kualitas tinggi rendahnya kualitas soal yang untuk perkotaan dan yang untuk perdesaan. Kalau tidak ada standar kualitas pendidikan di republik ini, pendidikan kita tidak akan maju.
Pengembangan Dan Peningkatan Kualitas Tenaga Pendidik
Pendidikan dan pelatihan serta pengembangan tenga pendidik di wilayah provensi dan kabupaten/kota menjadi prioritas penting yang harus di perhatikan oleh gubernur dan bupati/walikota, dinas pendidikan, masyarakat dan tokoh masyarakat yang konsen terhadap peningkatan kualitas proses dan hasil pendidikan. Komponen pemerintah dan komponen masyarakat harus memperhatikan serta mengkritisi tentang peningkatan kualias dan pengembangan tenaga pendidikan di wilayah/daerahnya, karena tenaga kependidikan di wilayah/daerah merupakan modal (asset) yang melakukan proses dan menentukan hasil kualitas peserta didik. Jika dapat meningkatkan kualitas tenaga pendidik dan peningkatan kualitas peserta didik kan merupakan kebanggaan tersediri bagi daerah.
Pimpinan wilayah provensi dan kabupaten/kota sudah seharusnya fokus terhadap peningkatan SDM menjadi priotiras. Se kaya apaun sumber daya alam daerah kalau SDM putra daerah tidak berkualitas mau berbuat apa?. Paling bisa jadi penonton yang baik. Negara yang wilayah dan sumber daya alamnya berukuran mini (kecil) karena SDM-nya berkualitas bisa lebih unggul dari yang sumber daya alam yang besar. Contoh, Singapura. Maksudnya, sumber daya alam yang besar tidak berarti apa-apa jika sumber daya manusianya tidak mampu berbuat apa-apa karena tidak berkualitas.
Wilyah provinsi dan kabupaten/kota yang sumber daya alamnya relative kecil maka aspek peningkatan kualitas SDM harus menjadi focus utama dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan, karena kalau tidak demikain mau berbuat apa lagi?. Kualitas SDM dijadikan produk unggulan utama daerah. Pilihan ini harus dilakukan jika tidak mau pemiskinan yang turun-menurun atau berlanjut tanpa ada batas waktu. Factor pengerak atau pendorong untuk melakukan semua ini adalah masyarakat/tokoh masyarakat, mahasiswa atau perguaran tinggi setempat dan jajaran birokrasi pendidikan daerah. Kalau aktor-aktor politik daerah lebih mementingkan atau konsen terhadap nasipnya: pengembalian asset politik dan plus dan bagaimana bisa terpilih kembali untuk periode akan datang. Masa kerja aktor-oktor politik kan 5 tahunan, sedangkan untuk peningkatan kualitas SDM daerah tidak mengenal batas waktu. Oleh karena itu, dalam peningkatan kualitas SDM daerah bukan lagi rencana top-down tetapi bottom-up. Jadi sudah merupakan rencana dan komitmen masyarakat. Siapapun dan waktu kapanpun bongkar pasang oktor-oktor politik dan warna benderanya apa, harus bisa menjalankan amanah yaitu pelaksanaan rencana peningkatan kualitas SDM daerah. Yang melakukan pengawasan impelemtasi, proses, hasilnya, evaluasi dan rekomendasi untuk perbaikan-perbaikan dilakukan oleh masyarakat/tokoh masyarakat, mahasiswa atau perguruan tinggi setempat, atau organisasi masyarakat yang peduli dengan peningkatan kualitas SDM daerah.
Peningkatan Kualitas Gedung Sekolah dan Fasilitas Penunjang KBM.
Pada prinsipnya sama dengan peningkatan kualitas tenaga pendidik, anak didik, proses dan hasil di atas. Karena peningkatan kualitas SDM menjadi prioritas utama maka peningkatan kualitas gedung dan fasilitas penunjang kegiatan belajar mengajar harus dilakukan.
Dengan anggaran 20% untuk pendidikan dari APBN kemudian di tambah dengan APBD digunakan secara maksimal untuk meningkat kualitas sarana dan prasana pendidikan dan porsinya di perbesar untuk perdesaan, tapi harus dilakukan transparan dan jujur, jangan satu rupiahpun ada yang ke cecer. Semua kompenen bangsa harus mengawasi terhadap impelementasi atau proses dan hasilnya.
Ketimpangan pembangunan dalam bidang pendidikan juga karena masyarakat pedesaan tidak begitu perduli (open) dengan pembangunan kualitas SDM daerahnya.
Sebagai akhir dari urain di atas. Pendidikan kita harus mempunyai standar kelulusan minimal secara nasional, di kontrol dengan ujian nasional, untuk mengukur kompetensi anak didik, guru, kepala sekolah, pengawas pendidikan dan pejabat structural di atasnya, termasuk evaluasi terhadap kurikulum pembelajaran, kualitas pengembangan dan diklat SDM. Dan ini merupakan juga kualiatas minimal dalam pelayanan pendidikan. Pendidikan kita ke depan menghasilkan SDM yang globalisasi, agar kualitas SDM kita bisa mensejajari dengan negara sudah meroket. Dan standar ujian nasional guna meniadakan diskriminasi lulusan antara satu wilayan provinsi dengan provinsi lainnya dan antara kabupaten/kota dengan kabupaten kota lainnya.
Pelaksanaan proses pendidikan kita masih harus di kawal atau di awasi secara terus menerus dalam peningkatan proses maupun hasil, karena masih rendahnya kejujuran, tanggungjawab dan komitmen rendah, belum bisa memegang amanah dan kurangnya keperdulian.
Kepentingan yang lebih besar dan bersifat strategis dan visioner untuk kemajuan dan kualitas pendidikan; standar minimal dan berkuailtas globalisasi harus menjadi prioritas, karena harkat dan martabat (harga diri dari satu bangsa) dan daya saing bangsa di tentukan kualitas SDM. Dari aspek apapun kita mempermasalahkan atas satu masalah harus melihat langkah setratejik kepentingan bangsa jauh kedepan. Oleh karena itu harus melakukan kajian yang menyeluruh yang tidak terlepas dari tujuan stratejik, visi misi bangsa. Jangan sampai salah mengambil keputusan atas dasar iformasi parsial atau emosional kelompok atau kedaerahan. Tujuan stratejik bangsa merupakan akumulasi kekuatan dan kesatuan dari semua unsur pemerintah regional/local dan semua lapisan masyarakat di republik ini.
Dari pro-kontara UN bisa kita tangkap bahwa ada fenomena orang tua ikut membuat atau mengkondisikan lemahkan mental anak didik: jadi mental cengeng, pengecut, peresah gelisah. Hal seperti ini akan menghilangkan kewibawaan orang tua didik di dalam keluarga sebagai pemimpin, yang seharusnya memberikan dorongan(motivasi) untuk kesungguhan anak belajar, bermental baik, siap berkompetisi dalam bidang apapun dan siap menang dan siap kalah. Kualitas dari aspek agama lemah, bahwa dibalik kekuatan manusia masih ada lagi kekuatan yang Maha menentukan. Di sini dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa lemahnya mental orang tua maka logislah kalau bangsa kita terjajah kurang lebih 350 tahun. Apakah mentah yang lemah seperti itu masih perlu dipertahankan?. Apakah bangsa kita sudah sangat merindukan lagi penjajahan fisik dan nonfisik kembali?.
Ketimpangan atau ketidakadilan dalam pengembangan dan pembangunan prasarana dan sarana pendidikan kabupaten/kota disebkan oleh lemahnya pengawasan dan keperdulian masyarakat setempat dalam peningkatan kualitas pendidikan. Perlu membuat pertanyaan, “pengawasan dan keperdulian apa yang telah saya lakukan untuk kemajuan kualitas pendidikan di daerah saya?”. Sudahkah itu dilakukan?. Tidak hanya cukup berorasi tanpa tindakan. Berdoa tetapi tidak berkerja dapat apa?. Sumber untuk pembangunan itu seperti bola api, jadi kalau masyarakat tidak proaktif mengiringnya ke dalam gawangnya maka akan menjadi bola liar.
Kualitas SDM Indonesia harus menjadi produk unggulan bangsa. Investasi, asset yang besar dan potensial akan memberikan keuntugan yang besar jika dapat dikelola dengan baik.
“Kita harus bisa, tetapi kita bisa apa?”. Kalimat ini yang sangat bermagna untuk intropksi diri seluruh komponen bangsa ini, kita sudah bisa apa?
Kopi Morning, Reference Buat Kita Semua)
Pengadaan ujian nasional SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA yang dipermasalah oleh sekelompok orang dan bahkan meminta untuk dihapuskan. Dalam berdemokrasi dan reformasi prokontra, keberagaman bisa terjadi, dalam menilai sesuatu termasuk pengadaan ujian nasional. Ini menunjukan dinamika cara berpikir atas apa yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan dan kita simpulkan atas suatu fenomena yang yang kita permasalahkan. Perlu di ingat untuk melakukan ini kita harus objektiv dan berpikir edial, kita harus mengatakan yang semestinya/seharusnya bukan sebaiknya.
Membedakan makna semestinya/seharusnya dengan sebaiknya. Semestinya/seharusnya mempunyai makna mengkaji tentang sesuatu secara mendalam (berpikir fhilosifis), sementara pernyataan sebaiknya bermakna politis (win-win solution), tawar-menawar guna mengiring opini, argument, ke suatu titik temu yang menghasilkan prinsip kompromistis, yang hasilnya adalah warna abu-abu, tidak jelas, tidak terang, sehingga kita berada dalam suatu ketidak pastian. Politis juga mengandug makna kekuasaan, penguasaan atas posisi dan sember-sumber daya, karena adanya suatu kepentingan yang belum tentu dapat menyelesaikan masalah jangka pendek apalagi untuk jangka panjang. Kita bukan lagi merekayasa untuk jangka pendek tetapi untuk keperluan jangka panjang. Oleh karena itu kita harus menbangun pondasi yang mencakar ke bumi dan ke langit agar tetap berdiri kokoh, dapat mengatisifasi tuntutan perubahan disegala aspek termasuk aspek kualitas proses dan output pendidikan dari bangsa ini.
Kualitas pendidikan kita di Asia dan Asean sudah jauh tertinggal, contoh riilnya adalah export SDM ke luar negeri masih didominasi SDM berpendidikan rendah, akibatnya sering menibulkan masalah dan bermasalah. Sementara SDM lulusan perguran tinggi yang menganggur cukup besar, tidak mampu berkompetisi untuk merebut pasar kerja internasional. Hal ini menunjukkan proses pendidikan belum dilakukan sepenuh hati, belum berprinsip visioner dan globalisasi baik dari aspek pemerintah, masyarakat atau orang tua didik maupun dari anak didik itu sendiri mulai dari tingkat terendah sampai perguruan tinggi.
Masyarakat kita masih mengejar ijazah. Bangga dengan kepemilikan ijazah. Misalnya, suatu pernyataan “anak saya sudah/telah lulus sekolah tingkat ini dan itu, tetapi bisa apa?. Jadi pengangguran, pemiskinan diri, tidak mandiri, selamanya mengantungkan hidup dengan ekonomi orangtua. Buat apa ijazah yang hanya jadi pajangan, memenuhi lemari. Seharusnya dengan modal ijazah itu dapat mendesain bakat dan kemampuan untuk menjadi manusia kreatif dan enovatif membuat usaha produktif tanpa harus tergantung dengan lapagan kerja dari pemerintah dan swasta.
Sebarnya juga PNS kita tidak perlu banyak, sedikit tapi berkualitas, karena sedikit maka dengan mudah dapat dinaikan penghasilnnya, tanggung jawab kerja jadi meningkat. Kenapa jumlah PNS begitu besar, karena harus mengurangi pengangguran yang jumlah cukup besar.
Kedepan, dengan ijazah yang dimiliki putera puteri bangsa Insonesia juga harus mampu berkerja di luar negeri. Dunia ini bukan sedaun “kelor”, dunia ini luas. Misalnya, kedepan TKW/TKP (Tenaga Keraja Wanita/Tenaga Kerja Peria) minimal berpendidikan tingkat SMA dan yang sederajat. Oleh karena itu kompetensi pengetahuan dan komunikasi internasional (misal: bahasa ingris) harus dikuasai oleh putra-putri republik ini, baik diperkotaan maupun diperdesaan. Kalau kita memiliki kompetensi globalisasi, kita tidak hanya mampu bekerja di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Kalau kita sendiri dan kebijakan, proses pendidikan serta kualitas output pendidikan sudah membentuk manusia globalisasi akan menjadi manusia unggulan, dapat berkompetisi baik di dalam dan luar negeri. Jadi manusia berpendidikan globalisasi dimagnai, ”kebelahan duniamanpun dia pergi, dia dapat beradaptasi dengan kompentensi yang telah dia milikinya”.
Makna dari prokontra UN ini mendorong kita untuk berpikir, untuk membuat sesuatu termasuk pengadaan ujian nasional agar dilakukan dan melakukan, renovasi, enovasi, berpikir kreatif, dan filsafat, untuk suatu perubahan dan penyempuraan kepada yang lebih baik dari yang telah pernah ada saat ini maupun masa lampau. Kita memikirkan sesuatu bukan lagi kondisi sekarang kemasa lampau tetapi kita memikirkan kondisi saat ini yang merupakan hasil dari proses masa lampau yang harus kita gunakan untuk kepentingan masa akan datang. Masa akan datang adalah globalasisasi, yang diartikan mendunia, baik perdangangan, informasi, demokrasi, penegakan hukum dan HAM, termasuk Sumber daya manusia (SDM) dari bangsa Indonsesia ini harus menjadi manusia globalisasi (tidak coba-coba).
Untuk membangun dan membentuk SDM globalisasi di republik ini agar mempunyai daya saing bangsa yang tidak ketinggalan (jadul, tradisi yang membudaya) yaitu dengan membanggun dan membentuk SDM dengan memprioritaskan kepada bidang studi tertentu, bukan bidang studi lainnya tidak penting, tapi dari kesemuanya yang penting itu harus ada yang lebih penting, dari yang baik harus ada yang lebih baik. Seperti juga dalam kehidupan diri kita, keluarga kita, demikian juga dengan negara dan pemerintahan kita, selalu ada penekanan atau skala prioritas, mana yang harus lebih didahulukan atau di utamakan. Yang didahulukan atau diutamakan itu sangat strategis sifatnya, berdampak luas atau berpengaruh besar kontribusinya terhadap permasahan individu, keluarga, regional, nasional dan internasional. Misalnya, seorang yang lapar dan haus karena berpuasa, setelah waktu magrib dihadapkan kepada dua pilihan buka puasa dulu baru kemudian sholat magrib atau sebaliknya. Tentu akan lebih aman dan kusuk dalam melaksanakan sholat magrib dengan mengambil keputusan untuk minum dan makan-manakan ringan terlebih dahulu baru kemudian sholat. Jadi prioritanya adalah minum dan makan-makanan kecil. Kalau seorang petani dengan penghasilan paspasan dihadapkan pada beberapa pilihan. Hasil panen dari hasil tani untuk menyesekolahkan anaknya atau menambah atau memperluas kebun atau sawah garapannya. Jika anak dirahkan untuk bertani saja tidak usah sekolah. Saat menjual hasil tani di bohongi pedangang, karena tidak bisa hitung-hitungan, tidak bisa tulis baca, tidak tahu harga pasar dan seterusnya. Oleh karena itu yang menjadi utama atau prioritas menyekolahkan anak dengan kemampuan yang ada untuk mencapai tingkat pendidikan tertentu dari pada anak langsung diarahkan untuk bertani. Bekerja sebagai PNS atau swasta, setiap bulan terima gaji, dari gaji yang diterima setiap bulannya harus dibelanjakan untuk apa?, untuk kebutuhan sembako atau untuk hal lainnya seperti: beli baju baru, kredit kenderaan baru, kredit rumah tinggal, untuk sekolah anak dan lain sebagainya. Dari sekian kebutuhan dan keinginan itu harus ada yang lebih diutamakan. Kalau di pemerintahan juga ada skala prioritas atau yang lebih utama seperti penekananan pada aspek: kesetabilan politik, peningkatan ekonomi, pemberantasan korupsi, penggurangan pengangguran dan kemiskinan, peningkatan pelayanan kesehatan dan peningkatan pelayanan kualitas pendidikan, penegakan supermasi hukum dan HAM, reformasi birokrasi, dsb.
Demikian juga yang diutamakan dalam ujian nasional dari sekian banyak mata pelajaran tentu harus ada penekanan atau prioritas dalam rangka membangun dan membentuk SDM yang hidup yang dihadapkan pada globalisasi, siap berkompertisi dan meningkatkan daya saing bangsa dalam bidang kompetensi SDM yang berkualitas, meningkatkan harga diri individu, keluarga dan masyarakat, bangsa dan negara. Dalam hal ini dilakukan ujian nasional terbatas untuk sekolah dasar, menenggah pertama dan menengah atas. Untuk SMP/MTs diprioritaskan untuk mata pelajaran: Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Bahasa Indonesia adalah sebagai akar budaya bangsa, pemersatu bangsa, interaksi komunikasi dalam bangsa yang beragam suku bangsa dan bahasa. Jadi bahasa Indonesia merupakan identitas utama dan jati diri bangsa. Matematika modal utama dalam membentuk dasar logika, dasar sistimatika berpikir, dan dasar-dasar pendidikan analisis, kecermatan berpikir dan juga menjadi pengetahuan terapan dalam kehidupan sehari-hari dan juga keterkaitannya dengan disiplin atau mata pelajaran lain seperti IPA dan ekonomi. Jadi matematika bersinegri dengan IPA dan ekonomi dan disiplin ilmu lain yang berkaitan dengan angka-angka (statistic). Jaman sekarang sulit rasanya jika tidak ada pengetahuan dasar tentang hitung-hitungan. Masih banyak lulusan sekolah dasar belum mampu melakukan hitungan: tambah, kurang, dan pembagian. Kalau mau tahu yang sesungguhnya tes langsuh dengan mendatangi sekolah dasar negeri/swasta yang dikategorikan standar input peserta didik menengah dan bawah, tidak usah di perdesaan di perkotaan saja masih banyak. Kalau besiknya tidak baik maka untuk melangkah lebih lanjut akan lebih sulit, oleh karena itu pelajaran matematika menjadi sesuatu yang menakutkan, tidak disukai, di benci, menghindari, sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi sekalipun. Ini adalah masalah yang perlu suatu penyelesaian membuat menjadi tidak ditakuti atau dihindari tetapi menjadi sesuatu yang biasa saja seperti mata pelajaran lain.
Mata pelajaran bahasa Inggris juga sangat penting di dalam dunia informasi saat ini untuk membuka jendela dunia, sebagai alat komunikasi antar bangsa dengan bahasa yang berbeda. Ilmu pengetahuan mengalir dari barat ke timur, jika kita tidak mumpuni bahasa inggris (bahasa intertnasional) maka kita tidak melek dengan perkembangan teknologi informasi dan pengetahuan. Kita menjadi manusia, bangsa seperti katak dalam tempurung, berwawasan sempit, kuper. Sebagimana telah disebutkan di atas SDM globalisasi harus mumpuni bahasa inggris atau bahasa internasional.
Kita juga tidak boleh kalah dalam penguasaan teknologi. Oleh karena itu dasar-dasar pendidikan atau pelajaran IPA harus kuat, karena bagi anak didik telah lulus sekolah 9 tahun yang punya bakat kearah itu sudah punya dasar yang kuat untuk memilih jurusan pada sekolah lanjutan atas atau perguruan tinggi baik di dalam dan luar negeri.untuk memperkuat atau dapat mengikuti pelajaran IPA dasarnya adalah jika mata pelajaran matemetika bagus.
Demikian juga untuk ujian sekolah tingkat menengah atas yaitu SMU/MA dan sederajat dengan materi ujian nasional : Bahasa Indonesia, Matematika (ekonomi untuk jurusan social), Bahasa Inggris, dan ditambah dengan mata pelajaran kompetensi jurusan untuk jurusa sosial atau jurusan IPA, dll.
Sekarang sudah jauh lebih baik karena sudah mempunyai standar kompentensi minimal. Jika impelementasinya baik saya kira sangat signifikan dalam perbaikan kepada yang lebih baik SDM kita sebagai asset bangsa, generasi penerus bangsa dan pemerintahan, SDM globalisasi.
Ujian nasional sebagai standar nasional juga untuk meniadakan diskrimansi suatu lulusan sekolah lokal kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lain baik dalam satu provensi dengan kabupaten/kota provensi lainnya. Jadi seperti yang telah dikemukan di atas SDM berkualitas global, bukan hanya dapat diterima di luar wilyah Indonesia (luar negeri) juga dapat diterima di seluruh waliyah Indonesia. Jika tidak ada kualitas stantar minimal secara nasional akan menimbulkan diskirminasi hasil kelulusan sekolah.
Membanggun SDM yang berkualitas berstandar nasional dan bersandar SDM globalisasi, seperti membangun gedung tinggi mencakar langit. Untuk membangun gedung seperti ini harus membuat terlebih dahulu pondasi dan tiang sebagai bingkai dasarnya atau kerangka dari banggunan gedung tersebut. Kemudian dilakukan pemasangan batu bata, menutup batu bata dengan semen sebagai komponen pendukung. Sehingga berdirilah suatu bangunan yang kekar dan kokoh. Yang dimaksud pondasi dan tiang atau kerangka gedung di dalam peningkatan kualitas pendidikan kita adalah mata pelajaran UN, sedangkan untuk mata pelajaran US (ujian sekolah) itu adalah batu bata, semen dan lain-lainnya. Kalau kita ambil contoh manusia, kerangka manusia adalah mata pelajaran UN sedangkan daging dan lain-lainnya yang menempel di luar kerangka adalah mata pelajaran US. Maka berdirilah dia sebagai manusia yang tegap, kokoh dan tanngguh. Contoh yang lebih simpel memuat layang-layang. Membuat kerangka bagus, kuat, seimbang dan serasi, kemudian dilengkapi komponen pendukung seperti kertas, benang dan elem perekat. Jadilah laying-layang yang layak terbang.
Demikian juga dalam membangun bidang-bidang lain: politik/demokrasi, ekonomi, sosial-budaya/agama,kerukunan beragama, pertahanan keamanan, NKRI, dsb.
Mengapa Perlu Standar?.
Standar dapat di buat secara nasional maupun tingkat provensi dan kabupaten/kota. Standar kelulusan ujian nasional minimal, penting karena dalam mengukur keberhasilan pendidikan secara nasional harus berdasarkan standar yang jelas. Standar ujian nasional juga bukan hanya mengukur kognitif (pengetahuan) siswa, tetapi juga mengukur semua proses pendidikan: kompentensi guru, kompetensi manajerial kepala sekolah; visi dan misi, metode, strategi, sasaran dan tujuan, profisional pengawas pendidikan, kualitas pembinaan dan pengarahan pimpinan struktural terkait dengan pendidikan tingkat kota/kabupaten, dan bagaimana kulitas pendidikan dan pelatihan tenaga kependidikan, yaitu seperti apakah prosesnya dan bagaimana hasilnya. Proses mentukan hasil bukan hasil menentukan proses. Jika hasilnya sesuai dengan standar minimal berarti proses sudah berjalan seperti yang diharapkan. Harapan yang paling tinggi yaitu bisa melampui standar minimal, untuk itu prosesnyapun harus di atas proses minimal. Apakah mungkin mendapatkan hasil yang maksimal dengan usaha yang minimal. Usaha maksimal dalam kerangka berpikir dan usaha positif: rasionalitas, accountable dan jujur. Dalam hal ini, tidak menggunakan cara atau jalan menghalalkan segala cara. Hal seperti ini masih mewarnai dunia pendidikan, oleh karena itu secara rasional atau logis bahwa dunia pendidikan kita berkontribusi besar dalam membentuk mental ketidakjujuran. Karena dari fenomena bisa kita amati bahwa, pembangunan dan pengembangan mental kejujuran yang masih sangat lemah di republik ini, meskipun berlatar belakang relegius.
Standar mengerakkan atau mendorong semua yang terlibat di dalam proses pendidikan lansung seperti SDM yang ada di sekolah dan yang tidak secara langsung seperti jabatan struktural di atasnya termasuk pengawan pendidikan dan juga siswa untuk berusaha dengan kesungguhan dagan kemampuan yang ada untuk mencapai standar minimal kelulusan dan diharapkan lebih, demikian juga dengan orang tua anak didik. Tanpa ada standar tertentu proses pendidikan akan berjalan tidak beraturan, berperoses dan berjalan sendiri-sendiri. Indonesia adalah negara kepulauwan, perkotaan dan pedesaan yang juga menjadi masalah dalam mendapatakan akses informasi pendidikan. Oleh karena itu harus menggunakan standar minimal kompetensi anak didik utuk kelulusan secara nasional dengan membuat tingkat kesulitan soal yang berbeda.
Di kota seperi di DKI Jakarta saja banyak sekolah yang peserta didiknya dari input tidak baik karena berasal dari orang ekonomi lemah atau miskin perkotaan, yang orang tuanya tidak begitu open (kurang/tidak perduli) dengan pendidikan anaknya, diserhakan ke sekolah, orang tua pokoknya terima jadi, terima beres. Oleh karena itu perlu sekolah dasar sampai menengah atas, baik di kota provensi, kabupaten/kota di beri standar dalam kategori sekolah A, B dan C. Dengan demikian dapat dilakukan dan diberikan kualitas soal ujian nasional yang berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik. Contoh sekolah SMP di DKI Jakarta, menerima lulusan dari SD berdasarkan jumlah atau rerata nilai USBN. Misalnya SMP 1 menerima peserta didik baru dengan jumlah atau rerata nilai adalah X1 (tinggi), untuk SMP 2 menerima peserta didik baru dengan jumlah atau rerata nilai adalah X2 (sedang), kemudian untuk SMP 3 menerima paserta didik baru dengan jumlah atau rerata nilai adalah X3 (rendah). Jadi dapat dikategorikan SMP 1 tipe A, SMP 2 tipe B dan SMP 3 tipe C. Lalu bagaiamana dengan sekolah SMP swasta?, SMP swasta paforit/unggulan/moded masuk tipe A dan yang lainnya masuk tipe B dan paling banyak adalah tipe C. demikian dengan SMA/SMK dan yang sederajat baik negeri maupun swasta.
Untuk tingkat provensi dan kabupaten/kota juga bisa membuat stantar kelulusan di atas standar minimal kelulusan ujian nasional untuk tujuan memaju atau memberi dorongan kepada semua yang terlibat dalam proses pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung seperti telah dikemukakan di atas dan juga kepada peserta didik dan orang tua didik. Minsalnya, standar kelulusan ujian nasional untuk SMP/MTs 2009 rata-rata 5,50, untuk tingkat provensi dan kabupaten/kota membuat dengan standar 60,65 atau 65,50. Jadi bagaimana upaya dari peran pejabat institusi pendidikan pada tingkat provensi dan kabupaten/kota membuat standar kelulusan yang lebih menantang semua yang terlibat dalam pencapaian standar. Rasional dari pembuatan standar adalah tidak tinggi dan tidak pula rendah tetapi menantang. Kalau standar nasional rata-rata 5,50 lalu sekolah dan institusi pendidikan tingkat provensi dan kabupaten/kota mematok standar yang sama ia jelas kebabalasan, banyak yang tidak lulus. Kalau sekolah atau tingkat institusi provensi dan kabupaten/kota mematok 60,65 – 65,50 maka dalam ujian nasional posisinya jadi aman, karena nilai yang paling rendah akan berada pada posisi 5,50. Jadi dapat dikatakan sangat keliru kalau sekolah atau institusi pendidikan provensi dan kabupaten/kota mematok stadar kelulusan ujian nasional sama dengan standar nasional. Maka hasilnya banyak yang tidak lulus, lalu mencari kesalahan pada orang lain untuk menutupi kesalahan diri sendiri. Disini perlunya sekolah dan institusi pendidikan tingkat provensi dan kabupaten/kota kreatif dan enovatif dengan masyarakat atau orang tua anak didik dalam menentukan kualitas standar minimal pendidikan.
Proses Pendidikan
Proses pendidikan anak tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan atau sekolah. Orang tua juga harus open/perduli dengan proses dan mengikuti, mendorong, mengawasi, pendidikan anaknya. Jangan hanya bisanya mengeluh dan protes karena anak nilai kesehariannya jelek tidak naik kelas, tidak lulus ujian nasional. Orang tua anak didik harus banyak bertanya kepada diri sendiri, apakah kita sebagai orang tua sudah sangat open dengan pendidikan anak-anak?. Dalam kata lain intropeksi diri sebelum menyalahkan pihak lain, termasuk pengadaan ujian nasional. Sudah open dalam proses belajar anak di rumah dan proses pembelajaran di sekolah?.
Pada saat pemberian rapor tengah semester atau semesteran, sekolah mengundang orang tua peserta didik, kan bisa di lihat keberhasilan proses belajar anak. Dengan demikian orang tua didik bisa menilai dimana letak kesalahan jika nilai anak tidak baik, dalam proses di sekolah atau di rumah/lingkungan?. Kalau prosesnya kesalahan pihak sekolah maka berikan masukan-masukan kepada sekolah dan di pantau pelaksanaannya. Sekolah adalah milik masyarakat maka itu masyarakat (orang tua didik) harus berpartisipasi mengingkatkan kualitas anak baik proses dan hasilnya.
Kekuatan dan Kelemahan UN dan EBTANAS
Keduanya masih mempunyai kekeuatan dan kelemahan. Ebtanas tidak mempunyai standar yang jelas, yang penting ikut ujian pasti lulus. Sedangkan UN sudah mempunyai standar yang jelas dan terukur dan dinamis. Terseleksi, yang tidak lulus harus mengulang atau ikut paket C/B dan cara lain sebagai altenatifnya. Dinamis dalam arti dari tahun ketahun hasil UN di evaluasi secara menyeluruh, jika sudah berjalan dengan baik maka standar UN ditingkatkan sedikit demi sedikit apakah itu dari semua mata pelajaran UN atau untuk mata pelajaan tertentu dari kelompok mata pelajaran UN tersebut. Misalnya, untuk mata pelajaran matematika standar kelulusan tahun ini tidak di naikkan, untuk mata pelajaran lain mungkin sudah bisa dinaikkan. Ini dilakukan dalam rangka mengejar ketertinggal kualitas pendidikan kita khususnya di Asia. Perlu di antispasi mulai dari sekarang, jangan sampai negara yang termasuk jumlah penduduk atu SDM-nya termasuk yang besar di muka bumi ini tidak berkualitas. Jika itu yang terjadi, sangat tidak berpirnya masyarakat dan bangsa ini. Yang kita banggakan bukanlah jumlah penduk yang besar, luas wilayah negara yang besar, kaya sumberdaya alamnya (SDA)tetapi yang perlu dan penting kita banggakan adalah jumlah kualitas masyakat atau SDM yang besar. Apalah artinya gemuk tetapi tidak berkualitas, banyak masalah, banyak penyakit. Kalau sudah demikian tinggal menunggu kesengsaraan, keterpurukan, pengangguran dan kemiskinan dalam ekonomi, pengetahuan dan keterampilan.
Pengalaman saya, pernah ikut megoreksi ujian Ebtanas serta mengolah nilai, seterusnya tidak mau lagi, karena bertendangan dengan hati nurani saya. Nilai 1, 2, 3 dan 4 di kantrol menjadi 5 dan maksimal 6. Karena kalau meluluskan anak didik banyak angka 4 dan lima dipertanyakan masyarakat/orang dan memuat malu sendiri. Mencari informasi dari sekolah lain terdekat tentang berapa nilai kelulusan yang paling rendah. Maka dibuatlah nilai yang lebih enak di lihat, dirasakan, dan dinggar masyarakat. Ini kan telah melakukan kebohongan publik. Di sini yang perlu kita garis bawahi bahwa proses pendidikan kita belum bisa dibuat dengan cara jujur, maka hasilnya terciptalah manusia yang kejujurannya dipertanyakan sebagaimana fenomena bangsa saat ini. Ini merupakan hasil porses dan hasil pendidikan masa lalu kita.
Demikian juga ujian sekolah (US) yang ada saat ini yang sebenarnya banyak yang tidak mencapai target KKM yang di buat oleh guru mata pelajaran sehingga sekolah menunggu hasil UN, jika hasil UN menyatakan anak didik lulus maka nilai US disesuaikan untuk mencapai nilai KKM. Lagi-lagi proses tidak jujur. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa proses menentukan hasil. Kalau hasilnya demikian bagaimana proses yang merupakan suatu sistem yang berjalan selama ini. Ini yang perlu dianalis dan reevaluasi guna menemukan masalah dan pemecahannya. Di sini yang perlu di garis bawahi adalah permasalahan mental aparatur dan masyarakat kita.
Pada umunya di DKI Jakarta guru hanya berani memberi standar KKM mata pelajaran sekitar 60-65 untuk kategori sekolah input kualitas peserta didik menengah dan bawah. Padahal sekolah ada di simpul negara. SDM guru S1, sarana pendukung cukup lengkap, berkedudukan di pusat informasi. Kenapa masih ada anak lulusan SD/MI ada yang tidak/kurang bisa berhitung, menulis juga belum lancar demikian juga dengan membaca?. Ini kenyataan dan kita sering menemukan. Dalam hal ini, siapa yang salah dan siapa yang membuat masalah?. Kalau kita melihat kekeliruan seperti ini karena sekolah lebih memaksakan anak untuk naik kelas yang sebenarnya kemampuannya belum memenuhi untuk itu. Anak belum siap menghadapi tingkat pelajaran yang lebih tinggi tetapi dipaksakan. Kondisi seperti ini bukannya memperbaiki mental dan perbaikan belajar anak malah akan menimbulkan yang sebaliknya. Misalanya, seorang anak belum mampu secara baik naik sepeda kayuh tetapi sudah disuruh naik sepeda motor. Seorang anak balita baru bisa merangkang tetapi diminta bisa untuk berdiri dan berlari.
Di dalam Ebtanas tidak terlihat secara jelas motivasi dan tanggung jawab pendidik, kepala sekolah, pengawas sekolah dan struktural di atasnya untuk meningkatkan kuliatas proses pendidikan yang kerkualitas dan juga orang tua anak didik, karena tidak ada tuntutan kebijakan secara jelas bahwa kualitas output pendidikan harus mencapai standar minimal tertentu.
Kalau di dalam UN standar minimal sudah ada dan jelas dan di dalam proses pembelajaran semesteran juga sudah membuat atau mempunyai standar yaitu KKM, kemanpuan minimal yang harus di capai oleh guru dan siswa. Jika sudah diusahakan dengan berbagai usaha oleh pihak sekolah dan khusunya guru mata pelajaran (melalui remedial) namun hasilnya masih di bawah standar minimal maka anak didik tersebut lebih baik mengulang/tidak naik kelas. Karena secara mental anak belum kuat maka di beri kesempatan mengulang untuk memperbaiki diri. Jika tidak demikian, anak tersebut akan menghadapi kesilutan yang lebih sulit lagi karena dasarnya tidak kuat. Jika di paksakan akan menyiksa anak itu sendiri. Seumpanya, anak kurang gizi disuruh berkeja keras/berat, apalah jadinya!. Anak didik yang menggulang bebanya sudah berkuarang dalam menghadapi pelajaran, karena sebahagian pelajaran sudah dikuasainya, tinggal memperkuat yang dianggap masih lemah. Lambat hasilnya pasti lebih baik dari pada cepat tidak berkualitas, karena yang diinginkan dan dicari kan kualitas. Mislanya. buat apa menyekolahkan anak ke sekolah swasta paforit dengan biaya yang tinggi, karena ingin proses dan hasil anak didik yang berkualitas.
Protes Terhadap Proses dan Hasil UN
Pengawasan UN sudah cukup baik tinggal disempurnakan. Jika ada oknum atau sekelompok kepala sekolah dan pengawas dan/atau ada penekanan secara struktural untuk membocorkan jawaban UN, bukan hanya sanksi adminstratif tetapi dilakukan pemecatan jari jabatan, karena perbuatan seperti itu telah menodai dunia pendidikan dan etika moral, etika profisi sudah tidak dimilikinya. Kalau sudah etika moral dan tangungjawab dan etika profisi sudah tidak dimiliki oleh tenaga kependidikan lebih baik tidak berkecimpung dalam wilayah yang terkait dengan pendidikan. Karena hasil pendidikan adalah asset mengantarkan bagsa negara ini ketujuan yang diharapkan seperti yang diamanatkan UUD 1945 dalam pembukaan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini sebagai modal untuk menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, produktif, kreatif, profusional. Bukan saja dalam jabatan formal/pemerintahan tetapi juga dalam dunia swasta, organisasi dan ormas-ormas yang ada. Seperti apa moralitas bangsa/negara/pemerintahan saat ini merupakan cermin hasil dari proses pendidikan dua orde pemerintahan masa lalu. Seharusnya orang-orang pendidik menyadari kekeliruan itu dan bisa menyetop untuk tidak berlanjut ke masa yang akan datang.
Lulus Tidak Lulus
Dalam seleksi sudah pasti ada yang di terima dan yang di tolak. Demikian juga dalam seleksi ujian nasional karena sudah ada standar minimal kelulusan. Yang di bawah standar minimal sudah tentu di tolak/tidak lulus. Tidak jaminan juara kelas, juara olempiade menang dalam berkompetisi atau seleksi ujian nasional. Fenomena menyatakan pada kita bahwa tidak semua sangjura tetap juara. Contoh, pemain bulutangakis Taufik Hidayat pernah menang dan pernah kalah dalam rangking tingkat Asia dan dunia, demikian dalam dunia: tinju, sepak bola, vollybool, renang dsb. Jadi ada peluang menang dan peluang kalah. Kemenangan atau kelulusan bukan hannya di tentukan oleh kesiapan tetapi disamping itu ada juga faktor keberuntungan. Yang sering di sebut orang dengan “nasib baik dan tidak baik” atau lagi beruntung dan tidak beruntung. Misalnya, viala dunia sepak bola perebutan juara pertama Brazil VS Itali, kedua-duanya tim bagus. Karena tim bagus sama kuat, tapi keberuntuangan tetap ada salah satu dari ke dua tim tersebut sehingga mengantrakan menjadi juara dunia.
Demikian pula di dalam penerimaan CPNS, masuk perguruan tinggi negeri/swasta, juga mengadakan tes (seleksi. penerimaan CPNS di tes karena yang diburuhkan terbatas jumlahnya sedangkan yang melamar cukup banyak, maka dari itu harus dilakukan penyaringan melalui tes. Begitu juga tes masuk perguruan tinggi,dilakukan karena daya tamping terbatas sedangkan pendaftar membuludak (banyak), maka harus dilakukan penyaringan (seleksi)secara ketat. Tujuan lain adalah pencocokan antara kemampuan calon mahsiswa dengan jurusan atau progam setudi yang boleh diambil.Begitu pula di sekolahan SMA dan/atau dederajat dan seleksi masuk SMP dan/atau sedejat.
Dari fenemena pro-kontara masalah UN, dapat kita ambil kesimpulan, bangsa kita adalah bangsa yang tidak mau berkompetisi dalam peningkatan kualitas SDM, itulah yang melemahkan posisi bangsa kita. Tidak mau menerima hasil kenyataan kekalahan/kekurangan, baik oleh siswa dan orang tua didik atas nilai UN, demikian juga dalam hal berdemokrasi. Dalam berdemokrasi tidak mau menerima kekalahan itu merupakan hasil proses pendidikan masa lalu. Kekalahan, kemenangan, lulus dan tidak lulus dalam mengikuti tes atau kompetisi bisa dilihat dari aspek agama kita masing-masing. Seperti apa agama menjawabnya?. Apakah ada tangan Tuhan di balik itu semua?. Kalau ada, kita diperintahkan untuk melakukan apa?. Orang yang berpikir sehat lah bisa memahami dan menjawab itu semua.
Demikian juga beberapa kasus anak ikut UN tahun X tidak lulus, padahal dia anak menjaurai “X”, atau “katanya” dan “katanya” nilai harian anak didik bagus. Kalau dari sekian mata pelajaran UN, dan setiap mata pelajaran sudah ditetapkan standar angka minimal kelulusan, jika salah satu saja di bawah standar itu bisa mentukan tidak lulus, ya tidak lulus. Bisa saja karena diikutkan anak dalam olempide untuk pelajaran tertentu, sehingga dia lebih kosentrasi dengan pelajaran tersebut, sedangkan mata pelajaran lain diabaikan. Kalau mata pelajaran olempiade yang juga mata pelajaran UN ternyata tidak lulus, itu bisa jadi si anak diarahkan oleh tim olempiade mempalajari materi seputar yang akan ditanyakan di olempiade yang mungkin kualitas materi dan soalnya lebih tinggi, tetapi dia lupa atau meninggalkan materi yang dasar dan materi dasar ini yang muncul dalam ujian nasional. Yang demikian itu dapat dikatakan terkecoh oleh diri kita sendiri. Disamping itu juga seperti contoh sepak bola di atas yaitu ada faktor keberuntungan/nasip baik. Banyak para jaura seperti juga dalam olah raga merasa pede (berbesar hati) bahkan dia tidak akan terkalahkan, kenyataan tidak demikian, bisa kalah juga.
Kalau lembaran jawaban takut tidak di baca oleh computer-scaner (alat pengoreksi UN), maka supaya terbaca dikerjakan sesuai dengan pentunjuk yang ada. Padahal teknologi scaner sangat sentitif. Memberi bulatan untuk satu soal lebih dari satu itu sudah tidak terbaca oleh scaner computer, karena kunci jawaban sudah setting atau di masukkan ke computer untuk satu jawaban hanya satu bulatan. Masalah, menganti jawaban yang baru lupa menghapus jawaban yang salah, atau jawaban yang salah tidak di hapus dengan bersih, demikian itu tidak terbaca oleh komputer. Untuk menghindari kesalahan demikian, jangan lasung memberi bulatan pada lembar jawaban konputer (LJK) cukup dengan menandai titik kecil sehingga mau melakukan koreksi kalau di hapus tidak meninggalkan bekas, atau dengan menggunakan kertas bantu yaitu dengan menuliskan nomor soal dan jawabannya, kemudian setelah yakin dengan jawaban tersebut baru di bulatkan di dalam LJK. Kesalahan juga karena kurang ketelitian dalam membaca soal dan memilih jawaban, karena jawaban harus memilih yang paling tepat.
Pengoreksian dengan computer jauh lebih baik dan objektif hasilnya daripada koreksi manual oleh guru. Koreksi dengan computer tertutup untuk semua orang kecuali orang-orang yang bekerja yang mengoprasikan computer. Kalau kunci jawaban sudah masuk ke dalam computer maka sudah muncul hasilnya dan itu obyektiv karena alat teknologi yang bekerja. Dia tidak punya otak, tidak punya perasaan, tidak punya belai kasihan kepada peserta ujian tertentu atau sekolah tertentu. Dia bekerja sesuai dengan intruksi dan apa adanya (obyektif). Sedangkan manusia punya akal pikiran, perasaan dan pertimbangan-pertimbangan lain yang bergolak dalam dirinya. Oleh karena itu pengoreksian dengan orang/guru itu tidak objektiv. Ada rasa tidak tega atau kasihan dan banyak pertimbangan sehingga memberikan nilai tidak sesuai dengan apa adanya. Meskipun dilakukan pemeriksaan dua kali dengan koreksi silang. Waktu kita mengolah nilai Ebatas, banyak menemukan antara koreksi pertama dengan koreksi kedua sangat tidak masuk akal, perbedaanya jauh sekali. Karena ada tujuannya ingin membatu hasil ujian anak, tapi cara seprti itu membantu anak untuk kesesatan lebih lanjut bagi anak. Sebenarnya dia tidak mampu tetapi di buat nilainya bahwa dia mampu. Di dalam diri anak juga punuh tanda tanya “kok hasilnya bagus” padahal menjawab soal dengan bantuan menghitug kancing bacu. Sehingga anak didik berkesimpulan tidak belajar juga lulus, dan informasi seperti berkembang dikalangan anak didik dan masyarakat. Rusaklah proses dan hasil yang sudah direncakan dan merupakan perbuatan sia-sia, tidak berdayaguna dan berhasilguna. Hancurlah pendidikan kita, bangsa dan negara kita di kelola oleh orang-orang yang tidak bermoral, tidak punya kompetensi yang baik, tidak profisional, dan tidak jujur. Di sekolah anak sudah diajari dan memperlihatkan cara berbuat tidak jujur maka hasil pendidikan kita adalah manusia yang tidak jujur, lihat kenyataan kondisi saat ini.
Alternatif UN
Pelaksanaan UN juga dapat dilakukan dengan cara pemetaan dengan kreteria tertentu. Untuk daerah-daerah tertuntu mungkin belum bisa, terutama di pelosok desa. Tetapi akan mumcul diskriminasi terhadap hasil outpun pendidikan yang tidak melaksanakan UN. Dengan tidak melaksanakan UN juga tidak ada dorongan atau tantangan bagi pemerintah pusat (diknas) dan dinas-dinas pendidikan di daerah daerah, demikian juga guru, kepala sekolah dan penagawas sekolah, dorongan orang tua/masyarakat dan juga pemerintah provinsi dan kabupaten/kota melemah. Tidak adanya standar minimal kualitas pendidikan secara nasional akan menimbulkan diskriminasi antara lulusan wilayah provinsi atau kabupaten/kota satu dengan yang lain seperti yang telah dikemukakan di atas.
Jadi adanya kesenjangan pelaksanaan pendidikan perkotaan dengan pedesaan maka kualitas soal UN yang harus di desain dengan tepat. Kalau di perkotaan anak didik harus bisa apa dan di pedesaan anak harus bisa apa. Jangan sampai hasil pendidikan tidak tahu apa-apa, maka itu harus ada standar minimal yang harus diajarkan sekolah dan harus menjadi kemampuan dasar anak didik. Kurikulum mata pelajaran nasional berlaku secara nasional. Apakah sekolah dan guru sudah mengajarkan sesuai isi kurikulum tersebut?. Dari isi kurikulum ini bisa desain kualitas tinggi rendahnya kualitas soal yang untuk perkotaan dan yang untuk perdesaan. Kalau tidak ada standar kualitas pendidikan di republik ini, pendidikan kita tidak akan maju.
Pengembangan Dan Peningkatan Kualitas Tenaga Pendidik
Pendidikan dan pelatihan serta pengembangan tenga pendidik di wilayah provensi dan kabupaten/kota menjadi prioritas penting yang harus di perhatikan oleh gubernur dan bupati/walikota, dinas pendidikan, masyarakat dan tokoh masyarakat yang konsen terhadap peningkatan kualitas proses dan hasil pendidikan. Komponen pemerintah dan komponen masyarakat harus memperhatikan serta mengkritisi tentang peningkatan kualias dan pengembangan tenaga pendidikan di wilayah/daerahnya, karena tenaga kependidikan di wilayah/daerah merupakan modal (asset) yang melakukan proses dan menentukan hasil kualitas peserta didik. Jika dapat meningkatkan kualitas tenaga pendidik dan peningkatan kualitas peserta didik kan merupakan kebanggaan tersediri bagi daerah.
Pimpinan wilayah provensi dan kabupaten/kota sudah seharusnya fokus terhadap peningkatan SDM menjadi priotiras. Se kaya apaun sumber daya alam daerah kalau SDM putra daerah tidak berkualitas mau berbuat apa?. Paling bisa jadi penonton yang baik. Negara yang wilayah dan sumber daya alamnya berukuran mini (kecil) karena SDM-nya berkualitas bisa lebih unggul dari yang sumber daya alam yang besar. Contoh, Singapura. Maksudnya, sumber daya alam yang besar tidak berarti apa-apa jika sumber daya manusianya tidak mampu berbuat apa-apa karena tidak berkualitas.
Wilyah provinsi dan kabupaten/kota yang sumber daya alamnya relative kecil maka aspek peningkatan kualitas SDM harus menjadi focus utama dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan, karena kalau tidak demikain mau berbuat apa lagi?. Kualitas SDM dijadikan produk unggulan utama daerah. Pilihan ini harus dilakukan jika tidak mau pemiskinan yang turun-menurun atau berlanjut tanpa ada batas waktu. Factor pengerak atau pendorong untuk melakukan semua ini adalah masyarakat/tokoh masyarakat, mahasiswa atau perguaran tinggi setempat dan jajaran birokrasi pendidikan daerah. Kalau aktor-aktor politik daerah lebih mementingkan atau konsen terhadap nasipnya: pengembalian asset politik dan plus dan bagaimana bisa terpilih kembali untuk periode akan datang. Masa kerja aktor-oktor politik kan 5 tahunan, sedangkan untuk peningkatan kualitas SDM daerah tidak mengenal batas waktu. Oleh karena itu, dalam peningkatan kualitas SDM daerah bukan lagi rencana top-down tetapi bottom-up. Jadi sudah merupakan rencana dan komitmen masyarakat. Siapapun dan waktu kapanpun bongkar pasang oktor-oktor politik dan warna benderanya apa, harus bisa menjalankan amanah yaitu pelaksanaan rencana peningkatan kualitas SDM daerah. Yang melakukan pengawasan impelemtasi, proses, hasilnya, evaluasi dan rekomendasi untuk perbaikan-perbaikan dilakukan oleh masyarakat/tokoh masyarakat, mahasiswa atau perguruan tinggi setempat, atau organisasi masyarakat yang peduli dengan peningkatan kualitas SDM daerah.
Peningkatan Kualitas Gedung Sekolah dan Fasilitas Penunjang KBM.
Pada prinsipnya sama dengan peningkatan kualitas tenaga pendidik, anak didik, proses dan hasil di atas. Karena peningkatan kualitas SDM menjadi prioritas utama maka peningkatan kualitas gedung dan fasilitas penunjang kegiatan belajar mengajar harus dilakukan.
Dengan anggaran 20% untuk pendidikan dari APBN kemudian di tambah dengan APBD digunakan secara maksimal untuk meningkat kualitas sarana dan prasana pendidikan dan porsinya di perbesar untuk perdesaan, tapi harus dilakukan transparan dan jujur, jangan satu rupiahpun ada yang ke cecer. Semua kompenen bangsa harus mengawasi terhadap impelementasi atau proses dan hasilnya.
Ketimpangan pembangunan dalam bidang pendidikan juga karena masyarakat pedesaan tidak begitu perduli (open) dengan pembangunan kualitas SDM daerahnya.
Sebagai akhir dari urain di atas. Pendidikan kita harus mempunyai standar kelulusan minimal secara nasional, di kontrol dengan ujian nasional, untuk mengukur kompetensi anak didik, guru, kepala sekolah, pengawas pendidikan dan pejabat structural di atasnya, termasuk evaluasi terhadap kurikulum pembelajaran, kualitas pengembangan dan diklat SDM. Dan ini merupakan juga kualiatas minimal dalam pelayanan pendidikan. Pendidikan kita ke depan menghasilkan SDM yang globalisasi, agar kualitas SDM kita bisa mensejajari dengan negara sudah meroket. Dan standar ujian nasional guna meniadakan diskriminasi lulusan antara satu wilayan provinsi dengan provinsi lainnya dan antara kabupaten/kota dengan kabupaten kota lainnya.
Pelaksanaan proses pendidikan kita masih harus di kawal atau di awasi secara terus menerus dalam peningkatan proses maupun hasil, karena masih rendahnya kejujuran, tanggungjawab dan komitmen rendah, belum bisa memegang amanah dan kurangnya keperdulian.
Kepentingan yang lebih besar dan bersifat strategis dan visioner untuk kemajuan dan kualitas pendidikan; standar minimal dan berkuailtas globalisasi harus menjadi prioritas, karena harkat dan martabat (harga diri dari satu bangsa) dan daya saing bangsa di tentukan kualitas SDM. Dari aspek apapun kita mempermasalahkan atas satu masalah harus melihat langkah setratejik kepentingan bangsa jauh kedepan. Oleh karena itu harus melakukan kajian yang menyeluruh yang tidak terlepas dari tujuan stratejik, visi misi bangsa. Jangan sampai salah mengambil keputusan atas dasar iformasi parsial atau emosional kelompok atau kedaerahan. Tujuan stratejik bangsa merupakan akumulasi kekuatan dan kesatuan dari semua unsur pemerintah regional/local dan semua lapisan masyarakat di republik ini.
Dari pro-kontara UN bisa kita tangkap bahwa ada fenomena orang tua ikut membuat atau mengkondisikan lemahkan mental anak didik: jadi mental cengeng, pengecut, peresah gelisah. Hal seperti ini akan menghilangkan kewibawaan orang tua didik di dalam keluarga sebagai pemimpin, yang seharusnya memberikan dorongan(motivasi) untuk kesungguhan anak belajar, bermental baik, siap berkompetisi dalam bidang apapun dan siap menang dan siap kalah. Kualitas dari aspek agama lemah, bahwa dibalik kekuatan manusia masih ada lagi kekuatan yang Maha menentukan. Di sini dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa lemahnya mental orang tua maka logislah kalau bangsa kita terjajah kurang lebih 350 tahun. Apakah mentah yang lemah seperti itu masih perlu dipertahankan?. Apakah bangsa kita sudah sangat merindukan lagi penjajahan fisik dan nonfisik kembali?.
Ketimpangan atau ketidakadilan dalam pengembangan dan pembangunan prasarana dan sarana pendidikan kabupaten/kota disebkan oleh lemahnya pengawasan dan keperdulian masyarakat setempat dalam peningkatan kualitas pendidikan. Perlu membuat pertanyaan, “pengawasan dan keperdulian apa yang telah saya lakukan untuk kemajuan kualitas pendidikan di daerah saya?”. Sudahkah itu dilakukan?. Tidak hanya cukup berorasi tanpa tindakan. Berdoa tetapi tidak berkerja dapat apa?. Sumber untuk pembangunan itu seperti bola api, jadi kalau masyarakat tidak proaktif mengiringnya ke dalam gawangnya maka akan menjadi bola liar.
Kualitas SDM Indonesia harus menjadi produk unggulan bangsa. Investasi, asset yang besar dan potensial akan memberikan keuntugan yang besar jika dapat dikelola dengan baik.
“Kita harus bisa, tetapi kita bisa apa?”. Kalimat ini yang sangat bermagna untuk intropksi diri seluruh komponen bangsa ini, kita sudah bisa apa?
Subscribe to:
Posts (Atom)