Tuesday, December 1, 2009

UN Prokontra

UJIAN NASIONAL (UN) PRO-KONTRA
Kopi Morning, Reference Buat Kita Semua)


Pengadaan ujian nasional SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA yang dipermasalah oleh sekelompok orang dan bahkan meminta untuk dihapuskan. Dalam berdemokrasi dan reformasi prokontra, keberagaman bisa terjadi, dalam menilai sesuatu termasuk pengadaan ujian nasional. Ini menunjukan dinamika cara berpikir atas apa yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan dan kita simpulkan atas suatu fenomena yang yang kita permasalahkan. Perlu di ingat untuk melakukan ini kita harus objektiv dan berpikir edial, kita harus mengatakan yang semestinya/seharusnya bukan sebaiknya.

Membedakan makna semestinya/seharusnya dengan sebaiknya. Semestinya/seharusnya mempunyai makna mengkaji tentang sesuatu secara mendalam (berpikir fhilosifis), sementara pernyataan sebaiknya bermakna politis (win-win solution), tawar-menawar guna mengiring opini, argument, ke suatu titik temu yang menghasilkan prinsip kompromistis, yang hasilnya adalah warna abu-abu, tidak jelas, tidak terang, sehingga kita berada dalam suatu ketidak pastian. Politis juga mengandug makna kekuasaan, penguasaan atas posisi dan sember-sumber daya, karena adanya suatu kepentingan yang belum tentu dapat menyelesaikan masalah jangka pendek apalagi untuk jangka panjang. Kita bukan lagi merekayasa untuk jangka pendek tetapi untuk keperluan jangka panjang. Oleh karena itu kita harus menbangun pondasi yang mencakar ke bumi dan ke langit agar tetap berdiri kokoh, dapat mengatisifasi tuntutan perubahan disegala aspek termasuk aspek kualitas proses dan output pendidikan dari bangsa ini.

Kualitas pendidikan kita di Asia dan Asean sudah jauh tertinggal, contoh riilnya adalah export SDM ke luar negeri masih didominasi SDM berpendidikan rendah, akibatnya sering menibulkan masalah dan bermasalah. Sementara SDM lulusan perguran tinggi yang menganggur cukup besar, tidak mampu berkompetisi untuk merebut pasar kerja internasional. Hal ini menunjukkan proses pendidikan belum dilakukan sepenuh hati, belum berprinsip visioner dan globalisasi baik dari aspek pemerintah, masyarakat atau orang tua didik maupun dari anak didik itu sendiri mulai dari tingkat terendah sampai perguruan tinggi.

Masyarakat kita masih mengejar ijazah. Bangga dengan kepemilikan ijazah. Misalnya, suatu pernyataan “anak saya sudah/telah lulus sekolah tingkat ini dan itu, tetapi bisa apa?. Jadi pengangguran, pemiskinan diri, tidak mandiri, selamanya mengantungkan hidup dengan ekonomi orangtua. Buat apa ijazah yang hanya jadi pajangan, memenuhi lemari. Seharusnya dengan modal ijazah itu dapat mendesain bakat dan kemampuan untuk menjadi manusia kreatif dan enovatif membuat usaha produktif tanpa harus tergantung dengan lapagan kerja dari pemerintah dan swasta.
Sebarnya juga PNS kita tidak perlu banyak, sedikit tapi berkualitas, karena sedikit maka dengan mudah dapat dinaikan penghasilnnya, tanggung jawab kerja jadi meningkat. Kenapa jumlah PNS begitu besar, karena harus mengurangi pengangguran yang jumlah cukup besar.

Kedepan, dengan ijazah yang dimiliki putera puteri bangsa Insonesia juga harus mampu berkerja di luar negeri. Dunia ini bukan sedaun “kelor”, dunia ini luas. Misalnya, kedepan TKW/TKP (Tenaga Keraja Wanita/Tenaga Kerja Peria) minimal berpendidikan tingkat SMA dan yang sederajat. Oleh karena itu kompetensi pengetahuan dan komunikasi internasional (misal: bahasa ingris) harus dikuasai oleh putra-putri republik ini, baik diperkotaan maupun diperdesaan. Kalau kita memiliki kompetensi globalisasi, kita tidak hanya mampu bekerja di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Kalau kita sendiri dan kebijakan, proses pendidikan serta kualitas output pendidikan sudah membentuk manusia globalisasi akan menjadi manusia unggulan, dapat berkompetisi baik di dalam dan luar negeri. Jadi manusia berpendidikan globalisasi dimagnai, ”kebelahan duniamanpun dia pergi, dia dapat beradaptasi dengan kompentensi yang telah dia milikinya”.

Makna dari prokontra UN ini mendorong kita untuk berpikir, untuk membuat sesuatu termasuk pengadaan ujian nasional agar dilakukan dan melakukan, renovasi, enovasi, berpikir kreatif, dan filsafat, untuk suatu perubahan dan penyempuraan kepada yang lebih baik dari yang telah pernah ada saat ini maupun masa lampau. Kita memikirkan sesuatu bukan lagi kondisi sekarang kemasa lampau tetapi kita memikirkan kondisi saat ini yang merupakan hasil dari proses masa lampau yang harus kita gunakan untuk kepentingan masa akan datang. Masa akan datang adalah globalasisasi, yang diartikan mendunia, baik perdangangan, informasi, demokrasi, penegakan hukum dan HAM, termasuk Sumber daya manusia (SDM) dari bangsa Indonsesia ini harus menjadi manusia globalisasi (tidak coba-coba).

Untuk membangun dan membentuk SDM globalisasi di republik ini agar mempunyai daya saing bangsa yang tidak ketinggalan (jadul, tradisi yang membudaya) yaitu dengan membanggun dan membentuk SDM dengan memprioritaskan kepada bidang studi tertentu, bukan bidang studi lainnya tidak penting, tapi dari kesemuanya yang penting itu harus ada yang lebih penting, dari yang baik harus ada yang lebih baik. Seperti juga dalam kehidupan diri kita, keluarga kita, demikian juga dengan negara dan pemerintahan kita, selalu ada penekanan atau skala prioritas, mana yang harus lebih didahulukan atau di utamakan. Yang didahulukan atau diutamakan itu sangat strategis sifatnya, berdampak luas atau berpengaruh besar kontribusinya terhadap permasahan individu, keluarga, regional, nasional dan internasional. Misalnya, seorang yang lapar dan haus karena berpuasa, setelah waktu magrib dihadapkan kepada dua pilihan buka puasa dulu baru kemudian sholat magrib atau sebaliknya. Tentu akan lebih aman dan kusuk dalam melaksanakan sholat magrib dengan mengambil keputusan untuk minum dan makan-manakan ringan terlebih dahulu baru kemudian sholat. Jadi prioritanya adalah minum dan makan-makanan kecil. Kalau seorang petani dengan penghasilan paspasan dihadapkan pada beberapa pilihan. Hasil panen dari hasil tani untuk menyesekolahkan anaknya atau menambah atau memperluas kebun atau sawah garapannya. Jika anak dirahkan untuk bertani saja tidak usah sekolah. Saat menjual hasil tani di bohongi pedangang, karena tidak bisa hitung-hitungan, tidak bisa tulis baca, tidak tahu harga pasar dan seterusnya. Oleh karena itu yang menjadi utama atau prioritas menyekolahkan anak dengan kemampuan yang ada untuk mencapai tingkat pendidikan tertentu dari pada anak langsung diarahkan untuk bertani. Bekerja sebagai PNS atau swasta, setiap bulan terima gaji, dari gaji yang diterima setiap bulannya harus dibelanjakan untuk apa?, untuk kebutuhan sembako atau untuk hal lainnya seperti: beli baju baru, kredit kenderaan baru, kredit rumah tinggal, untuk sekolah anak dan lain sebagainya. Dari sekian kebutuhan dan keinginan itu harus ada yang lebih diutamakan. Kalau di pemerintahan juga ada skala prioritas atau yang lebih utama seperti penekananan pada aspek: kesetabilan politik, peningkatan ekonomi, pemberantasan korupsi, penggurangan pengangguran dan kemiskinan, peningkatan pelayanan kesehatan dan peningkatan pelayanan kualitas pendidikan, penegakan supermasi hukum dan HAM, reformasi birokrasi, dsb.

Demikian juga yang diutamakan dalam ujian nasional dari sekian banyak mata pelajaran tentu harus ada penekanan atau prioritas dalam rangka membangun dan membentuk SDM yang hidup yang dihadapkan pada globalisasi, siap berkompertisi dan meningkatkan daya saing bangsa dalam bidang kompetensi SDM yang berkualitas, meningkatkan harga diri individu, keluarga dan masyarakat, bangsa dan negara. Dalam hal ini dilakukan ujian nasional terbatas untuk sekolah dasar, menenggah pertama dan menengah atas. Untuk SMP/MTs diprioritaskan untuk mata pelajaran: Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Bahasa Indonesia adalah sebagai akar budaya bangsa, pemersatu bangsa, interaksi komunikasi dalam bangsa yang beragam suku bangsa dan bahasa. Jadi bahasa Indonesia merupakan identitas utama dan jati diri bangsa. Matematika modal utama dalam membentuk dasar logika, dasar sistimatika berpikir, dan dasar-dasar pendidikan analisis, kecermatan berpikir dan juga menjadi pengetahuan terapan dalam kehidupan sehari-hari dan juga keterkaitannya dengan disiplin atau mata pelajaran lain seperti IPA dan ekonomi. Jadi matematika bersinegri dengan IPA dan ekonomi dan disiplin ilmu lain yang berkaitan dengan angka-angka (statistic). Jaman sekarang sulit rasanya jika tidak ada pengetahuan dasar tentang hitung-hitungan. Masih banyak lulusan sekolah dasar belum mampu melakukan hitungan: tambah, kurang, dan pembagian. Kalau mau tahu yang sesungguhnya tes langsuh dengan mendatangi sekolah dasar negeri/swasta yang dikategorikan standar input peserta didik menengah dan bawah, tidak usah di perdesaan di perkotaan saja masih banyak. Kalau besiknya tidak baik maka untuk melangkah lebih lanjut akan lebih sulit, oleh karena itu pelajaran matematika menjadi sesuatu yang menakutkan, tidak disukai, di benci, menghindari, sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi sekalipun. Ini adalah masalah yang perlu suatu penyelesaian membuat menjadi tidak ditakuti atau dihindari tetapi menjadi sesuatu yang biasa saja seperti mata pelajaran lain.

Mata pelajaran bahasa Inggris juga sangat penting di dalam dunia informasi saat ini untuk membuka jendela dunia, sebagai alat komunikasi antar bangsa dengan bahasa yang berbeda. Ilmu pengetahuan mengalir dari barat ke timur, jika kita tidak mumpuni bahasa inggris (bahasa intertnasional) maka kita tidak melek dengan perkembangan teknologi informasi dan pengetahuan. Kita menjadi manusia, bangsa seperti katak dalam tempurung, berwawasan sempit, kuper. Sebagimana telah disebutkan di atas SDM globalisasi harus mumpuni bahasa inggris atau bahasa internasional.

Kita juga tidak boleh kalah dalam penguasaan teknologi. Oleh karena itu dasar-dasar pendidikan atau pelajaran IPA harus kuat, karena bagi anak didik telah lulus sekolah 9 tahun yang punya bakat kearah itu sudah punya dasar yang kuat untuk memilih jurusan pada sekolah lanjutan atas atau perguruan tinggi baik di dalam dan luar negeri.untuk memperkuat atau dapat mengikuti pelajaran IPA dasarnya adalah jika mata pelajaran matemetika bagus.

Demikian juga untuk ujian sekolah tingkat menengah atas yaitu SMU/MA dan sederajat dengan materi ujian nasional : Bahasa Indonesia, Matematika (ekonomi untuk jurusan social), Bahasa Inggris, dan ditambah dengan mata pelajaran kompetensi jurusan untuk jurusa sosial atau jurusan IPA, dll.

Sekarang sudah jauh lebih baik karena sudah mempunyai standar kompentensi minimal. Jika impelementasinya baik saya kira sangat signifikan dalam perbaikan kepada yang lebih baik SDM kita sebagai asset bangsa, generasi penerus bangsa dan pemerintahan, SDM globalisasi.

Ujian nasional sebagai standar nasional juga untuk meniadakan diskrimansi suatu lulusan sekolah lokal kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lain baik dalam satu provensi dengan kabupaten/kota provensi lainnya. Jadi seperti yang telah dikemukan di atas SDM berkualitas global, bukan hanya dapat diterima di luar wilyah Indonesia (luar negeri) juga dapat diterima di seluruh waliyah Indonesia. Jika tidak ada kualitas stantar minimal secara nasional akan menimbulkan diskirminasi hasil kelulusan sekolah.

Membanggun SDM yang berkualitas berstandar nasional dan bersandar SDM globalisasi, seperti membangun gedung tinggi mencakar langit. Untuk membangun gedung seperti ini harus membuat terlebih dahulu pondasi dan tiang sebagai bingkai dasarnya atau kerangka dari banggunan gedung tersebut. Kemudian dilakukan pemasangan batu bata, menutup batu bata dengan semen sebagai komponen pendukung. Sehingga berdirilah suatu bangunan yang kekar dan kokoh. Yang dimaksud pondasi dan tiang atau kerangka gedung di dalam peningkatan kualitas pendidikan kita adalah mata pelajaran UN, sedangkan untuk mata pelajaran US (ujian sekolah) itu adalah batu bata, semen dan lain-lainnya. Kalau kita ambil contoh manusia, kerangka manusia adalah mata pelajaran UN sedangkan daging dan lain-lainnya yang menempel di luar kerangka adalah mata pelajaran US. Maka berdirilah dia sebagai manusia yang tegap, kokoh dan tanngguh. Contoh yang lebih simpel memuat layang-layang. Membuat kerangka bagus, kuat, seimbang dan serasi, kemudian dilengkapi komponen pendukung seperti kertas, benang dan elem perekat. Jadilah laying-layang yang layak terbang.
Demikian juga dalam membangun bidang-bidang lain: politik/demokrasi, ekonomi, sosial-budaya/agama,kerukunan beragama, pertahanan keamanan, NKRI, dsb.

Mengapa Perlu Standar?.

Standar dapat di buat secara nasional maupun tingkat provensi dan kabupaten/kota. Standar kelulusan ujian nasional minimal, penting karena dalam mengukur keberhasilan pendidikan secara nasional harus berdasarkan standar yang jelas. Standar ujian nasional juga bukan hanya mengukur kognitif (pengetahuan) siswa, tetapi juga mengukur semua proses pendidikan: kompentensi guru, kompetensi manajerial kepala sekolah; visi dan misi, metode, strategi, sasaran dan tujuan, profisional pengawas pendidikan, kualitas pembinaan dan pengarahan pimpinan struktural terkait dengan pendidikan tingkat kota/kabupaten, dan bagaimana kulitas pendidikan dan pelatihan tenaga kependidikan, yaitu seperti apakah prosesnya dan bagaimana hasilnya. Proses mentukan hasil bukan hasil menentukan proses. Jika hasilnya sesuai dengan standar minimal berarti proses sudah berjalan seperti yang diharapkan. Harapan yang paling tinggi yaitu bisa melampui standar minimal, untuk itu prosesnyapun harus di atas proses minimal. Apakah mungkin mendapatkan hasil yang maksimal dengan usaha yang minimal. Usaha maksimal dalam kerangka berpikir dan usaha positif: rasionalitas, accountable dan jujur. Dalam hal ini, tidak menggunakan cara atau jalan menghalalkan segala cara. Hal seperti ini masih mewarnai dunia pendidikan, oleh karena itu secara rasional atau logis bahwa dunia pendidikan kita berkontribusi besar dalam membentuk mental ketidakjujuran. Karena dari fenomena bisa kita amati bahwa, pembangunan dan pengembangan mental kejujuran yang masih sangat lemah di republik ini, meskipun berlatar belakang relegius.

Standar mengerakkan atau mendorong semua yang terlibat di dalam proses pendidikan lansung seperti SDM yang ada di sekolah dan yang tidak secara langsung seperti jabatan struktural di atasnya termasuk pengawan pendidikan dan juga siswa untuk berusaha dengan kesungguhan dagan kemampuan yang ada untuk mencapai standar minimal kelulusan dan diharapkan lebih, demikian juga dengan orang tua anak didik. Tanpa ada standar tertentu proses pendidikan akan berjalan tidak beraturan, berperoses dan berjalan sendiri-sendiri. Indonesia adalah negara kepulauwan, perkotaan dan pedesaan yang juga menjadi masalah dalam mendapatakan akses informasi pendidikan. Oleh karena itu harus menggunakan standar minimal kompetensi anak didik utuk kelulusan secara nasional dengan membuat tingkat kesulitan soal yang berbeda.

Di kota seperi di DKI Jakarta saja banyak sekolah yang peserta didiknya dari input tidak baik karena berasal dari orang ekonomi lemah atau miskin perkotaan, yang orang tuanya tidak begitu open (kurang/tidak perduli) dengan pendidikan anaknya, diserhakan ke sekolah, orang tua pokoknya terima jadi, terima beres. Oleh karena itu perlu sekolah dasar sampai menengah atas, baik di kota provensi, kabupaten/kota di beri standar dalam kategori sekolah A, B dan C. Dengan demikian dapat dilakukan dan diberikan kualitas soal ujian nasional yang berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik. Contoh sekolah SMP di DKI Jakarta, menerima lulusan dari SD berdasarkan jumlah atau rerata nilai USBN. Misalnya SMP 1 menerima peserta didik baru dengan jumlah atau rerata nilai adalah X1 (tinggi), untuk SMP 2 menerima peserta didik baru dengan jumlah atau rerata nilai adalah X2 (sedang), kemudian untuk SMP 3 menerima paserta didik baru dengan jumlah atau rerata nilai adalah X3 (rendah). Jadi dapat dikategorikan SMP 1 tipe A, SMP 2 tipe B dan SMP 3 tipe C. Lalu bagaiamana dengan sekolah SMP swasta?, SMP swasta paforit/unggulan/moded masuk tipe A dan yang lainnya masuk tipe B dan paling banyak adalah tipe C. demikian dengan SMA/SMK dan yang sederajat baik negeri maupun swasta.

Untuk tingkat provensi dan kabupaten/kota juga bisa membuat stantar kelulusan di atas standar minimal kelulusan ujian nasional untuk tujuan memaju atau memberi dorongan kepada semua yang terlibat dalam proses pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung seperti telah dikemukakan di atas dan juga kepada peserta didik dan orang tua didik. Minsalnya, standar kelulusan ujian nasional untuk SMP/MTs 2009 rata-rata 5,50, untuk tingkat provensi dan kabupaten/kota membuat dengan standar 60,65 atau 65,50. Jadi bagaimana upaya dari peran pejabat institusi pendidikan pada tingkat provensi dan kabupaten/kota membuat standar kelulusan yang lebih menantang semua yang terlibat dalam pencapaian standar. Rasional dari pembuatan standar adalah tidak tinggi dan tidak pula rendah tetapi menantang. Kalau standar nasional rata-rata 5,50 lalu sekolah dan institusi pendidikan tingkat provensi dan kabupaten/kota mematok standar yang sama ia jelas kebabalasan, banyak yang tidak lulus. Kalau sekolah atau tingkat institusi provensi dan kabupaten/kota mematok 60,65 – 65,50 maka dalam ujian nasional posisinya jadi aman, karena nilai yang paling rendah akan berada pada posisi 5,50. Jadi dapat dikatakan sangat keliru kalau sekolah atau institusi pendidikan provensi dan kabupaten/kota mematok stadar kelulusan ujian nasional sama dengan standar nasional. Maka hasilnya banyak yang tidak lulus, lalu mencari kesalahan pada orang lain untuk menutupi kesalahan diri sendiri. Disini perlunya sekolah dan institusi pendidikan tingkat provensi dan kabupaten/kota kreatif dan enovatif dengan masyarakat atau orang tua anak didik dalam menentukan kualitas standar minimal pendidikan.

Proses Pendidikan

Proses pendidikan anak tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan atau sekolah. Orang tua juga harus open/perduli dengan proses dan mengikuti, mendorong, mengawasi, pendidikan anaknya. Jangan hanya bisanya mengeluh dan protes karena anak nilai kesehariannya jelek tidak naik kelas, tidak lulus ujian nasional. Orang tua anak didik harus banyak bertanya kepada diri sendiri, apakah kita sebagai orang tua sudah sangat open dengan pendidikan anak-anak?. Dalam kata lain intropeksi diri sebelum menyalahkan pihak lain, termasuk pengadaan ujian nasional. Sudah open dalam proses belajar anak di rumah dan proses pembelajaran di sekolah?.

Pada saat pemberian rapor tengah semester atau semesteran, sekolah mengundang orang tua peserta didik, kan bisa di lihat keberhasilan proses belajar anak. Dengan demikian orang tua didik bisa menilai dimana letak kesalahan jika nilai anak tidak baik, dalam proses di sekolah atau di rumah/lingkungan?. Kalau prosesnya kesalahan pihak sekolah maka berikan masukan-masukan kepada sekolah dan di pantau pelaksanaannya. Sekolah adalah milik masyarakat maka itu masyarakat (orang tua didik) harus berpartisipasi mengingkatkan kualitas anak baik proses dan hasilnya.

Kekuatan dan Kelemahan UN dan EBTANAS

Keduanya masih mempunyai kekeuatan dan kelemahan. Ebtanas tidak mempunyai standar yang jelas, yang penting ikut ujian pasti lulus. Sedangkan UN sudah mempunyai standar yang jelas dan terukur dan dinamis. Terseleksi, yang tidak lulus harus mengulang atau ikut paket C/B dan cara lain sebagai altenatifnya. Dinamis dalam arti dari tahun ketahun hasil UN di evaluasi secara menyeluruh, jika sudah berjalan dengan baik maka standar UN ditingkatkan sedikit demi sedikit apakah itu dari semua mata pelajaran UN atau untuk mata pelajaan tertentu dari kelompok mata pelajaran UN tersebut. Misalnya, untuk mata pelajaran matematika standar kelulusan tahun ini tidak di naikkan, untuk mata pelajaran lain mungkin sudah bisa dinaikkan. Ini dilakukan dalam rangka mengejar ketertinggal kualitas pendidikan kita khususnya di Asia. Perlu di antispasi mulai dari sekarang, jangan sampai negara yang termasuk jumlah penduduk atu SDM-nya termasuk yang besar di muka bumi ini tidak berkualitas. Jika itu yang terjadi, sangat tidak berpirnya masyarakat dan bangsa ini. Yang kita banggakan bukanlah jumlah penduk yang besar, luas wilayah negara yang besar, kaya sumberdaya alamnya (SDA)tetapi yang perlu dan penting kita banggakan adalah jumlah kualitas masyakat atau SDM yang besar. Apalah artinya gemuk tetapi tidak berkualitas, banyak masalah, banyak penyakit. Kalau sudah demikian tinggal menunggu kesengsaraan, keterpurukan, pengangguran dan kemiskinan dalam ekonomi, pengetahuan dan keterampilan.

Pengalaman saya, pernah ikut megoreksi ujian Ebtanas serta mengolah nilai, seterusnya tidak mau lagi, karena bertendangan dengan hati nurani saya. Nilai 1, 2, 3 dan 4 di kantrol menjadi 5 dan maksimal 6. Karena kalau meluluskan anak didik banyak angka 4 dan lima dipertanyakan masyarakat/orang dan memuat malu sendiri. Mencari informasi dari sekolah lain terdekat tentang berapa nilai kelulusan yang paling rendah. Maka dibuatlah nilai yang lebih enak di lihat, dirasakan, dan dinggar masyarakat. Ini kan telah melakukan kebohongan publik. Di sini yang perlu kita garis bawahi bahwa proses pendidikan kita belum bisa dibuat dengan cara jujur, maka hasilnya terciptalah manusia yang kejujurannya dipertanyakan sebagaimana fenomena bangsa saat ini. Ini merupakan hasil porses dan hasil pendidikan masa lalu kita.

Demikian juga ujian sekolah (US) yang ada saat ini yang sebenarnya banyak yang tidak mencapai target KKM yang di buat oleh guru mata pelajaran sehingga sekolah menunggu hasil UN, jika hasil UN menyatakan anak didik lulus maka nilai US disesuaikan untuk mencapai nilai KKM. Lagi-lagi proses tidak jujur. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa proses menentukan hasil. Kalau hasilnya demikian bagaimana proses yang merupakan suatu sistem yang berjalan selama ini. Ini yang perlu dianalis dan reevaluasi guna menemukan masalah dan pemecahannya. Di sini yang perlu di garis bawahi adalah permasalahan mental aparatur dan masyarakat kita.

Pada umunya di DKI Jakarta guru hanya berani memberi standar KKM mata pelajaran sekitar 60-65 untuk kategori sekolah input kualitas peserta didik menengah dan bawah. Padahal sekolah ada di simpul negara. SDM guru S1, sarana pendukung cukup lengkap, berkedudukan di pusat informasi. Kenapa masih ada anak lulusan SD/MI ada yang tidak/kurang bisa berhitung, menulis juga belum lancar demikian juga dengan membaca?. Ini kenyataan dan kita sering menemukan. Dalam hal ini, siapa yang salah dan siapa yang membuat masalah?. Kalau kita melihat kekeliruan seperti ini karena sekolah lebih memaksakan anak untuk naik kelas yang sebenarnya kemampuannya belum memenuhi untuk itu. Anak belum siap menghadapi tingkat pelajaran yang lebih tinggi tetapi dipaksakan. Kondisi seperti ini bukannya memperbaiki mental dan perbaikan belajar anak malah akan menimbulkan yang sebaliknya. Misalanya, seorang anak belum mampu secara baik naik sepeda kayuh tetapi sudah disuruh naik sepeda motor. Seorang anak balita baru bisa merangkang tetapi diminta bisa untuk berdiri dan berlari.

Di dalam Ebtanas tidak terlihat secara jelas motivasi dan tanggung jawab pendidik, kepala sekolah, pengawas sekolah dan struktural di atasnya untuk meningkatkan kuliatas proses pendidikan yang kerkualitas dan juga orang tua anak didik, karena tidak ada tuntutan kebijakan secara jelas bahwa kualitas output pendidikan harus mencapai standar minimal tertentu.

Kalau di dalam UN standar minimal sudah ada dan jelas dan di dalam proses pembelajaran semesteran juga sudah membuat atau mempunyai standar yaitu KKM, kemanpuan minimal yang harus di capai oleh guru dan siswa. Jika sudah diusahakan dengan berbagai usaha oleh pihak sekolah dan khusunya guru mata pelajaran (melalui remedial) namun hasilnya masih di bawah standar minimal maka anak didik tersebut lebih baik mengulang/tidak naik kelas. Karena secara mental anak belum kuat maka di beri kesempatan mengulang untuk memperbaiki diri. Jika tidak demikian, anak tersebut akan menghadapi kesilutan yang lebih sulit lagi karena dasarnya tidak kuat. Jika di paksakan akan menyiksa anak itu sendiri. Seumpanya, anak kurang gizi disuruh berkeja keras/berat, apalah jadinya!. Anak didik yang menggulang bebanya sudah berkuarang dalam menghadapi pelajaran, karena sebahagian pelajaran sudah dikuasainya, tinggal memperkuat yang dianggap masih lemah. Lambat hasilnya pasti lebih baik dari pada cepat tidak berkualitas, karena yang diinginkan dan dicari kan kualitas. Mislanya. buat apa menyekolahkan anak ke sekolah swasta paforit dengan biaya yang tinggi, karena ingin proses dan hasil anak didik yang berkualitas.

Protes Terhadap Proses dan Hasil UN

Pengawasan UN sudah cukup baik tinggal disempurnakan. Jika ada oknum atau sekelompok kepala sekolah dan pengawas dan/atau ada penekanan secara struktural untuk membocorkan jawaban UN, bukan hanya sanksi adminstratif tetapi dilakukan pemecatan jari jabatan, karena perbuatan seperti itu telah menodai dunia pendidikan dan etika moral, etika profisi sudah tidak dimilikinya. Kalau sudah etika moral dan tangungjawab dan etika profisi sudah tidak dimiliki oleh tenaga kependidikan lebih baik tidak berkecimpung dalam wilayah yang terkait dengan pendidikan. Karena hasil pendidikan adalah asset mengantarkan bagsa negara ini ketujuan yang diharapkan seperti yang diamanatkan UUD 1945 dalam pembukaan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini sebagai modal untuk menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, produktif, kreatif, profusional. Bukan saja dalam jabatan formal/pemerintahan tetapi juga dalam dunia swasta, organisasi dan ormas-ormas yang ada. Seperti apa moralitas bangsa/negara/pemerintahan saat ini merupakan cermin hasil dari proses pendidikan dua orde pemerintahan masa lalu. Seharusnya orang-orang pendidik menyadari kekeliruan itu dan bisa menyetop untuk tidak berlanjut ke masa yang akan datang.

Lulus Tidak Lulus

Dalam seleksi sudah pasti ada yang di terima dan yang di tolak. Demikian juga dalam seleksi ujian nasional karena sudah ada standar minimal kelulusan. Yang di bawah standar minimal sudah tentu di tolak/tidak lulus. Tidak jaminan juara kelas, juara olempiade menang dalam berkompetisi atau seleksi ujian nasional. Fenomena menyatakan pada kita bahwa tidak semua sangjura tetap juara. Contoh, pemain bulutangakis Taufik Hidayat pernah menang dan pernah kalah dalam rangking tingkat Asia dan dunia, demikian dalam dunia: tinju, sepak bola, vollybool, renang dsb. Jadi ada peluang menang dan peluang kalah. Kemenangan atau kelulusan bukan hannya di tentukan oleh kesiapan tetapi disamping itu ada juga faktor keberuntungan. Yang sering di sebut orang dengan “nasib baik dan tidak baik” atau lagi beruntung dan tidak beruntung. Misalnya, viala dunia sepak bola perebutan juara pertama Brazil VS Itali, kedua-duanya tim bagus. Karena tim bagus sama kuat, tapi keberuntuangan tetap ada salah satu dari ke dua tim tersebut sehingga mengantrakan menjadi juara dunia.

Demikian pula di dalam penerimaan CPNS, masuk perguruan tinggi negeri/swasta, juga mengadakan tes (seleksi. penerimaan CPNS di tes karena yang diburuhkan terbatas jumlahnya sedangkan yang melamar cukup banyak, maka dari itu harus dilakukan penyaringan melalui tes. Begitu juga tes masuk perguruan tinggi,dilakukan karena daya tamping terbatas sedangkan pendaftar membuludak (banyak), maka harus dilakukan penyaringan (seleksi)secara ketat. Tujuan lain adalah pencocokan antara kemampuan calon mahsiswa dengan jurusan atau progam setudi yang boleh diambil.Begitu pula di sekolahan SMA dan/atau dederajat dan seleksi masuk SMP dan/atau sedejat.

Dari fenemena pro-kontara masalah UN, dapat kita ambil kesimpulan, bangsa kita adalah bangsa yang tidak mau berkompetisi dalam peningkatan kualitas SDM, itulah yang melemahkan posisi bangsa kita. Tidak mau menerima hasil kenyataan kekalahan/kekurangan, baik oleh siswa dan orang tua didik atas nilai UN, demikian juga dalam hal berdemokrasi. Dalam berdemokrasi tidak mau menerima kekalahan itu merupakan hasil proses pendidikan masa lalu. Kekalahan, kemenangan, lulus dan tidak lulus dalam mengikuti tes atau kompetisi bisa dilihat dari aspek agama kita masing-masing. Seperti apa agama menjawabnya?. Apakah ada tangan Tuhan di balik itu semua?. Kalau ada, kita diperintahkan untuk melakukan apa?. Orang yang berpikir sehat lah bisa memahami dan menjawab itu semua.

Demikian juga beberapa kasus anak ikut UN tahun X tidak lulus, padahal dia anak menjaurai “X”, atau “katanya” dan “katanya” nilai harian anak didik bagus. Kalau dari sekian mata pelajaran UN, dan setiap mata pelajaran sudah ditetapkan standar angka minimal kelulusan, jika salah satu saja di bawah standar itu bisa mentukan tidak lulus, ya tidak lulus. Bisa saja karena diikutkan anak dalam olempide untuk pelajaran tertentu, sehingga dia lebih kosentrasi dengan pelajaran tersebut, sedangkan mata pelajaran lain diabaikan. Kalau mata pelajaran olempiade yang juga mata pelajaran UN ternyata tidak lulus, itu bisa jadi si anak diarahkan oleh tim olempiade mempalajari materi seputar yang akan ditanyakan di olempiade yang mungkin kualitas materi dan soalnya lebih tinggi, tetapi dia lupa atau meninggalkan materi yang dasar dan materi dasar ini yang muncul dalam ujian nasional. Yang demikian itu dapat dikatakan terkecoh oleh diri kita sendiri. Disamping itu juga seperti contoh sepak bola di atas yaitu ada faktor keberuntungan/nasip baik. Banyak para jaura seperti juga dalam olah raga merasa pede (berbesar hati) bahkan dia tidak akan terkalahkan, kenyataan tidak demikian, bisa kalah juga.

Kalau lembaran jawaban takut tidak di baca oleh computer-scaner (alat pengoreksi UN), maka supaya terbaca dikerjakan sesuai dengan pentunjuk yang ada. Padahal teknologi scaner sangat sentitif. Memberi bulatan untuk satu soal lebih dari satu itu sudah tidak terbaca oleh scaner computer, karena kunci jawaban sudah setting atau di masukkan ke computer untuk satu jawaban hanya satu bulatan. Masalah, menganti jawaban yang baru lupa menghapus jawaban yang salah, atau jawaban yang salah tidak di hapus dengan bersih, demikian itu tidak terbaca oleh komputer. Untuk menghindari kesalahan demikian, jangan lasung memberi bulatan pada lembar jawaban konputer (LJK) cukup dengan menandai titik kecil sehingga mau melakukan koreksi kalau di hapus tidak meninggalkan bekas, atau dengan menggunakan kertas bantu yaitu dengan menuliskan nomor soal dan jawabannya, kemudian setelah yakin dengan jawaban tersebut baru di bulatkan di dalam LJK. Kesalahan juga karena kurang ketelitian dalam membaca soal dan memilih jawaban, karena jawaban harus memilih yang paling tepat.

Pengoreksian dengan computer jauh lebih baik dan objektif hasilnya daripada koreksi manual oleh guru. Koreksi dengan computer tertutup untuk semua orang kecuali orang-orang yang bekerja yang mengoprasikan computer. Kalau kunci jawaban sudah masuk ke dalam computer maka sudah muncul hasilnya dan itu obyektiv karena alat teknologi yang bekerja. Dia tidak punya otak, tidak punya perasaan, tidak punya belai kasihan kepada peserta ujian tertentu atau sekolah tertentu. Dia bekerja sesuai dengan intruksi dan apa adanya (obyektif). Sedangkan manusia punya akal pikiran, perasaan dan pertimbangan-pertimbangan lain yang bergolak dalam dirinya. Oleh karena itu pengoreksian dengan orang/guru itu tidak objektiv. Ada rasa tidak tega atau kasihan dan banyak pertimbangan sehingga memberikan nilai tidak sesuai dengan apa adanya. Meskipun dilakukan pemeriksaan dua kali dengan koreksi silang. Waktu kita mengolah nilai Ebatas, banyak menemukan antara koreksi pertama dengan koreksi kedua sangat tidak masuk akal, perbedaanya jauh sekali. Karena ada tujuannya ingin membatu hasil ujian anak, tapi cara seprti itu membantu anak untuk kesesatan lebih lanjut bagi anak. Sebenarnya dia tidak mampu tetapi di buat nilainya bahwa dia mampu. Di dalam diri anak juga punuh tanda tanya “kok hasilnya bagus” padahal menjawab soal dengan bantuan menghitug kancing bacu. Sehingga anak didik berkesimpulan tidak belajar juga lulus, dan informasi seperti berkembang dikalangan anak didik dan masyarakat. Rusaklah proses dan hasil yang sudah direncakan dan merupakan perbuatan sia-sia, tidak berdayaguna dan berhasilguna. Hancurlah pendidikan kita, bangsa dan negara kita di kelola oleh orang-orang yang tidak bermoral, tidak punya kompetensi yang baik, tidak profisional, dan tidak jujur. Di sekolah anak sudah diajari dan memperlihatkan cara berbuat tidak jujur maka hasil pendidikan kita adalah manusia yang tidak jujur, lihat kenyataan kondisi saat ini.

Alternatif UN

Pelaksanaan UN juga dapat dilakukan dengan cara pemetaan dengan kreteria tertentu. Untuk daerah-daerah tertuntu mungkin belum bisa, terutama di pelosok desa. Tetapi akan mumcul diskriminasi terhadap hasil outpun pendidikan yang tidak melaksanakan UN. Dengan tidak melaksanakan UN juga tidak ada dorongan atau tantangan bagi pemerintah pusat (diknas) dan dinas-dinas pendidikan di daerah daerah, demikian juga guru, kepala sekolah dan penagawas sekolah, dorongan orang tua/masyarakat dan juga pemerintah provinsi dan kabupaten/kota melemah. Tidak adanya standar minimal kualitas pendidikan secara nasional akan menimbulkan diskriminasi antara lulusan wilayah provinsi atau kabupaten/kota satu dengan yang lain seperti yang telah dikemukakan di atas.

Jadi adanya kesenjangan pelaksanaan pendidikan perkotaan dengan pedesaan maka kualitas soal UN yang harus di desain dengan tepat. Kalau di perkotaan anak didik harus bisa apa dan di pedesaan anak harus bisa apa. Jangan sampai hasil pendidikan tidak tahu apa-apa, maka itu harus ada standar minimal yang harus diajarkan sekolah dan harus menjadi kemampuan dasar anak didik. Kurikulum mata pelajaran nasional berlaku secara nasional. Apakah sekolah dan guru sudah mengajarkan sesuai isi kurikulum tersebut?. Dari isi kurikulum ini bisa desain kualitas tinggi rendahnya kualitas soal yang untuk perkotaan dan yang untuk perdesaan. Kalau tidak ada standar kualitas pendidikan di republik ini, pendidikan kita tidak akan maju.

Pengembangan Dan Peningkatan Kualitas Tenaga Pendidik

Pendidikan dan pelatihan serta pengembangan tenga pendidik di wilayah provensi dan kabupaten/kota menjadi prioritas penting yang harus di perhatikan oleh gubernur dan bupati/walikota, dinas pendidikan, masyarakat dan tokoh masyarakat yang konsen terhadap peningkatan kualitas proses dan hasil pendidikan. Komponen pemerintah dan komponen masyarakat harus memperhatikan serta mengkritisi tentang peningkatan kualias dan pengembangan tenaga pendidikan di wilayah/daerahnya, karena tenaga kependidikan di wilayah/daerah merupakan modal (asset) yang melakukan proses dan menentukan hasil kualitas peserta didik. Jika dapat meningkatkan kualitas tenaga pendidik dan peningkatan kualitas peserta didik kan merupakan kebanggaan tersediri bagi daerah.

Pimpinan wilayah provensi dan kabupaten/kota sudah seharusnya fokus terhadap peningkatan SDM menjadi priotiras. Se kaya apaun sumber daya alam daerah kalau SDM putra daerah tidak berkualitas mau berbuat apa?. Paling bisa jadi penonton yang baik. Negara yang wilayah dan sumber daya alamnya berukuran mini (kecil) karena SDM-nya berkualitas bisa lebih unggul dari yang sumber daya alam yang besar. Contoh, Singapura. Maksudnya, sumber daya alam yang besar tidak berarti apa-apa jika sumber daya manusianya tidak mampu berbuat apa-apa karena tidak berkualitas.
Wilyah provinsi dan kabupaten/kota yang sumber daya alamnya relative kecil maka aspek peningkatan kualitas SDM harus menjadi focus utama dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan, karena kalau tidak demikain mau berbuat apa lagi?. Kualitas SDM dijadikan produk unggulan utama daerah. Pilihan ini harus dilakukan jika tidak mau pemiskinan yang turun-menurun atau berlanjut tanpa ada batas waktu. Factor pengerak atau pendorong untuk melakukan semua ini adalah masyarakat/tokoh masyarakat, mahasiswa atau perguaran tinggi setempat dan jajaran birokrasi pendidikan daerah. Kalau aktor-aktor politik daerah lebih mementingkan atau konsen terhadap nasipnya: pengembalian asset politik dan plus dan bagaimana bisa terpilih kembali untuk periode akan datang. Masa kerja aktor-oktor politik kan 5 tahunan, sedangkan untuk peningkatan kualitas SDM daerah tidak mengenal batas waktu. Oleh karena itu, dalam peningkatan kualitas SDM daerah bukan lagi rencana top-down tetapi bottom-up. Jadi sudah merupakan rencana dan komitmen masyarakat. Siapapun dan waktu kapanpun bongkar pasang oktor-oktor politik dan warna benderanya apa, harus bisa menjalankan amanah yaitu pelaksanaan rencana peningkatan kualitas SDM daerah. Yang melakukan pengawasan impelemtasi, proses, hasilnya, evaluasi dan rekomendasi untuk perbaikan-perbaikan dilakukan oleh masyarakat/tokoh masyarakat, mahasiswa atau perguruan tinggi setempat, atau organisasi masyarakat yang peduli dengan peningkatan kualitas SDM daerah.


Peningkatan Kualitas Gedung Sekolah dan Fasilitas Penunjang KBM.

Pada prinsipnya sama dengan peningkatan kualitas tenaga pendidik, anak didik, proses dan hasil di atas. Karena peningkatan kualitas SDM menjadi prioritas utama maka peningkatan kualitas gedung dan fasilitas penunjang kegiatan belajar mengajar harus dilakukan.

Dengan anggaran 20% untuk pendidikan dari APBN kemudian di tambah dengan APBD digunakan secara maksimal untuk meningkat kualitas sarana dan prasana pendidikan dan porsinya di perbesar untuk perdesaan, tapi harus dilakukan transparan dan jujur, jangan satu rupiahpun ada yang ke cecer. Semua kompenen bangsa harus mengawasi terhadap impelementasi atau proses dan hasilnya.

Ketimpangan pembangunan dalam bidang pendidikan juga karena masyarakat pedesaan tidak begitu perduli (open) dengan pembangunan kualitas SDM daerahnya.

Sebagai akhir dari urain di atas. Pendidikan kita harus mempunyai standar kelulusan minimal secara nasional, di kontrol dengan ujian nasional, untuk mengukur kompetensi anak didik, guru, kepala sekolah, pengawas pendidikan dan pejabat structural di atasnya, termasuk evaluasi terhadap kurikulum pembelajaran, kualitas pengembangan dan diklat SDM. Dan ini merupakan juga kualiatas minimal dalam pelayanan pendidikan. Pendidikan kita ke depan menghasilkan SDM yang globalisasi, agar kualitas SDM kita bisa mensejajari dengan negara sudah meroket. Dan standar ujian nasional guna meniadakan diskriminasi lulusan antara satu wilayan provinsi dengan provinsi lainnya dan antara kabupaten/kota dengan kabupaten kota lainnya.

Pelaksanaan proses pendidikan kita masih harus di kawal atau di awasi secara terus menerus dalam peningkatan proses maupun hasil, karena masih rendahnya kejujuran, tanggungjawab dan komitmen rendah, belum bisa memegang amanah dan kurangnya keperdulian.

Kepentingan yang lebih besar dan bersifat strategis dan visioner untuk kemajuan dan kualitas pendidikan; standar minimal dan berkuailtas globalisasi harus menjadi prioritas, karena harkat dan martabat (harga diri dari satu bangsa) dan daya saing bangsa di tentukan kualitas SDM. Dari aspek apapun kita mempermasalahkan atas satu masalah harus melihat langkah setratejik kepentingan bangsa jauh kedepan. Oleh karena itu harus melakukan kajian yang menyeluruh yang tidak terlepas dari tujuan stratejik, visi misi bangsa. Jangan sampai salah mengambil keputusan atas dasar iformasi parsial atau emosional kelompok atau kedaerahan. Tujuan stratejik bangsa merupakan akumulasi kekuatan dan kesatuan dari semua unsur pemerintah regional/local dan semua lapisan masyarakat di republik ini.

Dari pro-kontara UN bisa kita tangkap bahwa ada fenomena orang tua ikut membuat atau mengkondisikan lemahkan mental anak didik: jadi mental cengeng, pengecut, peresah gelisah. Hal seperti ini akan menghilangkan kewibawaan orang tua didik di dalam keluarga sebagai pemimpin, yang seharusnya memberikan dorongan(motivasi) untuk kesungguhan anak belajar, bermental baik, siap berkompetisi dalam bidang apapun dan siap menang dan siap kalah. Kualitas dari aspek agama lemah, bahwa dibalik kekuatan manusia masih ada lagi kekuatan yang Maha menentukan. Di sini dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa lemahnya mental orang tua maka logislah kalau bangsa kita terjajah kurang lebih 350 tahun. Apakah mentah yang lemah seperti itu masih perlu dipertahankan?. Apakah bangsa kita sudah sangat merindukan lagi penjajahan fisik dan nonfisik kembali?.

Ketimpangan atau ketidakadilan dalam pengembangan dan pembangunan prasarana dan sarana pendidikan kabupaten/kota disebkan oleh lemahnya pengawasan dan keperdulian masyarakat setempat dalam peningkatan kualitas pendidikan. Perlu membuat pertanyaan, “pengawasan dan keperdulian apa yang telah saya lakukan untuk kemajuan kualitas pendidikan di daerah saya?”. Sudahkah itu dilakukan?. Tidak hanya cukup berorasi tanpa tindakan. Berdoa tetapi tidak berkerja dapat apa?. Sumber untuk pembangunan itu seperti bola api, jadi kalau masyarakat tidak proaktif mengiringnya ke dalam gawangnya maka akan menjadi bola liar.

Kualitas SDM Indonesia harus menjadi produk unggulan bangsa. Investasi, asset yang besar dan potensial akan memberikan keuntugan yang besar jika dapat dikelola dengan baik.

“Kita harus bisa, tetapi kita bisa apa?”. Kalimat ini yang sangat bermagna untuk intropksi diri seluruh komponen bangsa ini, kita sudah bisa apa?

No comments:

Post a Comment