Sunday, December 20, 2009

PEMBANGUNAN MORAL/ETIKA DAN ANCAMANNYA

PEMBANGUNAN MORAL/ETIKA DAN ANCAMANNYA

Berbicara tentang moral adalah bebicara tentang baik dan buruk sebagaimana juga kita berbicara tenang etika juga berbicara baik dan buruk. Kalau bebericara moral dan etika pada umumnya orang-orang akan membicarakan tentang hal-hal yang baik, karena pada prinsipnya orang-orang mengingikan sesuatu dilakukan atau memperlakukan maupun diperlakukan dengan cara-cara baik. Sesuatu yang baik dipersepsikan oleh orang-orang adalah adalah hal-hal yang baik, maka yang tidak baik adalah hal-hal yang tidak bermoral dan beretika. Hal-hal yang baik adalah sikap dan perilaku yang dihasilkan oleh seseorang, beberapa orang, atau sekelompok orang terhadap seseorang, beberapa orang atau sekelompok orang.

Moral pada umunya dikaitan dengan agama, karena agama adalah ajaran moral, sumbernya diyakini atau merujuk kepada Tuhan. Mengajarkan atau menyampaikan ajaran atau perintah atau ajakan kepada perbaiklan sikap dan perbuatan tentang nilai-nilai kebaikan-kebaikan sedangkan etika dikaitkan dengan pengetahuan, merupakan hasil dari yang hasil pemikiran manusuia di dalam praktik-praktik kehidupan.

Apa Itu Moral dan Apa Itu Etika?

Moral adalah (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti, susila. (versi Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Jadi simpel, yang baik yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban adalah mengandung prinsip-prinsip moral, sedangkan yang tidak diterima umum mengenai perbuatan, sikap, keawajiban mengandung prinsip-prinsip tidak bermoral

Sudarwan Danim (2004) membedakan moral ke dalam dua dimensi yaitu moral tinggi dan moral renah. Kalau melihat adanya moral tinggi dan moral rendah, maka yang kita semua sepakat dan harapkan adalah moral tinggi. Lalu bagaimana dengan moral rendah?. Moral yang rendah tentu kita sepakat dan kita mengharapkan tidak terjadi. Kalaupun itu terjadi, masih bisa kita lakukan dengan berbagai upaya supaya moral meningkat dari yang rendah kepada yang lebih baik dan tinggi. Artinya dikodisikan agar dari moral rendah dilakukan perubahan atau pengeseran kepada yang lebih baik dan tinggi. Ada peningkatan dari yang rendah kepada lebih tinggi. Yang disayangkan dan tidak kita inginkan semua adalah kalau kondisi moral yang rendah bergerak kelebih yang renah lagi. Atau lebih dekatnya dapat dikatakan “tidak bermoral”. Kita yakin semua bahwa kita sepakat dan berharap pada satu tujuan yaitu roral yang tinggi atau bermoral. Bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik buruk; berakhlak baik; sesaui dengan moral (adat sopan santun dsb). Simplenya, melakukan perbautan, bersikap dan kewajiban harus mempetimbangkan baik dan buruk. Kalau itu baik maka lanjutkan dan jika tidak baik ia jangan dilakukan. Tujuanya, agar perbauatan, sikap dan melakukan kewajiban menunjukkan yang bermoral yang diterima umum atau masyarakat.

Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Ini adalah etika dalam sudut pandang keilmuan. Kemudian dalam praktik (implementasi-oprsionalisasi), baik dalam keluaraga/rumahtangga, dalam berkumpul/berserikat, pemerintahan/birokrasi atau dalam berbangsa dan bernegara kita juga mengenal “etik” atau “kode etik”. Adanya etik dan kode etik adalah dalam rangka memberikan batasan-batasan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, dengan tujuan terciptanya keteraturan sehinga tidak berbenturan satu dengan yang lain. Dengan demikian apa itu etik?. Etik adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan dan masyarakat. Jadi etika sebagai ilmu, dipelajari dan diajarkan. Etika bukan hanya dipelajari dan diajarkan tetapi harus dipraktikkan didalam berbagai segi kehidupan dan pembangunan. Maka etik atau kode etik adalah pelaksanaan dalam praktik. Di dalam kehidupan sudah terdapat ajaran etika/etik seperti dalam rumah tangga/atau keluara dan bergaul/pergaulan hidup bertangga secara tidak tertulis. Kalau kode etik sudah berbentuk formal (tertulis) seperti kode etik profesi, kode etik penyelengaraan dan pelaksanaan pemerintahanan. Juga terdapat di dalam organisasi informal. (bicara Etika dan etik di atas disarikan dari Kamus Besar Indonesia).

Maka dapat disimpulkan moral/etika adalah ajaran tentang asas atau nilai tentang baik dan buruk tetapi lebih menekankan pencitaan dan pelaksanaan pada sisi kebaikan daripada keburukan. Ajaran moral dan ajaran etika datang dari kutub berbeda yang mempunyai sisi terang dan gelap (baik dan buruk) dengan tujuan yang sama mengedepankan sisi terang atau kebaikan.

Bagaimana Memperbaiki Moral/Etika Buruk atau Moral/Etika yang Rendah?

Membangun atau memperbaiki moral/Etika meliputi tiga dimensi (aspek) yaitu; keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat.

Keluarga adalah satu rumahtangga yang terdiri kedua orang tua dan anak-anak. Pertanyaannya adalah, apakah di dalam keluarga sudah ada nilai moral/etika tertanam, ditumbuhkan dan dikembangkan. Karena ini penting. Pentingnya apa?. Penting karena keluarga adalah sumber untuk sumber yang lainnya. Kalau kita umpakan keluarga adalah sumber mata air yang bersih dan mengalir keluar ke dalam lembaga pendidikan (kali/sugai) dan akan bermuara ke lautan luas (masyarakat luas). Kalau di dalam keluarga sudah tertanam, tumbuh dan berkembang, kemudian di lembaga pendidikan juga dilanjutkan tanam, tumbuh dan kembangakan dan masyarakat yang akan menikmati haslinya. Di dalam keluarga dan lembaga pendidikan adalah dua tahapan proses penanaman, penumbuh kembangkan ajaran moral/etika. Jika ke dua tahapan proses tersebut sudah mengalir dengan baik dan seberapa kuat bangunan moral/etika tersebut sudah tetanam, tumbuh dan pengembangannya. Kita ketahui bahwa lautan adalah muara dari banyak sungai. Semua kotoran dari sungai masuk ke lautan luas. Maka kalau dari mata air (keluarga) sudah bersih dan di lembaga pendidikan (kali/sugai) bersih, sudah pasti menghasilkan lautan yang bersih (masyarakat yang bersih). Tinggi atau baik kualitas air lautan. Tinggi atau baik kuliatas moral/etika dari masyarakat. Sebaliknya, kalau dari mata air (keluarga) sudah kotor dan di lembaga pendidikan (kali/sugai) kotor, sudah pasti menghasilkan lautan yang kotor dan kotor (masyarakat yang kotor). Rendah atau buruk kualitas air lautan. Rendah atau buruk kuliatas moral/etika dari masyarakat.

Tadi sudah sudah disinggung bahwa seberapa kuat banggunan moral/etika sudah tertanam, tumbuh dan pengembangannya di dalam keluarga dan lembanga pndidikan (formal, informal, nonforma). Kuat tidaknya akan teruji jika hasil proses pendidikan moral/etika di dalam keluarga dan di lembaga pendidikan di dalam masyarakat. Jadi masyarakat adalah acaman bagi hasil proses pendidikan moral/etika yang dihasilkan oleh keluarga dan lembaga pendidikan. Misalnya begini, manusia keluaran proses pendidikan moral/etika di keluarga dan pendidikan sudah baik tetapi begitu masuk ke dalam masyarakat sebagai dunia proses ketiga menjadi terganggu. Terganggunya karena ajaran moral di keluarga dan di lembaga pendidikan tidak berlaku dimasyarakat (lautan masyarat yang sudah kotor). Jadilah manusia tadi terbegong-begong, sambil berkata dalam hatinya “gila”. Melihat media elektronik, membaca dimedia cetak lagi-lagi penuh dengan berita rendahnya moral/etika. Apalagi yang menjadi contoh yang sehararusnya memberikan contoh dan tauladan menunjukkan atau memberikan cara-cara perbautan, sikap, dan tanggung jawab yang dilihat dari dimensi moral/etika adalah dipersepsikan rendah atau lebih ekstrim “tidak bermoral” dirasa dengan standar/ukuran yang moral/etika minimal sekalipun sudah tidak cocok. Masyarakat yang dimaksudkan disini adalah masyarakat pada sektor publik, dunia usaha (swasta), dan masyarakat biasa (tidak berada dalam sektor publik dan swasta). Demikian juga dilihat dan dirasakan setelah masuk ke dalam kelompok kerja pada sektor publik, setengah publik dan swasta. Dari segi perbandingan sudah tidak seimbang maka terseret dan terkontamisasi juga dengan budaya lingkungan kerja yang ada. faktor yang mempengaruhi sangat dominan dari faktor penolakan. Banyak contoh kasus pelanggaran moral/etika yang sudah diputuskan lembaga yang berwenang dan masih banyak pula masih dalam tahap proses untuk diputuskan serta banyak pula yang bermunculan kasus-kasus baru. Jadi antara yang diproses dan diputuskan lembaga hukum dengan yang baru muncul kejar-kejaran dan salin menyalip. Maka mana yang kuat akan melemahkan yang lemah. Suatu indikasi kuatnya penghacuran moral/etika seperti kata teman saya yang punya teman dan temanya punya kawan mengatakan “jika tidak ikut, takut dikatan tidak loyal”. Bisa kita tangkap maksudnya, cara-cara tidak baik yang dilakukan sang nahoda harus turuti, yang tidak berarti tidak loyal. karena tidak loyal kinerja baikpun jadi tidak baik. Kemudian ada lagi , saya punya kawan dan kawan saya punya teman dan temannya punya teman lagi mengatakan “jika tidak ikut maka tidak usah ikut kelompok atau organisasi pemerinatah, kalau ikut maka harus menerima, tidak menerima kosekuensinya akan tersingkirkan lingkungan kerja atau orang yang tidak dipakai". Dapat kita fahami maksudnya, ajakan berbuat yang tidak seharusnya secara “berjemaah”. Kalau di dalam ilmu administrasi disebutkan kerjasama dua orang atau lebih untuk mencapai suatu tujuan. Ada pula menggunakan ilmu manajemen yaitu mencapai tujuan dengan atau lewat orang lain. Kedua sebutan itu bisa juga disalahgunakan untuk mencapai tujuan tidak baik secara kelompok atau tujuan sendiri dengan mengorbakan orang lain (memanfaatkan orang lain). Di sini perlu ditegakkannya moral/etika dalam admistrasi dan manajemen untuk tujuan yang baik (positif) agar terhindar dari perbuatan dan sikap yang tidak bermoaral/tidak beretika. Sebagiamana disebutkan oleh Wahyudi Kumorotomo (2005), untuk kelestarian peradaban manusia kesadaran akan moral mutlak diperlukan….Tidak dibayangkan bagaimana proses sosial itu akan berjalan dengan tertib andaikata kaidah-kaidah moral tidak lagi dipatuhi oleh setiap individi.

Dari apa yang dikatakan oleh Wahyudi Kumorotomo di atas dapat difahami secara simpel bahwa peradapan manusia hanya akan lestari (di Indonesia khsusnya)jika manusianya sadar atas penegakan moral/etika di dalam keluarga, di lembaga pendidikan dan dimasyarakat. Peradapan manusia juga peradaban suatu bangsa karena manusialah menduki suatu bangsa, karena manusialah yang terikat dengan moral/etika. Apa ada selain manusia sebagai penghuni bumi ini yang terikat moral/etika?.

Jadi keutuhan suatu bangsa juga dibangun moral/etika disamping politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan dsb harus dibangun dengan moral/etika. Penegakan supermasi hukum juga tidak terlepas dari penegakan moral/etika. Artinya tidak efektifnya penegakan moral/etika akan sulit atau tidak efektif penegakan supermasi hukum. Seperti telah disebutkan di atas, antara kasus yang ditangani dengan pemunculan kasus baru saling kejar mengejar.

Penegakan moral/etika bersifat himbaukan supaya guru melalui lembaga pendidikan melakukan atau memberikan pendidikan moral melalui pendidikan agama. Himbauan juga dibayang-bayangi dengan peningkatan kesejahteraan guru. Saya garisbawahi himbauan tersebut. Bukan guru agama saja yang harus memberikan pendidikan moral/etika tetapi semua guru. Karena semua guru adalah orang lulusan pendidikan. Kita ketahui bahwa lulusan pendidikan itu bukan hanya memperluas dan memperdalam pengetahuan (knowledge) tetapi juga keterampilan (skill) dan sikap dan pendirian (attitude) dan pendidikan moral/etika (pendidikan agama). Dan pula kita ketahui bahwa tidak ada penduduk bangsa ini yang tidak mengikatkan diri dengan agama tertentu. Semua beragama dan oleh karena itu maka jawabannya adalah semua penduduk Indonesia adalah bermoral. Lalu kenapa moral/etika itu tidak muncul secara baik dalam masyarakat kita?.

Peningkatan kesejahteraan jika tidak dikaitan dengan peningkatan kinerja maka yang ada adalah kesejahteraan meningkat tapi kinerja statis atau menurun. Logika sederhananya begini, orang kalau sudah kekeyangkan makan bawaannya ngantuk dan malas. Orang berpikir kerja malas dengan kerja rajin kesejahteraannya sama, lalu mengapain rajin-rajin!. Dengan kondisi demikian orang akan memilih statis (biasa-biasa atau tengah-tengah). Dengan kondisi demikian maka proses dan hasil pendidikan kualitasnya biasa-biasa saja, tidak ada yang mencegangkan atau mengucapkan kata “hebat”, raga kagum. Logika sederhana lain, semangat orang pekerja harian tidak sama dengan orang pekerja borongan. Artinya, bekerja dengan standar tertentu yang harus dicapai jauh lebih siap dan bersemangat. Pekerja harian jika lemah control maka lemah pula semangat kerjanya, kalau kerja borongan yang melakukan kontrol adalah dari pekerja itu sendiri. Mental seperti ini bisa dirujuk kepada teori motivasi manusia tipe X da Y dari McGregor (Sudarwan Danim,2004). Dengan model menilai kinerja sendiri tidak efektif. Logikanya sederhana dalam dunia nyata, “hampir” tidak ada orang memberi nilai kinerjanya tidak baik dan mengatakan dirinya adalah berkinerja baik. Di dalam psikologi kepribadian mengatatkan, orang akan menampilkan kepada orang lain yang baik-baik saja, bukan yang sesungguhnya. Yang demikian disebutkan kedok/topeng. Seperti sering kita kemukakan bahwa mental kejujuran masih lemah. Lemahnya kejujuran karena moral/etika belum berdiri tegak.
Jadi agar segi kebermanfaatannya dalam pemberian kesejahteraan terhadap peningkatkan kinerja harus ada yang terukur dan tersetandar agar penggunaan dana untuk itu benar-benar efektif sebagai alat motivasi. Karena seseorang yang bermotivasi kerja tinggi berarti pula punya moral/etika kerja yang tinggi. Aspek kemanusiaan dengan peningkatan kesejahteraan dan aspek pelaksanaan tugas harus berdampingan.

Penutup.

Pembangunan moral/etika sama pentingnya dengan pembangunan bidang-bidang lainnya seperti politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan supermasi hukum yang bermoral/beretika. Pembangunan moral/etika di dalam keluarga diteruskan di lembaga pendidikan dan di semua lapisan masyarakat harus pula menunjukkan contoh dan tauladan dalam bersikap perilaku dan tanggung jawab yang bermoral/beretika, karena masyarakat merupakan ancaman besar terhadap pores dan hasil pembinaan moral/etika yang telah dilakukan di dalam keluarga dan di lembaga pendidikan. Budaya mencontoh atau mencontek sikap dan perilaku kurang/tidak bermoral sangat mudah dilakukan karena ada muncul persanaan dendam, “dia bisa kena kita tidak”. Juga karena ada rasa frustasi, apa yang didapat di keluarga dan di lembaga pendidikan tidak sejalan dengan yang terdapat di dalam masyarakat. Dengan demikian orang akan berpikir simpel, kalau begini keadaanya maka ayo lah kita rampok rame-rame, daripada nati kita tidak kebagian.

Refernce Buku:

Sudarman Danim (2004), Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok.
M.H. Matondang (2008), Kepemimpinan (Budaya Organisasi dan manajemen Strategik).
Wahyudi Kumorotomo (2005), Etika Atministrasi Negara.
Agus sujanto, Halim Lubis, Taufik Hadi, Psikologi Kepribadian
Kamus Besar Bahasa Indonesia

No comments:

Post a Comment