Thursday, February 4, 2010

“GURU” PAHLAWAN TANPA JASA

Peribahasa “Guru adalah pahlawan tanpa jasa” untuk saat ini mungkin sudah tidak tepat dan yang lebih tepat bisa dikatakan dengan istilah “Pahlawan kesiangan”. Kenapa dikatakan demikian?. Pemahaman “tanpa jasa” tidak mendapatkan kompensasi/imbalan berupa apapun. Kalau menerima kompensasi/imbalan besar maupun kecil baik dari pemeritah ataupun dari masyarat (berupa punggutan) tidak bisa dikatakan guru melaksanakan pekerjaan mengajar/mendidik tanpa jasa. Sekarang orang mau melakukan pekerjaan sebagai guru baik lulusan pendidikan keguruan atau nonkeguruan hanyalah untuk mencari atau sebagai mata pencaharian atau hanya sebagai batu loncatan yang bersifat sementara sebelum mendapatkan job (pekerjaan) yang edial dan penghasilan yang edial. Kompensasi/balas jasa bukan hannya dalam bentuk materi tetapi juga nonmateri.

Guru adalah jabatan dan untuk melaksanakan tugas mentransfer pengetahuan dan memberikan pendidikan pada anak didik. Sebagai pendidik guru merupakan sub dari proses pendidik di dalam keluarga karena pendidikan anak 0-5 tahun ada di dalam keluarga dan setelah bersekolahpun pendidikan di dalam keluarga terus berjalan. Yang mengalami proses belajar adalah anak didik. Berhasil tidaknya hasil belajar tergantung dari anak didik juga. Jadi yang mencerdaskan anak bangsa itu bukanlah hanya usaha atau “jasa” dari seorang guru tetapi usaha dari guru, anak didik, orang tua dan lingkungan dan demikian juga dengan hasil proses didik yaitu didikan dari para guru, para orang tua dan lingkungan masyarakat.

Pada tahun tujuh puluhan kita juga mengalami proses pendidikan formal pada sekolah dasar di sebuah desa terpencil di republik ini. Di sekolah negeri guru sudah dikompensasi/balas jasa oleh pemerintah tetapi bagi guru yang berstatus honorer/swasta kompemsasi/balas jasanya dipunggut oleh pimpinan sekolah (kepala sekolah, BP3) dari orang tua anak didik. Yang pada waktu itu masih sangat sulit untuk memperoleh uang, maka kepada orang tua anak didik yang tidak bisa membayar dengan uang maka dibayar dengan beras. Demikian juga di sekolah swasta, pembayarannya bisa dengan uang atau dengan beras. Artinya pada tahun tujuhpuluhan saja pekerjaan seorang guru sudah di beri komponsasi/balas jasa, meskipun besarnya kompensasi/balas jasa yang diberikan masyarakat ya relatif kecil karena sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakatnya. Jika tidak ada maka tidak ada orang yang mau melaksanakan tugas sebagai guru. Seorang guru juga manusia yang membutuhkan makan minum dsb, oleh karena itu tidak mungkin orang mau mengabdikan dirinya jadi seorang guru jika sebagian dari kebutuhan hidupnya tidak diperhatikan melalui pemberian balas jasa karena mereka juga mempunyai tanggung jawab hidup untuk dirinya sendiri dan/atau juga dengan anak istrinya. Meskipun pekerjaan seorang guru honorer bukan merupakan pekerjaan pokok tetapi tetep meminta dihargai berupa materiil dan nonmateriil (kebedaan dan nonkebendaan). Contoh kondisi saat ini, guru negeri yang sudah di gaji dengan sistem formal untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) sudah tidak pantas lagi meminta kompesasi/balas jasa atas pelaksanaan Tupoksi tersebut, misalnya seperti, balas jasa koreksi ujian semesteran, balas jasa wali kelas, balas jasa guru piket dsb. Hal itu sudah merupakan satu kesatuan dari Tupoksi itu sendiri. Perlu digarisbawahi dari fenomena yang ada bahwa perubahan sistem tidak sertamerta perbubahan terhadap mental. Perubahan sistem untuk perubahan mental. Jika perubahan sistem tidak dapat merubah mental berarti suatu indikasi “kegagalan” dari sistem. Seperti juga dalam sistem hukum, jika hukum tidak dapat lagi menjadi alat memberi keadilan, ketenteraman, ketertiban, pemberantasan korupsi dan pungli dsb yang berarti sistem hukum gagal dalam melaksanakan tujuan yaitu Tupoksinya.

Kalau saat sekarang (hari gini!) masih ada yang orang berkata “Guru pahlawan tanpa jasa” itu sudah kadaluarsa (basi) atau pahlawan kesiangan. Apalagi kondisi saat ini kompensasi/balas jasa guru sudah sangat manusiawi serta biaya pendidikan tinggi; sekolah yang sudah dibebaskan dari uang sekolahpun masih ada pungutan-pungutan dan penyelewengan. Penggunaan BOP/BOS, masih rawan kecelakaan tersebut karena mungkin jalanya tidak baik/rusak, rambu-rambunya tidak/kurang jelas atau di buat kebut-kebutan yang bukan pada tempatnya, tidak tertib dalam berlalulitas/ugal-ugalan/serabat-serobot, atau mentalnya masih berada di luar sistem yang dibangun saat ini (mental satus quo) dsb. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis terhadap efektivitas dan efisiensi serta control penggunaan dana yang berlebal BOP/BOS dan dana khsusus sesuai dengan implementasinya di lapangan seperti apa sehingga kedepan kejadian-kejadian yang tidak/kurang baik saat yang sudah berjalan agar diperbaiki atau disempurnakan supaya baik.

No comments:

Post a Comment