Tuesday, February 16, 2010

SESAL KEMUDIAN TIDAK ADA GUNANYA

SESAL KEMUDIAN TIDAK ADA GUNANYA

Peribahasa “Sesal kemudian tidak ada gunanya” sangat penting untuk pikirkan dan direnungkan karena merupakan warning (peringatan) bagi setiap orang. Menginggatkan kita semua bahwa sebelum melakukan satu atau lebih tindakan agar benar-benar dipikirkan. Atas sebuah keputusan dalam melakukan satu tindakan atau pekerjaan harus di pikirkan atau dianalisis untung, rungi dan risikonya. Hal ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi kerugian dan risiko sedinimungkin sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan. Dengan mengantisipasi kerugian dan risiko atau dampak dari sebuah tindakan berarti sudah mengenali atau teridentifikasi besar, sedang dan kecil keuntungan, kerugian dan risiko dari satu tindakan yang dilakukan. Dengan demikian sudah dapat memberikan gambaran bagaimana penanganan lebih lanjut dari keuntungan, kerugikan dan risiko atas sebuah tindakan. Dengan mengenali atau teridentifikasi untung, rugi dan risiko dari sebuah tindakan maka secara mental kita sudah siap menghadapinnya baik itu tindakan yang kita lakukan tersebut bermasalah atau dipermasalahkan di kemudian hari baik itu dalam skala (ukuran) besar dan kecilnya. Dengan melakukan cara demikian itu akan tidak ada muncul sebuah penyesalan dikemudian hari karena dalam melakukan satu tindakan dilakukan secara sadar, telah dipikirkan dan direncanakan terlebih dahulu. Oleh karena itu setiap pelajar, pekerja dan masyarakat yang bukan pelajar dan pekerja harus melakukan berpikir atau dipikirkan sebelum melakukan satu atau lebih tindakan/pekerjaan sebelum membuat keputusan. Misalnya keputusan dalam memilih sekolah; jurusan dan program studi. Keputusan untuk melakukan angkat kredit pembelian rumah, mobil, sepeda motor. Keputusan untuk menikah resmi di bawah undang-undang, keputusan melakukan kawin kontrak, keputusan untuk melakukan kawin siri, keputusan melakukan poligami dengan izin atau “poliandri”, keputusan untuk beselingkuh. Keputusan untuk melakukan pembelian pakaian. Keputusan untuk melakukan korup atau pungli dan/atau memperkaya orang lain. Keputusan melakukan pilihan partai dan keputusan pilihan perwakilan dan pimpinan daerah dan pimpinan negara. Keputusan dalam melakukan pilihan kerja atau karier bekerja dsb, sesuai dengan aktitivitas apa yang kita pikirkan dan yang ingin kita lakukan.

Monday, February 15, 2010

AGAMA HARUS MAMPU MENJAWAB EKONOMI

AGAMA HARUS MAMPU MENJAWAB EKONOMI

Kedepan agama semakin kurang laku untuk membentuk perilaku manusia. Agama menjadi nomor sekian sedangkan ekonomi menjadi nomor satu dan yang berikutnya adalah penegakan hukum dalam pembentukan perilaku. Banyak dari masyarakat kita yang menjadi terombang-ambing kenyakinannya (agamanya) hannya karena faktor ketidakberdayan ekonomi yang turunannya adalah kemiskinan, pengangguran, pencurian, penodongan, pencopetan, perampokan, penipuan, kurang gizi dan penyakitan, tidak mampu memperoleh pendidikan serta mendorong pula bertindak kurup dan pungli. Selama ketidakberdayaan tersebut belum terpenuhi iman seseorang bisa mental seketika dari setiap diri orang. Sebagaimana juga budaya malu. Rasa malu dan pelanggaran hukum, pelanggaran norma yang berlaku serta agama bisa hilang karena perut lapar, seseorang harus mencuri atau jadi pengemis dsb. Berbeda halnya dengan apartur pemerintah serta lembaga tinggi/tertinggi negara baik perorangan maupun kelompok melakukan tindakan tercela seperti korup atau tindakan memperkaya orang lain dengan cara-cara ilegal bukan karena ketidakberdayaan ekonomi dari orang/kelompok tersebut tetapi karena kepentingan politik, kelompok dan pribadi oleh karena itu tindakan yang dilakukan dapat dikatan tindakan amoral serta pelanggaran hukum. Yang demikian banyak terdapat di negara-negara miskin, negara berkembang (seperti Indonesia) dan bahkan di negara yang telah maju pun bisa terjadi.

Keresahan terhadap perpindahan agama atau kenyakinan adalah kekawatiran kurang rasional. Kurang rasional karena hanya bisa memberikan komentar-komentar serta ajakan atau seruan untuk berdoa dengan mengambil tema zikir ini dan itu sebagai manifestasi pedekatan diri kepada sang pencipta sebagai terapi kekecewaan atau keputusasaan bersifat sementara seperti pada proses ceramah atau zikir berlangsung, begitu proses tersebut bubaran mulai lagi bececamuk hati dan pikiran fokus pada masalah ekonomi. Dimana proses tersebut tanpa ada upaya yang jelas dan konkrit solusi bagaimana konsep, teori dan praktik konkrit pemberdayaan ekonomi umat dalam perspektif agama sehingga lebih mampu berusaha dan bekerja demi untuk melapaskan diri dari kesakitan ekonomi umat. Kesakitan ekonomi, orang akan mencari dan mencari jalan lain yang mungkin sedikit atau banyak sudah keluar dari koridor arau rel agama yang dinyakininya selama ini atau dalam kata yang lebih tajam mengikuti aliran sesat. Dan oleh karena itu pula penjual aliran sesat saat ini dan sangat mungkin kedepan menjadi pilihan alternatif tetapi cukup laris. Kesakitan ekonomi, orang mencari kesembuhan penyakit tertentu yang bersifat medis mencari atau meminta kesembuhan kepada dukun, paranormal, kepada benda cair maupun benda padat serta tumbuhan yang ada sebagai fenomena alam daripada menggunakan jasa dokter. Dalam hal ini apa konsep serta pemikiran agama tentang pemberdayaan ekonomi umat baik itu pada level tinggi, menengah dan bawah. Terutamanya level bawah yang mendominasi pada negara miskin dan negara berkembang. Masalah ketidakberdayaan ekonomi (kesakitan ekonomi) baik berupa gejala, positif atau akut semestinya agama bisa menafsirkan memberikan jawaban seperti apa konsep, teori serta praktik yang lebih simpel dan konkrit. Karena agama bisa menjawab kesakitan ekonomi umat tersebut maka semakin merekat seseorang dengan agama tertentu. Agama tidak hanya berkutit lebih banyak tentang keTuhanan dan moralitas tetapi harus lebih banyak pula dalam pemberdayaan ekonomi umat.

Penegakan hukum tidak bisa efektif jika kebutuhan dasar hidup tidak tercukupi oleh karena itu terjadi pelanggaran hukum dan norma-norma berlaku serta agama. Contoh, larangan bagi pengemis jalanan di kota-kota dan pedagang asongan di jalanan. Peraturan perundang-undangan melarang melakukan tindakan korup, pungli, mencuri, merampok, menipu dsb. Sangat disayangkan, semakin banyak lembaga hukum serta peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelarangan semakin tumbuh subur pembangkangannya. Yang sangat meperihatinkan kita semua semakin dilakukan perbaikan berdemokrasi dan desentralisasi semakin banyak pelaku korup. Ini mengindikasikan kekurangberdayaan atau efektifitas moralitas sebagai support dari agama. Agama hanya dijadikan suatu alat keperibadian yang menvisualisaikan keobjektifan yang sesesungguhnya dalam kebenaran dan kejuran yang senyatanya tidak demikian. Jadi keperibadian dengan membungkus dengan agama terkadang bisa hanya sebagai kedok/topeng belaka. Karena masih kurang efektifnya agama sebagai control terhadap sikap dan perilaku maka pendekatan penegakan hukum dan ekonomi harus lebih dikedepankan.

Tidak ada ketenangan melakukan seperti ibadah berdoa/salat/zikir jika sesoerang dalam keadaan lapar dan haus serta berpenyakitan. Berdoa tidak bisa membuat perut kenyang serta tidak bisa menghilangkan rasa haus dan justeru bisa terjadi sebaliknya dengan banyak orang berdoa akan banyak terpakai energinya sehingga timbul rasa lapar dan haus. Tubuh orang sudah tidak memungkinkan lagi di tutup dengan daun-daunan atau dari kulit kayu serta tidak mungkin lagi orang tinggal di goa-goa karena tanah serta hutan sudah di petakan jadi hutan lindung dan hutan industry oleh karena itu tidak memungkinkan lagi orang tinggal di goa. Mau tidak mau orang harus hidup di alam serta masyarakat kemajuan dengan meninggalkan alam serta masyarakat belum maju.

Perilaku manusia akan lebih mudah diarahkan jika secara ekonomi masyarakat sudah dapat memperoleh serta memenuhi kebutuhan dasar hidupnya seperti: makan dan minum, sandang, rumah dan pendidikan dan kesehatan yang terjangkau. Dengan perut terisi makanan dan minuman, punya pakaian layak untuk dipakai, tinggal di rumah yang layak ditinggali, dengan demikian itu seseorang akan punya ketetapan hati pada keyakinan (agamanya). Dengan berpendidikan, masyarakat akan bisa berpikir rasional dan akan meningalkan cara irasional. Dengan biaya kesehatan gratis atau terjangkau maka semangat serta harapan hidup masyarakat akan terbangun dan akan mempercepat proses kesembuhan. Jadi selama masyarakat yang ekonominnya morat-marit maka maka agamanyapun akan morat-marit. Secara ekonomi mengalami proses perbaikan terus menerus akan mengalami proses perbaikan keTuhanan dan moralitas.

Tuesday, February 9, 2010

PILIHAN SEKOLAH UNTUK MELANJUTKAN

PILIHAN SEKOLAH UNTUK MELANJUTKAN

Sebelum mengambil keputusan untuk melanjutkan sekolah baik dari lulusan SMP/MTs atau yang sederajat; dari tamatan SMA/SMK /MA atau yang sederajat perlu mempertimbangkan beberapa faktor sbb:

1.Kenali bakat anda
2.Kemampuan otak
3.Kemampuan keuangan
4.Efektif
5.Efisien
6.Produktif

Anda harus mengenali bakat Anda karena bakat merupakan potensi (kekuatan) atau merupakan modal awal dalam menuju sukses terhadap pilihan Anda dalam mengikuti proses pendidikan. Bukan ikut-ikutan atau terpengaruh ajakan teman-teman atau arahan orang tua sendiri sekalipun. Jika Anda merasa kebingungan dalam menetukan kecenderungan bakat Anda harus membaca buku yang berkaitan dengan bakat atau membicarakan, menkonsultasikan kepada orang yang pintar. Jika Anda mempunyai bakat lebih dari satu maka Anda harus menentukan pilihan yang tepat dari sekian banyak bakat Anda. Caranya yaitu dengan menganalisa serta membuat urutan pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika ada tiga pilihan maka Anda harus melilih satu dari antara tiga tersebut. Jika Anda tidak punya bakat bersekolah sebaiknya tidak besekolah dan sebaiknya Anda bekerja yang menghasilkan uang atau barang.

Kemampuan otak atau kecerdasan Anda akan menentukan kesuksesan Anda dalam mengikuti proses pendidikan lebih lanjut jika Anda berkeinginan untuk melanjutkan sekolah sampai jenjang pendidikan yang Anda harapkan atau cita-citakan. Jika kecerdasan Anda rata-rata jangan mengambil pilihan sekolah atau program studi yang membutuhkan kemampuan di atas rata-rata. Jika kemampuan otak Anda tidak bisa diadalkan untuk bersekolah maka buatlah pekerjaan yang menghasilkan uang atau barang untuk membiayai atau melengkapi kebutuhan hidup Anda serta melepaskan diri dari keterangtungan hidup dari orang tua.

Kemampuan keuangan atau dukungan orang tua terhadap penyelesaian pendidikan Anda. Jika kemampuan keuangan orang tua Anda terbatas maka Anda harus membatasi harapan Anda dalam memperoleh tingkatan pendidikan. Jangan memaksakan diri jika dukungan keuangan tidak cukup sehingga hasil yang Anda peroleh adalah kegagalan yang berakibat pada prustrasi atau setress atau defresi mental. Apabila itu terjadi akan sangat merugikan diri Anda sendiri dan keluarga. Jika kemampuan keuangan orang tua cukup terbatas maka sebaiknya Anda memilih sekolah yang mempersiapkan Anda untuk bisa bekerja pada sektor swasta dan berwirausaha (usaha mandiri). Misalnya, lulusan SMP/MTs melanjtukan ke SMK; kalau dari lulusan SMA/MA melanjutkan ke Deploma atau pendidikan profesional program D1, D2, D3. Tujuannya adalah untuk mengantisifasi Anda tidak menjadi anak bangsa yang pengangguran karena selain Anda bisa bekerja di sektor swasta serta mampu menciptakan pekerjaan sendiri. Jika Anda tidak puas lulusan SMK atau program D1, D2, D3 Anda dapat melanjtukan belajar kembali sambil bekerja.

Efektif dalam arti Anda dapat menyelesaikan pendidikan tepat waktu dengan kemampuan otak serta dukungan atau kemampuan keuangan dan usaha maksimal dengan hasil dari proses pendidikan memperoleh sangat memuaskan.

Efisien dalam arti memperhitungkan atau melakukan perhitungan dalam menggunakan waktu untuk belajar serta penggunaan dana/uang sebaik mungkin; tidak membuang-buang waktu atau uang untuk hal hal yang tidak atau kurang penting.

Selama ini sudah banyak kejadian yang merugikan orang tua dan anak didik/siswa ataupun masiswa. Anak sekolah diarahkan oleh orang tua harus melanjutkan sesuai dengan keinginan orang tua yang berakhir pada kegagalan dan sekailgus kehancuran bagi kedua belah pihak tersebut. Seperti, anak kabur dari pesantren karena anak tidak mau sekolah di pondok pesantren. Siswa tidak masuk sekolah padahal dari rumah berangkat kesekolah karena anak tidak mau sekolah di mandrasah. Sebaliknya ada anak yang maunya sekolah di pondok pesantren tetapi orangtuanya tidak restu akhirnya gagal juga. Seorang mahasiswa harus jadi orang gila karena tidak mampu menyelesaikan proses pendidikan di perguruan tinggi. Seorang mahasiswa harus jadi orang gila karena tidak bisa menyelesaikan sekolahnya karena ketidakmampuan pembiayaan dari orang tua. Mahasiswi harus melakukan tindakan amoral karena ketidakmampuan orang tua dalam membiayi anak bersekolah dsb. Jadi yang yang perlu digarisbawahi, yang sekolah adalah anak maka biarlah anak yang memlilih mau sekolah yang mana. Peran orang tua hannya sebatas memberikan pandangan khsusnya bagi anak se usia SD, SMP atau SMA yang keperibadiannya bulum menunjukkan kedewasaan. Disisi lain dukungan keuangan harus menjadi pertimbangan dalam melanjutkan sekolah.

Jika Anda berstatus sebagai pelajar ataupun sebagai mahasiswa dapat menggunakan waktu yang ada untuk melakukan usaha-usaha produktif (menghasilkan uang atau pengetahuan atau pengalaman baru) akan lebih baik, yaitu dengan mempraktikan pengetahuan atau pengalaman yang Anda peroleh dari proses pendidikan.

Ingat, masa depat Anda, Anda sendirilah yang lebih utama menentukan serta didukung oleh keluarga dan lingkungan Anda. Jika Anda seorang pelajar atau mahasiswa bertemanlah dengan orang-orang yang bisa bekersama dalam meraih kesuksesan dalam belajar. Pergaulan Anda ikut berpengaruh dalam mengarahkan sukses, baik serta buruk hidup Anda. Dan ingat, penyesalan tidak pernah terjadi di awal tetapi akan terjadi di akhir. Oleh karena itu perlu perencanaan dan perhitungan dalam melakukan sesuatu.

Kalau tujuannya bersekolah maka harus serius (sungguh-sungguh)agar mencapai hasil maksimal sehingga dukungan moral dan materiil dari orang tua tidak sia-sia dan tersia-siakan. Kalau melanjutkan sekolah harus meninggalkan kampung halaman, orang tua dan sanak suadara, kalau belum berhasil jangn pulang. Kalau setiap semesteran pulang sama saja dengan pemborosan atau tidak efisien.

Thursday, February 4, 2010

“GURU” PAHLAWAN TANPA JASA

Peribahasa “Guru adalah pahlawan tanpa jasa” untuk saat ini mungkin sudah tidak tepat dan yang lebih tepat bisa dikatakan dengan istilah “Pahlawan kesiangan”. Kenapa dikatakan demikian?. Pemahaman “tanpa jasa” tidak mendapatkan kompensasi/imbalan berupa apapun. Kalau menerima kompensasi/imbalan besar maupun kecil baik dari pemeritah ataupun dari masyarat (berupa punggutan) tidak bisa dikatakan guru melaksanakan pekerjaan mengajar/mendidik tanpa jasa. Sekarang orang mau melakukan pekerjaan sebagai guru baik lulusan pendidikan keguruan atau nonkeguruan hanyalah untuk mencari atau sebagai mata pencaharian atau hanya sebagai batu loncatan yang bersifat sementara sebelum mendapatkan job (pekerjaan) yang edial dan penghasilan yang edial. Kompensasi/balas jasa bukan hannya dalam bentuk materi tetapi juga nonmateri.

Guru adalah jabatan dan untuk melaksanakan tugas mentransfer pengetahuan dan memberikan pendidikan pada anak didik. Sebagai pendidik guru merupakan sub dari proses pendidik di dalam keluarga karena pendidikan anak 0-5 tahun ada di dalam keluarga dan setelah bersekolahpun pendidikan di dalam keluarga terus berjalan. Yang mengalami proses belajar adalah anak didik. Berhasil tidaknya hasil belajar tergantung dari anak didik juga. Jadi yang mencerdaskan anak bangsa itu bukanlah hanya usaha atau “jasa” dari seorang guru tetapi usaha dari guru, anak didik, orang tua dan lingkungan dan demikian juga dengan hasil proses didik yaitu didikan dari para guru, para orang tua dan lingkungan masyarakat.

Pada tahun tujuh puluhan kita juga mengalami proses pendidikan formal pada sekolah dasar di sebuah desa terpencil di republik ini. Di sekolah negeri guru sudah dikompensasi/balas jasa oleh pemerintah tetapi bagi guru yang berstatus honorer/swasta kompemsasi/balas jasanya dipunggut oleh pimpinan sekolah (kepala sekolah, BP3) dari orang tua anak didik. Yang pada waktu itu masih sangat sulit untuk memperoleh uang, maka kepada orang tua anak didik yang tidak bisa membayar dengan uang maka dibayar dengan beras. Demikian juga di sekolah swasta, pembayarannya bisa dengan uang atau dengan beras. Artinya pada tahun tujuhpuluhan saja pekerjaan seorang guru sudah di beri komponsasi/balas jasa, meskipun besarnya kompensasi/balas jasa yang diberikan masyarakat ya relatif kecil karena sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakatnya. Jika tidak ada maka tidak ada orang yang mau melaksanakan tugas sebagai guru. Seorang guru juga manusia yang membutuhkan makan minum dsb, oleh karena itu tidak mungkin orang mau mengabdikan dirinya jadi seorang guru jika sebagian dari kebutuhan hidupnya tidak diperhatikan melalui pemberian balas jasa karena mereka juga mempunyai tanggung jawab hidup untuk dirinya sendiri dan/atau juga dengan anak istrinya. Meskipun pekerjaan seorang guru honorer bukan merupakan pekerjaan pokok tetapi tetep meminta dihargai berupa materiil dan nonmateriil (kebedaan dan nonkebendaan). Contoh kondisi saat ini, guru negeri yang sudah di gaji dengan sistem formal untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) sudah tidak pantas lagi meminta kompesasi/balas jasa atas pelaksanaan Tupoksi tersebut, misalnya seperti, balas jasa koreksi ujian semesteran, balas jasa wali kelas, balas jasa guru piket dsb. Hal itu sudah merupakan satu kesatuan dari Tupoksi itu sendiri. Perlu digarisbawahi dari fenomena yang ada bahwa perubahan sistem tidak sertamerta perbubahan terhadap mental. Perubahan sistem untuk perubahan mental. Jika perubahan sistem tidak dapat merubah mental berarti suatu indikasi “kegagalan” dari sistem. Seperti juga dalam sistem hukum, jika hukum tidak dapat lagi menjadi alat memberi keadilan, ketenteraman, ketertiban, pemberantasan korupsi dan pungli dsb yang berarti sistem hukum gagal dalam melaksanakan tujuan yaitu Tupoksinya.

Kalau saat sekarang (hari gini!) masih ada yang orang berkata “Guru pahlawan tanpa jasa” itu sudah kadaluarsa (basi) atau pahlawan kesiangan. Apalagi kondisi saat ini kompensasi/balas jasa guru sudah sangat manusiawi serta biaya pendidikan tinggi; sekolah yang sudah dibebaskan dari uang sekolahpun masih ada pungutan-pungutan dan penyelewengan. Penggunaan BOP/BOS, masih rawan kecelakaan tersebut karena mungkin jalanya tidak baik/rusak, rambu-rambunya tidak/kurang jelas atau di buat kebut-kebutan yang bukan pada tempatnya, tidak tertib dalam berlalulitas/ugal-ugalan/serabat-serobot, atau mentalnya masih berada di luar sistem yang dibangun saat ini (mental satus quo) dsb. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis terhadap efektivitas dan efisiensi serta control penggunaan dana yang berlebal BOP/BOS dan dana khsusus sesuai dengan implementasinya di lapangan seperti apa sehingga kedepan kejadian-kejadian yang tidak/kurang baik saat yang sudah berjalan agar diperbaiki atau disempurnakan supaya baik.

GURU KENCING BERDIRI ANAK KENCING BERLARI

GURU KENCING BERDIRI ANAK KENCING BERLARI

Pepatah mengatakan “Guru kencing berdiri anak kencing berlari”, ini adalah kata-kata yang diucapkan oleh masyarakat terhadap para pendidik (guru) karena sikap dan keperibadian guru belum mencerminkan sebagai pendidik dan pengajar. Contoh, guru sering terlambat masuk kelas, guru sering tidak masuk (mangkir), guru sering hanya memberikan tugas-tugas atau mengerjakan lembaran kerja (LKS), guru tidak betah di dalam ruang kelas, hasil ulangan tidak segera dikoreksi serta dikasih tahu pada anak, guru suka mengeluarkan perkataan yang tidak pantas atau tidak mendidik seperti kata-kata: setan, ajing, monyet, goblok, tolol dsb, karena belum mampu memanag emosi, masih ada guru yang berbuat amoral terhadap anak didik.

Seorang guru seharusnya memperanankan diri sebagai contoh yang perlu dicontoh atau diteladani oleh peserta didik (seorang model). Jika keperibadian guru masih terikat atau mengikatkan diri seperti contoh di atas berarti sudah mencontohkan suatu perbuatan indisipliner (tidak disiplin), etika dalam menggunakan kata-kata tidak baik serta perbuatan amoral. Jadi ada fenomena bahwa pendisiplinan hannya berlaku untuk anak dan tidak berlaku untuk tenaga pendidik. Contoh konkritnya, anak terlambat masuk mendapatkan hukuman sementara guru terlabat tidak ada hukuman; tidak juga minta maaf kepada anak didik atas keterlambatannya. Anak tidak mengerjakan tugas tepat waktu diberi hukuman oleh guru sementara guru tidak mengoreksi atau terlambat mengoreksi serta memberikan hasil ulang harian kepada anak, guru tenang-tenang saja atau kipas-kipas saja menikmati kecurangannya.

Jika seorang guru masih berselimut dengan contoh-contoh di atas dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik yang berarti sang guru tersebut masih menyematkan pada pakaian harian pepatah “Guru kencing berdiri anak kencing berlari”.

Kedua orang tua di rumah juga adalah guru bagi anak-anaknya pada saat anak berada di rumah maka pepatah “Guru kencing berdiri anak kencing berlari” berlaku juga bagi ke dua orang tua anak. Apa yang dikatakan dan apa yang diperbuat kedua orang tua anak merupakan pendidikan bagi anak-anakannya. Anak akan mencontoh atau meniru baik perkataan maupun perbuatan kedua orang tuanya. Misalnya, kedua orang tua anak tidak rukun atau sering bertengkar, marah-marahan. Antara kedua orang tua anak sering melontarkan kata-kata yang tidak pantas untuk didengar anak seperti kata-kata : anjing, setan, goblok, monyet dsb. Menyuruh atau memerintah anak dengan suara keras atau membentak-bentak. Seorang bapak perokok berat, pemabuk, penjudi, perselingkuhan. Seorang ibu perokok berat, perselingkuhan, suka dandan berlebihan, cerewet, sukanya selalu di depan TV, suka mengrumpi dengan tetangga, dsb. Orang tua anak mentindik hidung, tindik lidah, tindik bibir, badan bertato, mengecat rambut warna-warni. Jika orang tua didik masih berselimut atau memodelkan dengan fenomena (gejala) seperti demikian itu maka jangan banyak berharap anak akan bisa hidup baik dan benar seperti yang diharapkan oleh kebanyakan orang tua. Jadilah keluarga yang aburadul dan bangsa yang amburadul (tidak karuan). Apa yang dilakukan atau diperbuat kedua orang tua anak di rumah merupakan pendidikan yang senyatanya bagi anak-anaknya.

Seorang pimpinan di tempat kerja juga adalah seorang guru bagi bawahannya atau anak buahnya maka pepatah “Guru kencing berdiri anak kencing berlari” berlaku juga bagi para pimpinan. Apa yang dikatakan dan apa yang diperbuat seorang pimpinan (manajer) merupakan pendidikan bagi bawahannya atau anak buahnya. Bawahan akan mencontoh atau meniru baik perkataan maupun perbuatan dari atasan atau pimpinnya. Misalnya, seorang pimpimnan yang suka mangkir kerja, terlambat masuk kerja, atau datang cepat pulang cepat, pekerjaan pimpinan bertumpuk tidak terselesaikan sesuai dengan prioritas waktu, sukanya marah-marah sesuatu yang tidak jelas, suka korup dan pugli. Apa yang dilakukan oleh pimpinan sedemikian itu merupakan proses pembelajaran dan pengkaderan bawahan. Pada saat bawahan atau anak buah mengambil estapet kepemiminan maka dia akan mempraktekan pula apa yang telah dilakukan oleh para seniornya terdahulu, yang kemungkinan dimodefikasi sesuai dengan pemahaman dan pengetahuan serta pengalaman dengan situasi kekinian.
Guru kencing berdiri anak kecing berlari adalah sebuah peribahasa yang tidak hanya berlaku pada para guru tetapi berlaku pula kepada para pimpinan dan orang tua anak.

RAJIN PANGKAL PANDAI

RAJIN PANGKAL PANDAI

Peribahasa “Rajin pangkal pandai” sudah popular (terkenal) di dalam masyarakat dan khususnya di dalam dunia pendidikan. Rajin pangkal pandai merupakan kata motivasi untuk anak didik yang disampakan oleh para guru yang kebanyakan dilakukan oleh guru TK dan guru SD. Dengan tujuan untuk mendorong anak didik rajin membaca serta mengerjakan tugas-tugas yang diberikan atau mengulang pelajaran di rumah yang telah disampaikan guru di sekolah. Kata rajin mengandung arti rajin membaca dan rajin berlatih atau mempraktekan dan dilakukan seseringmungkin seperti peribahasa “Lancar kaji karena di ulang”. Dengan rajin membaca atau membaca ulang akan lebih mendalam femahaman terhadap apa yang baca. Dengan pendalalam pemahaman itu maka seseorang dapat menjelaskan dengan bahasanya sendiri tentang isi yang penting atau perlu diketahui dari apa yang di baca atau pelajari. Dengan pemahaman yang lebih mendalam tersebut maka pengetahuan yang kita baca dan pelajari akan melekat di dalam memori otak manusia. Apalagi pengetahuan yang baca atau pelajari dapat dipraktekkan seperti di labotarium, di lingkungan keluarga, dan di masyarakat atau dipraktekan dalam kehidupan pribadi akan lebih melekat di dalam otak. Padai yang berati terampil atau mahir dalam menjelaskan tentang sesuatu dan terampil pula dalam mempraktekannya. Dapat dikatakan pula pandai adalah kemampuan penguasaan terhadap teori dan cara menggunakannya atau mengimplementasikannya. Contoh rajin pangkal pandai, seseorang belajar naik sepeda. Seorang anak dikasih tahu oleh orang tuanya tentang sepeda dan cara menggunakannya. Pertama-tama orang tua membelikan sepeda dengan tiga roda (atau becak). Setelah anak mampu mengendalikan dan mengayuh atau mengoes, orang tua kemudian membelikan sepeda roda dua yang mempunyai dua buah roda kecil yang mengantung di bagian belakang sebagai pengendali agar tidak jatuh. Dengan sering atau rajin berlatih si anak semakin mampu mengendalikan sepeda tanpa lagi ketergantungan dengan kedua roda kecil sebagai pengendali, kemudian kedua roda kecil itu di copot atau dilepas. Akhirnya si anak telah mampu menggunakan sepeda dengan dua roda secara baik untuk bermain maupun digunakan untuk transportasi sehari-hari untuk bersekolah.

Lancar kaji karena di ulang artinya, kalau sering-sering /berulang-ulang melakukan sesuatu yang sulit akan menjadi lebih mudah dan mudah. Lancar sama artinya dengan rajin. Lancar berarti tidak ada hambatan dan rajin juga tidak ada hambatan. Lancar dan rajin mengalir seperti air, terus-menerus atau berkesinambungan. Contoh lancar kaji karena di ulang, anak kecil menyebutkan kata minum hannya dengan kata “num”. Si anak tidak bisa menyebutkan kata minum secara lengkap. Dengan rajin atau sering orangtunya memperdengarkan dan melatih anak untuk mampu mengucapkan kata “minum” secara sempurna pada ahkirnya anak mampu juga mengucapkan kata minum secara baik dan lengkap. Demikian juga dengan pengucapan hurup “r” (er) dalam kata pergi, kerja dsb. Anak tidak lancar mengucapkan kata “er”; karena rajin menyebutkan atau menggulang-ulang maka penyebutan “er” menjadi lancar.

Peribahasa yang mengandung motivasi (dorongan) orang (anak) untuk belajar seperti yang telah disebut di atas yaitu “Rajin pangkal pandai”, “Lancar kaji karena di ulang” dan yang lainnya adalah “Ala bisa karena biasa”. Rajin dengan di ulang-ulang dalam menyebutkan atau melakukan sesesutu maka jadi lancar dalam menyebutkan atau melakukan seseuatu. Rajin untuk membiasakan menyebutkan atau melakukan sesuatu maka menjadi bisa menyebutkan atau melakukan sesuatu.
Kunci anak pintar/pandai adalah anak yang rajin belajar dan praktek atau mempraktekkan sebanyak atau sesering mungkin. Jika anak-anak Indonesia ingin jadi pandai maka harus didorong anak untuk rajin (belajar dan praktek) oleh setiap orang tua maupun lembaga atau tenaga pendidik.

Saturday, January 23, 2010

KEPEMIMPINAN GAYA KEMOCENG

KEPEMIMPINAN GAYA KEMOCENG

Anda familier (kenal akrab) dengan yang namanya “Kemoceng”?. Masih ada yang belum dan ada yang sudah mengenal yang namanya kemoceng. Bagi yang belum tahu disini kita coba meberikan gambaran tentang kemoceng itu apa. Anda pernah lihat ayam?. Yang tidak suka makan daging ayam pasti juga tahu dan mengenal ayam apalali senang makan dengan lauk ayam. Ayam binatang ternak bukan ayam jadi-jadian, karena kata ayam bisa pelebelan tertentu pula yang negatif. Ayam binatang ternak yang berbulu. Oleh pengajin bulu ayam dikumpulkan dan dibersihkan; lalu diikatkan ke sepotong rotan sehingga terbentuk membulat sedemikian rupa dengan sekumpulan bulu ayam yang indah, dengan ukuran panjang antara 30 – 40 cm. Di dalam Kamus Besar Indonesia, kemoceng adalah pembersih dari bulu ayam dsb. Dengan perkembangan kreatif manusia kemoceng/kemucing kemudian sudah ada di buat dari bahan selain dari bahan bulu ayam yaitu ada pula di buat dari plastic.

Apa sih kegunaan dari Kemoceng itu?.

Pada umumnya kemoceng biasa digunakan untuk memberihkan debu seperti di atas meja, terkandang orang suka iseng membersihkan jendela kaca rumah dari tebu juga dengan kemoceng, memberihkan tape recorder/radio, rak buku dan untuk membersihkan debu pada mobil. Yang demikian itu adalah penggunaan kemoceng yang sesungguhnya. Kemoceng juga bisa disalahgunakan orang tertentu misalnya orang tua marah sama anaknya karena membandel disuruh melakukan sesuatu tetapi jawaban si anak “entar-sebentar, entar-sebentar atau entar-sok, entar-besok”, yang akhirnya si orang tua jadi emosi dengan serta merta diambilkannya kemoceng digunakan untuk memukul anaknya. Memukul anak dengan kemoceng sambil mengeluarkan kata-kata sumpah serapah “Dasar anak bandel biar jadi ayam juga kamu”. Bisa juga digunakan untuk mengusir kucing dan yang paling mengelikan kemoceng disalahgunakan untuk mengusir ayam dari dalam rumah.

Bagaimana kepemimpinan gaya kemoceng?

Kalau di perkantoran pimpinan bekerja berhadapan dengan berbagai masalah. Karena ada masalah maka perlu ada cara penyesaian atas masalah yang ada. Tugas pimpinan untuk memecahkan berbagai permasalahan yang ada di kantornya. Biar ada kelihatan perubahan pimpinan mencoba membuat keputusan untuk suatu masalah sebagai cara penyelesaiannya. Yang sebenarnya cara yang digunakan itu tidak efektif apalagi untuk bicara efisien dalam peribahasa “Jauh panggang dari api”. Dan prinsipnya bukan mengatasi malalah atas masalah tetapi memindahkan masalah ke tempat lain yang juga masalah. Contohnya begini; Anda membersihkan menja kerja di kantor dari debu dengan menggunakan kemoceng. Debu yang Anda bersihkan dari menja Anda terbang ke meja lain di dalam kontor Anda. Yang berarti debu tidak hilang dari ruangan kerja Anda dan hanya berusaha memindahkan saja. Keharian esoknya tebu tersebut kembali lagi kemeja Anda karena tertiup angin alam atau AC. Pagi ini dibersihkan besok pagi sudah ada lagi. Repot juga yaa!.

Demikian juga pimpinan yang menggunakan pemcehan masalah dengan gaya kemoceng. Dia tidak mengatasi masalah yang dipermasalahkan tetapi hanya memidahkan dari masalah satu ke masalah baru. Jadi masalah yang lama tidak terselesiakan diciptakan masalah baru sehingga terjadi dua atau lebih masalah. Contohnya seperti masalah samapah diperkotaan. Sampah diambil dari lingkuangan keluarga oleh petugas sampah di bawa ke tempat penampungan sementara (TPS) atau sampah pasar. Kemudian sampah diangkut lagi ke tempat pembuangan akhir (TPA). Di TPS sampah mengeluarkan bau tidak sedap dan membuat pusing tujuh keliling masyarakat berdekatan dengan TPS. Lalu bau sampah tidak sedap tersebut juga membuat bau pada hidung masyarakat yang berdekatan dengan TPA dan menimbulkan protes.

Contoh lain misalnya pengadaan jalan tol dengan tujuan setiap orang pengguna bisa cepat sampai pada tujuan tetapi pembangunan jalan tol tidak serta merta tidak ada masalah seperti masalah banjir menutupi jalan tol itu sendiri bisa terjadi karena pembuangan air dari jalan tol tidak lancar. Air dari jalan tol juga bisa menengelamkan rumah warga yang ada di sekitar jalan tol tersbut. Ini artinya mengatasi satu masalah untuk menimbukan dua atau lebih masalah baru. Mengatasi masalah dengan memindahkan masalah yang sebenarnya tidak efektif. Seperti itulah kira-kira kepemimpinan dengan gaya pendekatan kemoceng dalam menyelesaikan masalah.

Masih banyak contoh-contoh lain yang ada di kantor Anda yaitu bisa di lihat dari pergantian kepemimpinan yang satu kepada kepemimpinan selanjutnya. Instilah sederhana “Bongkar-pasang dan bongkar pasang”. Artinya yang satu datang membongkar dan datang yang satunya lagi memasang dan begitu terus selanjutnya. Juga seperti masyarakat sering kontra dengan keputusan pimpinan daerah atas hasil pembangunan karena dianggap tidak menyelesaikan masalah malah membuat masalah baru.

Di sekolahan misalnya, kepala sekolah “X” berkeinginan berat/kuat biar sekolah yang dipimpin kelihatan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat maka harus memperbanyak murid dengan ruang belajar yang terbatas. Terstandarkan untuk ruang belajar maksimal di isi 40 anak didik. Karena ingin murid kelihatan banyak dan juga berharap akan memperbesar pemasukan uang, maka ruang yang terbatas tersebut dipadat-padatkan sehingga satu ruang belajar di isi dengan 50 anak didik di kendalikan oleh seorang guru. Kalau anak didiknya jenius-jenius mungkin tidak begitu bermasalah tatapi tetap bermasalah. Kalau kemampuan anak rata-rata dan di bawah rata-rata dengan 50 anak sangat repot dan melelahkan bagi seorang guru untuk mengendalikan itu sudah pasti. Dan tidak akan terlayani oleh seorang guru, oleh karena itu cara seperti ini tidak efektif dalam melakukan proses pembelajaran. Di sini keputusan kepala sekolah hanya mengejar kuantitas anak didik dan rupiah dan mengorbankan kualitas proses dan hasil didikan. Jadi satu keputusan yang diambil yaitu ingin kelihatan sekolah banyak murid yang selama ini tidak begitu kelihatan karena siswanya relatif sedikit maka menimbulkan masalah baru seperti kualitas peserta didik sudah pasti turun yang sebelumnya juga sudah turun, kelas tidak terkendali, siswa tidak cukup terlayanani dan guru stress, motivasi atau semangat guru megajar juga jadi masalah.

Seharusnya kalau ingin proses dan hasil didikan efektif maka jumlah anak didik/siswa dalam satu ruang belajar harus terbatas dan dibatasi dengan melihat rata-rata kemampuan anak/siswa, sehingga dapat terkendalikan dan terlayani oleh satu orang guru. Realita dan pengalaman, satu ruangan belajar di isi 25 anak/siswa dengan kemampuan rendah seorang guru tidak mampu mengendalikan dan melayani apalagi untuk mencapai proses dan hasil belajar yang efektif juga apalagi ingin meraih tingkat efisien “jauh di mata dekat ke tepian jurang kehancuaran”. Di sini ada dua kemungkinan masalah yaitu ada pada gurunya atau ada pada rata-rata kemampuan anak/siswa. Kalau penulis berkeyakinan permasalahannya ada pada guru yang tidak cukup mampu dalam penguasaan atau pengendalian kelas dan pengembangan metode pembelajaran yang tidak tepat dengan kondisi rata-rata kemampuan anak/siswa yang ada.