Wednesday, January 6, 2010

APAKAH AYAM LEBIH DAHULU ATAU TELOR AYAM?

Kalau orang berbicara tentang ayam, yang menjadi perdebatan munculnya pertanyaan: Apakah duluan ada pantat ayam atau telor ayam?.

Untuk menjawabnya, sangat tergantung dari mana kita memulai pembicaraan. Kalau kita bicara ayam, maka ayam akan mengahasil telor. Kalau kita memulai bicara dengan sebuah telor maka telor akan melahirkan ayam (menetas jadi ayam).

Bicara tentang pendidikan orang akan langsuh menginggatkan dirinya pada tiga ranah (aspek) yaitu: kognitif, afektif dan psikomotorik. Pertanyaan yang diperdebatkan, mana yang lebih dulu (didahulukan) dari ketiganya?.

Ingatkan diri kita kepada perkataan “Carilah ilmu itu walaupun sampai kenegeri Cina”. Carilah ilmu itu dari ayunan samapai liang kuburan”. “Orang yang berilmu akan ditinggikan drajadnya”. Demikian juga dengan perintah “Bacalah”.

Dapat kita simpulkan bahwa perintah atau anjuran untuk mencari ilmu pengetahuan sepanjang hidup kita. Bukan hanya dinegeri sendiri tetapi kenegeri manapun dipermukaan bumi maupun di luar bumi (planet luar bumi) dan orang yang berilmu pengetahuan akan lebih terpandang (tehormat) atau lebih dihargai, didengar perkataan dan pendapatnya. Dan untuk memperoleh ilmu pengetahuan orang harus mebaca.
Dari anjuran atau perintah tersebut menekankan aspek “pengetahuan” yang lebih utama dikembangkan, dan bukan sikap dan perilaku. Alasannya, pengetahuan akan melahirkan sikan dan perilaku. Bukan sebaliknya. Misalnya tentang “ korupsi dan pungli”. Korupsi dan pungli dilarang secara hukum formal atau informal (agama, adat) karena merugikan orang lain baik berupa materiil (benda, uang) ataupun nonmateriil. Bagi orang yang melakukannya akan mendapatkan sanksi atau hukuman bersifat sanski social atau hukum memaksa berupa kurungan badan dan/atau ganti rugi.

Pertanyaannya: Mengapa orang sudah tahu bahwa korupsi dan pungli itu dilarang tetapi kok tetap ada juga yang melakukannya?.

Jadi, setiap pengetahuan yang diberikan atau diperoleh belum tentu langsuh merubah sikap dan perilaku seperti untuk materi pelajaran agama ataupun PPKn. Seseorang akan akan memberikan penilaian atas pengetahuan yang diperoleh itu milihat kepada tingkat penting atau tidak, mendesak atau tidak. Kalau dianggap penting dan mendesak maka sesorang akan menggunakan pengetahuan yang diperoleh/didapat untuk merubah sikap dan perilaku. Karena bersifat mendesak dan penting (urgen) maka menimbulkan dorongan (motivasi) internal untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dinyakini (afektif) perlu dilakukan atau reaksi/aksi.

Dengan demikian pula, orang melakukan sesatu karena telah didasari olek sedikit atau banyak pengetahuan terhadap apa yang akan dikerjakannya. Mungkin menurut seseorang untuk merubah sakap dan perilaku tertentu belum begitu penting dan mendesak tetapi karena ada tekanan/desakan dari luar (eksternal) yang membuat orang untuk menyesuaikan atau melakukan perubahan sikap dan perilaku. Misalnya, siswa harus berlaku sopan dan santut serta menghormati setiap guru di sekolah. Ini kodisinya memaksa siswa untuk bersikap dan berperilaku sopan-santun dan menghormati semua guru di sekolah. Kondisi memaksa tersebut juga di dalam keluarga, dilingkungan masyarakat, dan lingkungan kerja.

Di dalam porses pendidikan sekolah mentransfer sebanyak dan sejalas-jelasnya pendidikan moral untuk mendorong perubahan sikap dan perilaku baik itu digunakan atau berguna untuk saat ini maupun mengalami penundaan, tujuannya untuk pembelakan buat siswa dalam perjalanan selanjutnya.

Simpelnya, jika kita menyuguhkan beberapa jenis makanan ringan kepada tamu kita, maka dia akan memilih mankan mana yang akan petama yang akan dimakan; kemudian baru mengambil jenis makanan lainya yang sesuai dengan selera. Atau tidak mengambil makanan sama sekali karena tidak suka, karena dalam keadaan perut kenyang (tidak mendesak). Jadi demikianlah kira-kira pengaruh kongitif terhadap afektif dan psikomotorik.

Langkah efektif untuk mengatasi korupsi, pungli, mafia hukum dan peradilan maupun mafia birokratik harus dengan tekanan eksternal berupa sanksi/humum formal; bukan lagi dengan pendekatan pendidikan/pengetahuan moral/etika; karena semuanya sudah memiliki atau memperolah pengetahuan tentang hukum atau rambu-rambu, moral/etika.

Sebenarnya sangat gampang sekali menjadi orang yang berpengetahuan (berkualitas, cedar, pinter) yaitu melakukan banyak membaca.

Ya kalau bangsa Indonesia pingin berkualitas dalam bidang pendidikan atau kepingin lulus tes apa pun bentuk dan tujunya tetapi tidak mau belajar dan membaca itu sama dengan “punguk merindukan bulan”.

No comments:

Post a Comment