Sunday, January 10, 2010

REAKSI TERHADAP UN INDIKASI POSITIF

REAKSI TERHADAP UN INDIKASI POSITIF

Reaksi beragam terhadap peyelenggaraan dan pelaksanaan UN baik perorangan, kelompok dan reaksi beberapa kepala daerah/kabupaten/kota/kecamatan, dan beberapa dinas pendidikan, organisasi profesi pendidikan serta pemilik Yayasan yang bergerak dalam pendidikan memberikan persepsi (carapandang) plus minus adalah suatu fenomena (gejala) bahwa konsep UN itu bisa mengerakkan semua unsur-unsur pendidikan di republik ini; membaut unsur-unsur pendidikan menjadi dinamis, kreatif, enovatif tidak lagi statis. Semua unsur-unsur pendidikan terjaga dari tidur panjang selama ini.

Dengan berbagai reaksi dan persepsi tentang UN pemerintah dan masyarakat jadi open (perduli) dengan kondisi pembangunan pendidikan di republik ini. Masyarakat jadi terbuka mau berbicara tentang kondisi pendidikan yang dia rasakan baik pores, hasil, dan sarana-prasana di daerah atau di sekolah tertentu tentang kekurangan dan kelebihan pembangunan pendidikan. Dengan masyarakat mau berbicara tentang kondisi penanganan pendidikan di daerahnya itu merupakan informasi sangat penting dalam membuat keputusan untuk pembuat keputusan; yang mungkin selama ini unsur-unsur pendidikan hanya melaporkan atau memberikan informasi kejenjang strukral di atasnya hanya yang baik-baik saja; laporan asal bos senang (ABS). Kalau UN tidak ada, informasi penting tentang bagaimana proses penanangan dan pelayanan pendidikan di daerah dan seperti apa yang sebenarnya tidak mengemuka. UN membangkitkan yang begong jadi sadar, yang tidur jadi terjaga, yang malas atau malas-malasan jadi rajin, yang tadinya tidak mau berpikir jadi mau berpikir, yang tadinya orang rajin membeli korek api sekarang orang sudah mau membeli korek kuping agar bisa banyak mendengar informasi untuk meningkatkan pendidikan, yang tandinya orang perasaan hatinya tertutup bersikap tidak mau tahu menajadi terbuka.

Reaksi dan persepsi orang perorang tentang UN plus minus itu hal biasa karena setiap kepala punya persepsi dalam menilai sesuatu sesuai dengan kemampuan masing-masing; tingkat pendidikan, informasi yang dimiliki, pengamatan, pemahaman, dan pengalaman.

Reaksi dan persepsi sekelompok atau yang mengatasnamakan sekompok guru memberi persepsi tentang UN plus minus dan hasil juga beragam. Karena banyak orang/kepala, banyak kelompok banyak pula hasil pemikiran. Keragaman hasil pemikiran itu bisa mengkrucut jika terarah kepada satu tujuan yang jelas. Dengan demikian semua orang atau kelompok akan menggunakan segala potensinya untuk membuat sukses pencapaian tujuan. Tujuan pendidikan adalah mencerdaskan bangsa sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Apa itu mencerdaskan?. Mencerdaskan adalah proses menjadikan cerdas. Lalau apa itu cerdas?. Cerdas adalah sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti dsb); tajam pikiran.

Seorang guru bukan kanya membuat anak didiknya cerdas. Seorang guru juga wajib untuk mencerdaskan dirinya sendiri sesuai dengan bidang ajarnya. Dalam kata lain dikenal dengan pemberdayaan diri supaya lebih berdayaguna. Karena sudah menyandang status seorang guru berarti sudah mampu mengurui diri sendiri; belajar secara mandiri maupun kelompok dengan bidang ajar yang sejenis. Sehingga kata-kata profesional yang disandang oleh guru benar-benar bisa dipertanggungjawabkan.

Persoalan peningkatan kompetensi guru bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau yayasan tetapi juga merupakan tanggung jawab dari setiap individu guru untuk secara terus-menerus meningkatkan kemampuan. Dengan apa? Ya dengan membaca!. Jadi ada fenomena bahwa banyak guru merasa puas dan merasa cukup dengan apa yang pernah diperoleh di perguruan tinggi sekian tahun yang lalu dan tidak ada keinginan untuk menambah. Sementata pengetahuan dalam bidang pendidikan/teknologi terus berkembang, jika tidak mau mengikuti maka yang terjadi keluhan dan keluhan seperti kompetensi guru tidak/belum merata dsb. Yang terlihat pengembangan pengetahuan dan keterampilan guru hanya mengandalkan dari penataran-penataran yang harusnya tidak demikian.

Katanya guru di desa kan sulit mendapatkan bahan bacaan!. Sebenarnya tidak ada yang sulit, karena di dalam kesulitan ada kemudahan. Guru di desa bisa menjalin komunikasi dengan guru yang ada di tingkat kota minta tolong untuk mengirimkan buku-buku yang dibutuhkan walaupun hanya kopian, yang penting kan isinya. Atu paling simpel, sekolah melakukan kontak dengan sekolah di kota; bisa juga dengan sebuah penerbit buku; atau kepala sekolah sering pergi ke kota kan bisa cari buku yang dibutuhkan oleh guru. Guru dan kepala sekolah sering dikirimkan untuk mengikuti penataran ke kabupaten/kota atau provinsi dan dari penataran itu biasalah dapat uang leleh atau uang saku, gunakanlah sebahagian untuk membeli buku yang penting dimilki sebagai buku pengangan atau reference tambahan untuk mengajar. Janganlah semua uang yang diperoleh penataran tersebut dibelanjakan untuk kebutuhan fisik atau makanan yang bermuara pemenuhan spiteng, belanjakan 2 atau 3 buku untuk kebutuhan otak. Kalau di kota-kota yang sudah bisa mengakses internet itu sudah merupakan sumber pembelajan yang paling lengkap karena sudah mendunia. Tinggal pelajari bahasa komunikasi antar bangsa.

Kewajiban pemerintah dalam penyediaan buku-buku bahah ajar pegangan guru dan kurikulum dsb harus disampaikan walaupun sekolah itu adanya di puncak gunung atau pun di dasar laut. Kalau di puncak gunung atau tersebar dibeberapa pulau kecil maka gunakan transportasi helkopter, kalau adanya sekolah tersebut di dasar laut maka gunakan transportasi kapal selam. Asal ada kemauan pasti ada jalan. Apakah alat transportasi tersebut perlu dan penting untuk dimiliki oleh Diknas?. Kalau memang dengan alat itu mebuat pekerjaan menjadi mudah dan efektif, kenapa berkat tidak, katakan saja iya.

Reaksi beberapa kepala daerah atau kabupaten/kota yang menilai plus minus UN itu tidak lebih dari menginggatkan diri bahwa masih perlu banyak berbuat untuk merbenah diri dan perhatian yang serius pembangunan sektor peningkatan kualitas pendidikan. Menyadari bahwa apa yang telah dilakukan selama ini masih dibawah standar. Hal ini adalah sesuatu yang positif sebagai cambuk untuk berbuat lebih banyak atau maksimal. Demikian pula reaksi beberapa dinas pendidikan pada prinsipnya sama.

Organisasi profesi pendidikan seperti PGRI, oanggotanya juga menilai plus minus UN; melakukan prokontra. Sebagai organisasi profesional PGRI dan anggotanya tentu punya persepsi dan penilaian yang baik. Mempunyai pandangan “visoner”. Sudah mempu melakukan estimasi hasil pendidikan jauh kedepan; harapan yang edialis. Bukan lagi berpikir sejauh bayangan kita. Oleh karena itu, bukan hanya mengumpulkan, memperbesar jumlah keanggotaannya tetapi juga memperbesar kualitas, mental, moral kerja dari anggotanya. Jangan hanya memperlihatkan keberadaannya pada Hari Ulang Tahun. Sebagai organisasi profesional harus berisikan program-program kerja yang jelas konkrit dalam menutupi sisi lemah dari anggotanya baik di pusat, daerah dan dipelosok desa. Mempublikasikan informasi yang penting diimformasikan melalui berbagai media keseluruh nusantara.

Karena PGRI sebagai organisasi profesi sudah mempunyai tujuan yang digariskan dalam visi dan misinya maka konsentrasi dengan pekerjaan itu biar hasilnnya memuaskan. Bisnis lumbung menguras perhatian lebih besar daripada pelaksanaan Tupoksi (visi dan misi yang telah ditetapkan). Peningkatan kesejahteraan guru yang dilikukan harus pula dilakukan peningkatan kesejahteraan kualitas, mental, moralitas kerja, sikap dan perilaku dari semua guru di nusantara ini.

Pihak Yayasan penyelengara pendidikan banyak pula yang pro dan kontra dengan UN. Karana tujuan pendidian adalah mencerdaskan anak bangsa maka mau tidak mau Yayasan pendidikan harus mampu mengikuti untuk mewujudakan tujuan pendidikan itu. Bukan hanya mengambil kesempatan untuk pengembangan Yayasan sementara lupa dengan pengembangan kompetensi dari tenaga-tenaga pendidik (SDM) yang digunakan. Disamping itu pula setiap guru berkewajiban untuk meningkatkan kopentensi diri atau memberdayakan diri agar lebih berdaya dalam melakukan aktivitas. Jadi pengembangan Yayasan dan sumber-sumber lain harus sama-sama diperkuat.

Bergerak dibidang pendidikan adalah bergerak dibidang sosial. Sebagai lembaga sosial mengefefisienkan profit untuk Yayasan memperbesar atau mengefektifkan proses dan hasil pendidikan. Bukan melakukan sangat bisnis; jika terjadi dimikian maka UN menjadi objek makian.

Di sini kita kemukakan sedikit informasi apa yang dilakukan oleh salah satu Yayasan Pendidikan di Jakarta saya berikan inisial Yayasan X. Yayasan X ini bergerak di bidang pendidikan dan cukup tua dan ternama lahir di Yogyakarta. Teman saya Ahmad mengajar disekolahan yang berada di bawah Yayasan X tersebut. Teman saya ini menceritakan bahwa UN tahun 2008 di sekolah X hanya 30 persen yang lulus; demikian juga dibawah tahun-tahun sebelumnya tidak jauh berbeda dan yang paling parah tahun 2008. Ini pukulan telak bagi Yayasan yang sudah ternama tidak mampu meningkatkan kualiatas proses dan hasil pendidikan. Mengambil hikmah dari kasus ini, pihak Yayasan mengkaji dari hasil UN dan menyimpulkan bahwa proses pendidikan tidak bagus, maka proses harus diperbaiki. Motivasi siswa dan perbaiki mental siswa diperbaiki dan motivasi guru dan perkuat mental guru. Yayasan mengeluarkan sejumlah uang untuk menatar para guru yang kompetensi kurang dicukupkan. Hasil dari segala upaya Yayasan menunjukkan hasil yang singifikan (sangat bagus) yang ditunjukkan hasil UN 2009 lulus 70 persen. Jadi ada peningkatan hasil proses yaitu kenaikan peresentase kelulusan sebesar 300 persen.

Informasi di atas bukan fiksi (rekaan/khayalan), itu kenyataan. Apa yang bisa kita ambil sebagai pembelajaran dari Yayasan X tersebut untuk membenahi kualitas proses di Yayasan pendidikan bapak/ibu di nusantara ini.

Yang perlu digarisbawahi dari persepsi (cara pandang) UN menunjukkan bahwa program UN mampu mengerakkan semua unsur pendidikan dan membangkitkan perhatian semua pihak. Dengan demikian akan ada upaya-upaya untuk melakukan yang terbaik (usaha maksimal) untuk kedepan.

No comments:

Post a Comment