STANDAR SEKOLAH MINIMAL DAN MINIMUM
Masalah pembangunan pendidikan sama halnya dengan permasalahan program penyelesaian/pengentasan kemiskinan; pengangguran; indonesia sehat; penyelesaikan pembangunan sarana-prasarana umum dsb.
Masalah kemiskinan selama umur dunia ini tidak akan pernah terselesaikan atau tertuntaskan. Kalau di Indonesia bisa kategorikan kemiskinan misalnya tingkat bawah dan sedang. Sangat tidak mungkin menghapus tingkat bawah dan hanya bisa menggurangi sampai tingkat sekecil mungkin. Negara mana pun di dunia ini tidak ada yang bisa menyelesaikan/pengentasan kemiskinan walaupun dengan menggunakan indikator yang berbeda. Kalau Indonesia miskin pada tingkat sedang, mungkin di negara telah maju tingkat sedang itu dikategorikan sebagai miskin tingkat bawah.
Yang perlu kita garisbawahi kemiskinan pada tingkat bawah selalu ada, dan hanya bisa diperkecil sekecilmungkin. Tetapi yang nama program pemerintah dalam hal penyelesaian/pengentasan kemiskinan sepanjang Indonesia masih adan dan itu akan tetap ada.
Untuk mengatakan negara Indonesia tergolong cukup sejahtera, karena secara umum atau mayoritas atau lebih besar yaitu pendapatan rakyat Indonesia menunjukkan kecenderungan sudah masuk kategori/golongan sedang dan cukup sejahtera. Tetapi tetap ada yang namanya miskin tingak bawah; jumlah bisa membesar dan juga bisa mengecil tergantung situasi dan kebijakan dalam bidang ekonomi yang dijalankan oleh pemerintahan yang berkuasa. Pertanyaannya: Apakah kita menunggu masyarakat/rakyat miskin tingkat bawah tersebut mencapai posisi tingkat sedang dan cukup baru kita mengatakan bahwa negara kita sudah berada pada posisi cukup sejahtera?. Kalau kita mengunggu, maka selama umur dunia ini kita tidak pernah mengatakan kita adalah banga yang cukup sejahtera.Demikian pula kalau membicarakan masalah: pengangguran; Indonesia sehat; penyelesaikan pembangunan sarana prasana umum.
Demikian pula permasalahan pembangunan pendidikan misalnya penstandaran kualitas sarara dan prasana dsb. Misalnya sepuluh ribu sekolah tahun “X” tersetandarkan dengan kualitas minimal berati pula masih ada kualitas pendidikan dibawah minimal yaitu minimum. Kalau secara umum kualitas sarana dan prasarana dsb dari pembangunan pendidikan menunjukkan secara umum atau lebih besar sudah berada di posisi minimal; apakah salah, bila kita mengatakan bahwa kualitas pendidikan kita pada posisi standar minimal?. Apakah kita menunggu yang di bawah minimal (yaitu minimum) semuanya harus sudah berada pada posisi standar kualitas minimal baru kita katakana bahwa kualitas pendidikan kita sudah berada pada posisi minimal secara umum?. Sampai kapan itu bisa terjadi?, sampai kiamat Indonesia tidak akan pernah terjadi. Sekali lagi kita tegaskan dalam pendidikan tetap ada di bawah standar minimal dan itu yang diperdebatkan, dan kayaknya kita kekurangan bahan yang perlu diperdebatkan. Perdebatan masalah ini seperti perlombaan tarik tambang pada acara HUT RI tujuhbelasan saja. Yang dicari sekarang bukan lagi permasalahannya karena permasalahannya sudah mengunung tetapi penyelesaian permasalahan tersebut yang harus dicari serta disediakan yang bergunung-gunung.
Yang namanya sekolah formal (negeri dan swasta) didirikan harus bisa memenuhi stantar kuliatas sarana dan prasarana dsb ya yang minimal. Kalau ada di bawah standar minimal itu bukan sekolah formal tetapi sekolah nonformal sudah namanya; sebagai bukti selesai mengikuti proses pendidikan bukan ijazah tetapi sertifikat. Seharusnya pendirian sekolah swasta dapat memperoleh izin oprasional kalau sudah memenuhi standar minimal baik sarana dan prasarana dsb. Yang ada sekarang pun jika tidak memenuhi standar minimal maka harus diberikan status yang jelas dan diperjelas. Terkadang terlalu depat mengambil kesimpulan seperti perkataan “Wah, itu gampang diatur nati”. Hasilnya bisa menjadi tidak teratur karena tidak berdasarkan aturan.
Demikian pula halnya dengan penentuan standar kualitas kelulusan ujian nasional. Kalau sudah menggunakan standar minimal kelulusan, sudah pasti ada hasilnya di bawah standar minimal. Sebagaimana status ekomomi penduduk suatu bangsa pada umumnya ada miskin, sendang, dan kaya. Apakah ada penduduk dari suatu bangsa di muka bumi ini tidak ada yang miskin?. Kalau ada, itu mungkin suatu bangsa khayalan.
Sedemikian juga setiap anak anak didik atau siswa dan mahasiswa, begitu masuk sekolah berarti dia sudah manarok masalah dipundaknya. Bersekolah itu adalah masalah, kalau sesorang memutuskan untuk sekolah berati orang tersebut sudah siap dengan masalah dan menghadapi masalah apa pun yang terjadi. Sebaliknya jika tidak ingin berhadapan dengan masalah pendidikan ya sebaiknya tidak sekolah. Yang perlu menjadi bahan renungan adalah, bersekolah itu untuk siapa siiih?. Untuk tetangga, pacar, atau calon mertua?. Atau untuk diri sendiri?.
Setiap orang tua peserta didik begitu anak masuk sekolah berarti pula bahwa sudah menambah beban permasalahan dipundak dan yang harus dipikul; harus dibuat pikulannya. Atau kalau tidak mau memikul masalah dipundak takut nanti pundak lecet dan badan jadi cepat bongkok ya tidak usah cari masalah dan tidak usah memikirkan bagaimana membuat pikulan yang lentur dan enak kalau di bawa berjalan.
Alternatif solusinya adalah sbb:
Kualitas pendidikan baik dari kualitas sarana dan prasarana dsb, masih di bawah standar kalau memungkinkan dikerek supaya berada pada posisi standar minimal; yang tidak bisa maka diberikan status sekolah nonformal dengan perolehan sertifikat sebagai tanda tamat proses pendidikan dan tidak untuk melanjutkan, memang cecara ekonomi tidak mungkin untuk melanjutkan kejenjang yang lebih lanjut. Atau secara wilayah atau geografi/penduduknya masih sangat belum memungkinkan adanya sekolah formal. Kalau yang sudah memperoleh standar minimal harus meningkatkan lagi jangan selamanya minimal itu sama saja pengelolanya yang mati.
Tujuan dari pendidikan nonformal ini adalah dalam rangka pemberantasan buta angka/aksara sebagai dasar bersosialisasi atau interaksi sosial. Yang mungkin sekolahnya berada di puncak gunung sana atau di dasar lautan sana yang tidak kelihata di dalam peta. Karena sekolah nonformal, tidak harus melakukan proses belajar di dalam kelas sekolah, bisa dilakukan di rumah-rumah, di masjid/mushola, di gereja dsb; dengan nama kelompok belajar atau apa lah namanya dan yang terpenting adalah tujunannya.
Khsususnya sekolah di kota-kota aneh kalau mendapatkan nilai akreditasi dengan nilai B apalagi C dari periode ke periode penilaian yang berarti itu sekolah salah urus karena yang mengurus (mengelola) tidak cukup kompetensi untuk mengurus. Dari pergantian kepala sekolah ke kepala sekolah selanjutnya terus seperti itu dan oleh karena itu sangat tidak rasional. Kasarnya misalnya begini; sekolah yang sudah berdiri dari zaman Hidia Belanda sampai zaman sekarang ini tetap mengantongi nilai akrediatsi B. Ya minimal harus mendapatkan nilai akreditasi A “kempis” kalau tidak bisa A “penuh”. Dan tidak selamanya juga bertahan dengan A “kempis”. Itu sama halnya dengan peribahasa “Hidup segan mati pun tidak mau”. Solusi untuk yang demikian itu lebih baik datangkan mesin perata tanah. Jadi harus ada usaha yang sungguh-sungguh dalam memajukan pengelolaan sekolah. Permasalahan itu terjadi karena kesalahan sistem rekrutmen dan seleksi balon (bakal calon) kepada sekolah.
Pernah beberapakali mendengar perkataan kepala sekolah/madrasah : “Manjemen dan administrasi sekolah kita belum bagus atau “jelek””. Tetapi tidak pernah ada kelihatan peningkatan kompetensi diri dari kepala sekolah yang bersangkutan untuk lebih mampu atau berdaya guna melapaskan ketidakberdayaannya. Apalagi sekolah negeri di DKI Jakarta misalnya akreditasinya B lebih baik digembok saja dan jadikan jadi sarana olah raga masyarakat atau taman kota atau danau situ (tampungan air) yang lebih bermanfaat dan efektif dalam menaggulagi bajir.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment