SESAL KEMUDIAN TIDAK ADA GUNANYA
Peribahasa “Sesal kemudian tidak ada gunanya” sangat penting untuk pikirkan dan direnungkan karena merupakan warning (peringatan) bagi setiap orang. Menginggatkan kita semua bahwa sebelum melakukan satu atau lebih tindakan agar benar-benar dipikirkan. Atas sebuah keputusan dalam melakukan satu tindakan atau pekerjaan harus di pikirkan atau dianalisis untung, rungi dan risikonya. Hal ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi kerugian dan risiko sedinimungkin sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan. Dengan mengantisipasi kerugian dan risiko atau dampak dari sebuah tindakan berarti sudah mengenali atau teridentifikasi besar, sedang dan kecil keuntungan, kerugian dan risiko dari satu tindakan yang dilakukan. Dengan demikian sudah dapat memberikan gambaran bagaimana penanganan lebih lanjut dari keuntungan, kerugikan dan risiko atas sebuah tindakan. Dengan mengenali atau teridentifikasi untung, rugi dan risiko dari sebuah tindakan maka secara mental kita sudah siap menghadapinnya baik itu tindakan yang kita lakukan tersebut bermasalah atau dipermasalahkan di kemudian hari baik itu dalam skala (ukuran) besar dan kecilnya. Dengan melakukan cara demikian itu akan tidak ada muncul sebuah penyesalan dikemudian hari karena dalam melakukan satu tindakan dilakukan secara sadar, telah dipikirkan dan direncanakan terlebih dahulu. Oleh karena itu setiap pelajar, pekerja dan masyarakat yang bukan pelajar dan pekerja harus melakukan berpikir atau dipikirkan sebelum melakukan satu atau lebih tindakan/pekerjaan sebelum membuat keputusan. Misalnya keputusan dalam memilih sekolah; jurusan dan program studi. Keputusan untuk melakukan angkat kredit pembelian rumah, mobil, sepeda motor. Keputusan untuk menikah resmi di bawah undang-undang, keputusan melakukan kawin kontrak, keputusan untuk melakukan kawin siri, keputusan melakukan poligami dengan izin atau “poliandri”, keputusan untuk beselingkuh. Keputusan untuk melakukan pembelian pakaian. Keputusan untuk melakukan korup atau pungli dan/atau memperkaya orang lain. Keputusan melakukan pilihan partai dan keputusan pilihan perwakilan dan pimpinan daerah dan pimpinan negara. Keputusan dalam melakukan pilihan kerja atau karier bekerja dsb, sesuai dengan aktitivitas apa yang kita pikirkan dan yang ingin kita lakukan.
Tuesday, February 16, 2010
Monday, February 15, 2010
AGAMA HARUS MAMPU MENJAWAB EKONOMI
AGAMA HARUS MAMPU MENJAWAB EKONOMI
Kedepan agama semakin kurang laku untuk membentuk perilaku manusia. Agama menjadi nomor sekian sedangkan ekonomi menjadi nomor satu dan yang berikutnya adalah penegakan hukum dalam pembentukan perilaku. Banyak dari masyarakat kita yang menjadi terombang-ambing kenyakinannya (agamanya) hannya karena faktor ketidakberdayan ekonomi yang turunannya adalah kemiskinan, pengangguran, pencurian, penodongan, pencopetan, perampokan, penipuan, kurang gizi dan penyakitan, tidak mampu memperoleh pendidikan serta mendorong pula bertindak kurup dan pungli. Selama ketidakberdayaan tersebut belum terpenuhi iman seseorang bisa mental seketika dari setiap diri orang. Sebagaimana juga budaya malu. Rasa malu dan pelanggaran hukum, pelanggaran norma yang berlaku serta agama bisa hilang karena perut lapar, seseorang harus mencuri atau jadi pengemis dsb. Berbeda halnya dengan apartur pemerintah serta lembaga tinggi/tertinggi negara baik perorangan maupun kelompok melakukan tindakan tercela seperti korup atau tindakan memperkaya orang lain dengan cara-cara ilegal bukan karena ketidakberdayaan ekonomi dari orang/kelompok tersebut tetapi karena kepentingan politik, kelompok dan pribadi oleh karena itu tindakan yang dilakukan dapat dikatan tindakan amoral serta pelanggaran hukum. Yang demikian banyak terdapat di negara-negara miskin, negara berkembang (seperti Indonesia) dan bahkan di negara yang telah maju pun bisa terjadi.
Keresahan terhadap perpindahan agama atau kenyakinan adalah kekawatiran kurang rasional. Kurang rasional karena hanya bisa memberikan komentar-komentar serta ajakan atau seruan untuk berdoa dengan mengambil tema zikir ini dan itu sebagai manifestasi pedekatan diri kepada sang pencipta sebagai terapi kekecewaan atau keputusasaan bersifat sementara seperti pada proses ceramah atau zikir berlangsung, begitu proses tersebut bubaran mulai lagi bececamuk hati dan pikiran fokus pada masalah ekonomi. Dimana proses tersebut tanpa ada upaya yang jelas dan konkrit solusi bagaimana konsep, teori dan praktik konkrit pemberdayaan ekonomi umat dalam perspektif agama sehingga lebih mampu berusaha dan bekerja demi untuk melapaskan diri dari kesakitan ekonomi umat. Kesakitan ekonomi, orang akan mencari dan mencari jalan lain yang mungkin sedikit atau banyak sudah keluar dari koridor arau rel agama yang dinyakininya selama ini atau dalam kata yang lebih tajam mengikuti aliran sesat. Dan oleh karena itu pula penjual aliran sesat saat ini dan sangat mungkin kedepan menjadi pilihan alternatif tetapi cukup laris. Kesakitan ekonomi, orang mencari kesembuhan penyakit tertentu yang bersifat medis mencari atau meminta kesembuhan kepada dukun, paranormal, kepada benda cair maupun benda padat serta tumbuhan yang ada sebagai fenomena alam daripada menggunakan jasa dokter. Dalam hal ini apa konsep serta pemikiran agama tentang pemberdayaan ekonomi umat baik itu pada level tinggi, menengah dan bawah. Terutamanya level bawah yang mendominasi pada negara miskin dan negara berkembang. Masalah ketidakberdayaan ekonomi (kesakitan ekonomi) baik berupa gejala, positif atau akut semestinya agama bisa menafsirkan memberikan jawaban seperti apa konsep, teori serta praktik yang lebih simpel dan konkrit. Karena agama bisa menjawab kesakitan ekonomi umat tersebut maka semakin merekat seseorang dengan agama tertentu. Agama tidak hanya berkutit lebih banyak tentang keTuhanan dan moralitas tetapi harus lebih banyak pula dalam pemberdayaan ekonomi umat.
Penegakan hukum tidak bisa efektif jika kebutuhan dasar hidup tidak tercukupi oleh karena itu terjadi pelanggaran hukum dan norma-norma berlaku serta agama. Contoh, larangan bagi pengemis jalanan di kota-kota dan pedagang asongan di jalanan. Peraturan perundang-undangan melarang melakukan tindakan korup, pungli, mencuri, merampok, menipu dsb. Sangat disayangkan, semakin banyak lembaga hukum serta peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelarangan semakin tumbuh subur pembangkangannya. Yang sangat meperihatinkan kita semua semakin dilakukan perbaikan berdemokrasi dan desentralisasi semakin banyak pelaku korup. Ini mengindikasikan kekurangberdayaan atau efektifitas moralitas sebagai support dari agama. Agama hanya dijadikan suatu alat keperibadian yang menvisualisaikan keobjektifan yang sesesungguhnya dalam kebenaran dan kejuran yang senyatanya tidak demikian. Jadi keperibadian dengan membungkus dengan agama terkadang bisa hanya sebagai kedok/topeng belaka. Karena masih kurang efektifnya agama sebagai control terhadap sikap dan perilaku maka pendekatan penegakan hukum dan ekonomi harus lebih dikedepankan.
Tidak ada ketenangan melakukan seperti ibadah berdoa/salat/zikir jika sesoerang dalam keadaan lapar dan haus serta berpenyakitan. Berdoa tidak bisa membuat perut kenyang serta tidak bisa menghilangkan rasa haus dan justeru bisa terjadi sebaliknya dengan banyak orang berdoa akan banyak terpakai energinya sehingga timbul rasa lapar dan haus. Tubuh orang sudah tidak memungkinkan lagi di tutup dengan daun-daunan atau dari kulit kayu serta tidak mungkin lagi orang tinggal di goa-goa karena tanah serta hutan sudah di petakan jadi hutan lindung dan hutan industry oleh karena itu tidak memungkinkan lagi orang tinggal di goa. Mau tidak mau orang harus hidup di alam serta masyarakat kemajuan dengan meninggalkan alam serta masyarakat belum maju.
Perilaku manusia akan lebih mudah diarahkan jika secara ekonomi masyarakat sudah dapat memperoleh serta memenuhi kebutuhan dasar hidupnya seperti: makan dan minum, sandang, rumah dan pendidikan dan kesehatan yang terjangkau. Dengan perut terisi makanan dan minuman, punya pakaian layak untuk dipakai, tinggal di rumah yang layak ditinggali, dengan demikian itu seseorang akan punya ketetapan hati pada keyakinan (agamanya). Dengan berpendidikan, masyarakat akan bisa berpikir rasional dan akan meningalkan cara irasional. Dengan biaya kesehatan gratis atau terjangkau maka semangat serta harapan hidup masyarakat akan terbangun dan akan mempercepat proses kesembuhan. Jadi selama masyarakat yang ekonominnya morat-marit maka maka agamanyapun akan morat-marit. Secara ekonomi mengalami proses perbaikan terus menerus akan mengalami proses perbaikan keTuhanan dan moralitas.
Kedepan agama semakin kurang laku untuk membentuk perilaku manusia. Agama menjadi nomor sekian sedangkan ekonomi menjadi nomor satu dan yang berikutnya adalah penegakan hukum dalam pembentukan perilaku. Banyak dari masyarakat kita yang menjadi terombang-ambing kenyakinannya (agamanya) hannya karena faktor ketidakberdayan ekonomi yang turunannya adalah kemiskinan, pengangguran, pencurian, penodongan, pencopetan, perampokan, penipuan, kurang gizi dan penyakitan, tidak mampu memperoleh pendidikan serta mendorong pula bertindak kurup dan pungli. Selama ketidakberdayaan tersebut belum terpenuhi iman seseorang bisa mental seketika dari setiap diri orang. Sebagaimana juga budaya malu. Rasa malu dan pelanggaran hukum, pelanggaran norma yang berlaku serta agama bisa hilang karena perut lapar, seseorang harus mencuri atau jadi pengemis dsb. Berbeda halnya dengan apartur pemerintah serta lembaga tinggi/tertinggi negara baik perorangan maupun kelompok melakukan tindakan tercela seperti korup atau tindakan memperkaya orang lain dengan cara-cara ilegal bukan karena ketidakberdayaan ekonomi dari orang/kelompok tersebut tetapi karena kepentingan politik, kelompok dan pribadi oleh karena itu tindakan yang dilakukan dapat dikatan tindakan amoral serta pelanggaran hukum. Yang demikian banyak terdapat di negara-negara miskin, negara berkembang (seperti Indonesia) dan bahkan di negara yang telah maju pun bisa terjadi.
Keresahan terhadap perpindahan agama atau kenyakinan adalah kekawatiran kurang rasional. Kurang rasional karena hanya bisa memberikan komentar-komentar serta ajakan atau seruan untuk berdoa dengan mengambil tema zikir ini dan itu sebagai manifestasi pedekatan diri kepada sang pencipta sebagai terapi kekecewaan atau keputusasaan bersifat sementara seperti pada proses ceramah atau zikir berlangsung, begitu proses tersebut bubaran mulai lagi bececamuk hati dan pikiran fokus pada masalah ekonomi. Dimana proses tersebut tanpa ada upaya yang jelas dan konkrit solusi bagaimana konsep, teori dan praktik konkrit pemberdayaan ekonomi umat dalam perspektif agama sehingga lebih mampu berusaha dan bekerja demi untuk melapaskan diri dari kesakitan ekonomi umat. Kesakitan ekonomi, orang akan mencari dan mencari jalan lain yang mungkin sedikit atau banyak sudah keluar dari koridor arau rel agama yang dinyakininya selama ini atau dalam kata yang lebih tajam mengikuti aliran sesat. Dan oleh karena itu pula penjual aliran sesat saat ini dan sangat mungkin kedepan menjadi pilihan alternatif tetapi cukup laris. Kesakitan ekonomi, orang mencari kesembuhan penyakit tertentu yang bersifat medis mencari atau meminta kesembuhan kepada dukun, paranormal, kepada benda cair maupun benda padat serta tumbuhan yang ada sebagai fenomena alam daripada menggunakan jasa dokter. Dalam hal ini apa konsep serta pemikiran agama tentang pemberdayaan ekonomi umat baik itu pada level tinggi, menengah dan bawah. Terutamanya level bawah yang mendominasi pada negara miskin dan negara berkembang. Masalah ketidakberdayaan ekonomi (kesakitan ekonomi) baik berupa gejala, positif atau akut semestinya agama bisa menafsirkan memberikan jawaban seperti apa konsep, teori serta praktik yang lebih simpel dan konkrit. Karena agama bisa menjawab kesakitan ekonomi umat tersebut maka semakin merekat seseorang dengan agama tertentu. Agama tidak hanya berkutit lebih banyak tentang keTuhanan dan moralitas tetapi harus lebih banyak pula dalam pemberdayaan ekonomi umat.
Penegakan hukum tidak bisa efektif jika kebutuhan dasar hidup tidak tercukupi oleh karena itu terjadi pelanggaran hukum dan norma-norma berlaku serta agama. Contoh, larangan bagi pengemis jalanan di kota-kota dan pedagang asongan di jalanan. Peraturan perundang-undangan melarang melakukan tindakan korup, pungli, mencuri, merampok, menipu dsb. Sangat disayangkan, semakin banyak lembaga hukum serta peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelarangan semakin tumbuh subur pembangkangannya. Yang sangat meperihatinkan kita semua semakin dilakukan perbaikan berdemokrasi dan desentralisasi semakin banyak pelaku korup. Ini mengindikasikan kekurangberdayaan atau efektifitas moralitas sebagai support dari agama. Agama hanya dijadikan suatu alat keperibadian yang menvisualisaikan keobjektifan yang sesesungguhnya dalam kebenaran dan kejuran yang senyatanya tidak demikian. Jadi keperibadian dengan membungkus dengan agama terkadang bisa hanya sebagai kedok/topeng belaka. Karena masih kurang efektifnya agama sebagai control terhadap sikap dan perilaku maka pendekatan penegakan hukum dan ekonomi harus lebih dikedepankan.
Tidak ada ketenangan melakukan seperti ibadah berdoa/salat/zikir jika sesoerang dalam keadaan lapar dan haus serta berpenyakitan. Berdoa tidak bisa membuat perut kenyang serta tidak bisa menghilangkan rasa haus dan justeru bisa terjadi sebaliknya dengan banyak orang berdoa akan banyak terpakai energinya sehingga timbul rasa lapar dan haus. Tubuh orang sudah tidak memungkinkan lagi di tutup dengan daun-daunan atau dari kulit kayu serta tidak mungkin lagi orang tinggal di goa-goa karena tanah serta hutan sudah di petakan jadi hutan lindung dan hutan industry oleh karena itu tidak memungkinkan lagi orang tinggal di goa. Mau tidak mau orang harus hidup di alam serta masyarakat kemajuan dengan meninggalkan alam serta masyarakat belum maju.
Perilaku manusia akan lebih mudah diarahkan jika secara ekonomi masyarakat sudah dapat memperoleh serta memenuhi kebutuhan dasar hidupnya seperti: makan dan minum, sandang, rumah dan pendidikan dan kesehatan yang terjangkau. Dengan perut terisi makanan dan minuman, punya pakaian layak untuk dipakai, tinggal di rumah yang layak ditinggali, dengan demikian itu seseorang akan punya ketetapan hati pada keyakinan (agamanya). Dengan berpendidikan, masyarakat akan bisa berpikir rasional dan akan meningalkan cara irasional. Dengan biaya kesehatan gratis atau terjangkau maka semangat serta harapan hidup masyarakat akan terbangun dan akan mempercepat proses kesembuhan. Jadi selama masyarakat yang ekonominnya morat-marit maka maka agamanyapun akan morat-marit. Secara ekonomi mengalami proses perbaikan terus menerus akan mengalami proses perbaikan keTuhanan dan moralitas.
Tuesday, February 9, 2010
PILIHAN SEKOLAH UNTUK MELANJUTKAN
PILIHAN SEKOLAH UNTUK MELANJUTKAN
Sebelum mengambil keputusan untuk melanjutkan sekolah baik dari lulusan SMP/MTs atau yang sederajat; dari tamatan SMA/SMK /MA atau yang sederajat perlu mempertimbangkan beberapa faktor sbb:
1.Kenali bakat anda
2.Kemampuan otak
3.Kemampuan keuangan
4.Efektif
5.Efisien
6.Produktif
Anda harus mengenali bakat Anda karena bakat merupakan potensi (kekuatan) atau merupakan modal awal dalam menuju sukses terhadap pilihan Anda dalam mengikuti proses pendidikan. Bukan ikut-ikutan atau terpengaruh ajakan teman-teman atau arahan orang tua sendiri sekalipun. Jika Anda merasa kebingungan dalam menetukan kecenderungan bakat Anda harus membaca buku yang berkaitan dengan bakat atau membicarakan, menkonsultasikan kepada orang yang pintar. Jika Anda mempunyai bakat lebih dari satu maka Anda harus menentukan pilihan yang tepat dari sekian banyak bakat Anda. Caranya yaitu dengan menganalisa serta membuat urutan pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika ada tiga pilihan maka Anda harus melilih satu dari antara tiga tersebut. Jika Anda tidak punya bakat bersekolah sebaiknya tidak besekolah dan sebaiknya Anda bekerja yang menghasilkan uang atau barang.
Kemampuan otak atau kecerdasan Anda akan menentukan kesuksesan Anda dalam mengikuti proses pendidikan lebih lanjut jika Anda berkeinginan untuk melanjutkan sekolah sampai jenjang pendidikan yang Anda harapkan atau cita-citakan. Jika kecerdasan Anda rata-rata jangan mengambil pilihan sekolah atau program studi yang membutuhkan kemampuan di atas rata-rata. Jika kemampuan otak Anda tidak bisa diadalkan untuk bersekolah maka buatlah pekerjaan yang menghasilkan uang atau barang untuk membiayai atau melengkapi kebutuhan hidup Anda serta melepaskan diri dari keterangtungan hidup dari orang tua.
Kemampuan keuangan atau dukungan orang tua terhadap penyelesaian pendidikan Anda. Jika kemampuan keuangan orang tua Anda terbatas maka Anda harus membatasi harapan Anda dalam memperoleh tingkatan pendidikan. Jangan memaksakan diri jika dukungan keuangan tidak cukup sehingga hasil yang Anda peroleh adalah kegagalan yang berakibat pada prustrasi atau setress atau defresi mental. Apabila itu terjadi akan sangat merugikan diri Anda sendiri dan keluarga. Jika kemampuan keuangan orang tua cukup terbatas maka sebaiknya Anda memilih sekolah yang mempersiapkan Anda untuk bisa bekerja pada sektor swasta dan berwirausaha (usaha mandiri). Misalnya, lulusan SMP/MTs melanjtukan ke SMK; kalau dari lulusan SMA/MA melanjutkan ke Deploma atau pendidikan profesional program D1, D2, D3. Tujuannya adalah untuk mengantisifasi Anda tidak menjadi anak bangsa yang pengangguran karena selain Anda bisa bekerja di sektor swasta serta mampu menciptakan pekerjaan sendiri. Jika Anda tidak puas lulusan SMK atau program D1, D2, D3 Anda dapat melanjtukan belajar kembali sambil bekerja.
Efektif dalam arti Anda dapat menyelesaikan pendidikan tepat waktu dengan kemampuan otak serta dukungan atau kemampuan keuangan dan usaha maksimal dengan hasil dari proses pendidikan memperoleh sangat memuaskan.
Efisien dalam arti memperhitungkan atau melakukan perhitungan dalam menggunakan waktu untuk belajar serta penggunaan dana/uang sebaik mungkin; tidak membuang-buang waktu atau uang untuk hal hal yang tidak atau kurang penting.
Selama ini sudah banyak kejadian yang merugikan orang tua dan anak didik/siswa ataupun masiswa. Anak sekolah diarahkan oleh orang tua harus melanjutkan sesuai dengan keinginan orang tua yang berakhir pada kegagalan dan sekailgus kehancuran bagi kedua belah pihak tersebut. Seperti, anak kabur dari pesantren karena anak tidak mau sekolah di pondok pesantren. Siswa tidak masuk sekolah padahal dari rumah berangkat kesekolah karena anak tidak mau sekolah di mandrasah. Sebaliknya ada anak yang maunya sekolah di pondok pesantren tetapi orangtuanya tidak restu akhirnya gagal juga. Seorang mahasiswa harus jadi orang gila karena tidak mampu menyelesaikan proses pendidikan di perguruan tinggi. Seorang mahasiswa harus jadi orang gila karena tidak bisa menyelesaikan sekolahnya karena ketidakmampuan pembiayaan dari orang tua. Mahasiswi harus melakukan tindakan amoral karena ketidakmampuan orang tua dalam membiayi anak bersekolah dsb. Jadi yang yang perlu digarisbawahi, yang sekolah adalah anak maka biarlah anak yang memlilih mau sekolah yang mana. Peran orang tua hannya sebatas memberikan pandangan khsusnya bagi anak se usia SD, SMP atau SMA yang keperibadiannya bulum menunjukkan kedewasaan. Disisi lain dukungan keuangan harus menjadi pertimbangan dalam melanjutkan sekolah.
Jika Anda berstatus sebagai pelajar ataupun sebagai mahasiswa dapat menggunakan waktu yang ada untuk melakukan usaha-usaha produktif (menghasilkan uang atau pengetahuan atau pengalaman baru) akan lebih baik, yaitu dengan mempraktikan pengetahuan atau pengalaman yang Anda peroleh dari proses pendidikan.
Ingat, masa depat Anda, Anda sendirilah yang lebih utama menentukan serta didukung oleh keluarga dan lingkungan Anda. Jika Anda seorang pelajar atau mahasiswa bertemanlah dengan orang-orang yang bisa bekersama dalam meraih kesuksesan dalam belajar. Pergaulan Anda ikut berpengaruh dalam mengarahkan sukses, baik serta buruk hidup Anda. Dan ingat, penyesalan tidak pernah terjadi di awal tetapi akan terjadi di akhir. Oleh karena itu perlu perencanaan dan perhitungan dalam melakukan sesuatu.
Kalau tujuannya bersekolah maka harus serius (sungguh-sungguh)agar mencapai hasil maksimal sehingga dukungan moral dan materiil dari orang tua tidak sia-sia dan tersia-siakan. Kalau melanjutkan sekolah harus meninggalkan kampung halaman, orang tua dan sanak suadara, kalau belum berhasil jangn pulang. Kalau setiap semesteran pulang sama saja dengan pemborosan atau tidak efisien.
Sebelum mengambil keputusan untuk melanjutkan sekolah baik dari lulusan SMP/MTs atau yang sederajat; dari tamatan SMA/SMK /MA atau yang sederajat perlu mempertimbangkan beberapa faktor sbb:
1.Kenali bakat anda
2.Kemampuan otak
3.Kemampuan keuangan
4.Efektif
5.Efisien
6.Produktif
Anda harus mengenali bakat Anda karena bakat merupakan potensi (kekuatan) atau merupakan modal awal dalam menuju sukses terhadap pilihan Anda dalam mengikuti proses pendidikan. Bukan ikut-ikutan atau terpengaruh ajakan teman-teman atau arahan orang tua sendiri sekalipun. Jika Anda merasa kebingungan dalam menetukan kecenderungan bakat Anda harus membaca buku yang berkaitan dengan bakat atau membicarakan, menkonsultasikan kepada orang yang pintar. Jika Anda mempunyai bakat lebih dari satu maka Anda harus menentukan pilihan yang tepat dari sekian banyak bakat Anda. Caranya yaitu dengan menganalisa serta membuat urutan pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika ada tiga pilihan maka Anda harus melilih satu dari antara tiga tersebut. Jika Anda tidak punya bakat bersekolah sebaiknya tidak besekolah dan sebaiknya Anda bekerja yang menghasilkan uang atau barang.
Kemampuan otak atau kecerdasan Anda akan menentukan kesuksesan Anda dalam mengikuti proses pendidikan lebih lanjut jika Anda berkeinginan untuk melanjutkan sekolah sampai jenjang pendidikan yang Anda harapkan atau cita-citakan. Jika kecerdasan Anda rata-rata jangan mengambil pilihan sekolah atau program studi yang membutuhkan kemampuan di atas rata-rata. Jika kemampuan otak Anda tidak bisa diadalkan untuk bersekolah maka buatlah pekerjaan yang menghasilkan uang atau barang untuk membiayai atau melengkapi kebutuhan hidup Anda serta melepaskan diri dari keterangtungan hidup dari orang tua.
Kemampuan keuangan atau dukungan orang tua terhadap penyelesaian pendidikan Anda. Jika kemampuan keuangan orang tua Anda terbatas maka Anda harus membatasi harapan Anda dalam memperoleh tingkatan pendidikan. Jangan memaksakan diri jika dukungan keuangan tidak cukup sehingga hasil yang Anda peroleh adalah kegagalan yang berakibat pada prustrasi atau setress atau defresi mental. Apabila itu terjadi akan sangat merugikan diri Anda sendiri dan keluarga. Jika kemampuan keuangan orang tua cukup terbatas maka sebaiknya Anda memilih sekolah yang mempersiapkan Anda untuk bisa bekerja pada sektor swasta dan berwirausaha (usaha mandiri). Misalnya, lulusan SMP/MTs melanjtukan ke SMK; kalau dari lulusan SMA/MA melanjutkan ke Deploma atau pendidikan profesional program D1, D2, D3. Tujuannya adalah untuk mengantisifasi Anda tidak menjadi anak bangsa yang pengangguran karena selain Anda bisa bekerja di sektor swasta serta mampu menciptakan pekerjaan sendiri. Jika Anda tidak puas lulusan SMK atau program D1, D2, D3 Anda dapat melanjtukan belajar kembali sambil bekerja.
Efektif dalam arti Anda dapat menyelesaikan pendidikan tepat waktu dengan kemampuan otak serta dukungan atau kemampuan keuangan dan usaha maksimal dengan hasil dari proses pendidikan memperoleh sangat memuaskan.
Efisien dalam arti memperhitungkan atau melakukan perhitungan dalam menggunakan waktu untuk belajar serta penggunaan dana/uang sebaik mungkin; tidak membuang-buang waktu atau uang untuk hal hal yang tidak atau kurang penting.
Selama ini sudah banyak kejadian yang merugikan orang tua dan anak didik/siswa ataupun masiswa. Anak sekolah diarahkan oleh orang tua harus melanjutkan sesuai dengan keinginan orang tua yang berakhir pada kegagalan dan sekailgus kehancuran bagi kedua belah pihak tersebut. Seperti, anak kabur dari pesantren karena anak tidak mau sekolah di pondok pesantren. Siswa tidak masuk sekolah padahal dari rumah berangkat kesekolah karena anak tidak mau sekolah di mandrasah. Sebaliknya ada anak yang maunya sekolah di pondok pesantren tetapi orangtuanya tidak restu akhirnya gagal juga. Seorang mahasiswa harus jadi orang gila karena tidak mampu menyelesaikan proses pendidikan di perguruan tinggi. Seorang mahasiswa harus jadi orang gila karena tidak bisa menyelesaikan sekolahnya karena ketidakmampuan pembiayaan dari orang tua. Mahasiswi harus melakukan tindakan amoral karena ketidakmampuan orang tua dalam membiayi anak bersekolah dsb. Jadi yang yang perlu digarisbawahi, yang sekolah adalah anak maka biarlah anak yang memlilih mau sekolah yang mana. Peran orang tua hannya sebatas memberikan pandangan khsusnya bagi anak se usia SD, SMP atau SMA yang keperibadiannya bulum menunjukkan kedewasaan. Disisi lain dukungan keuangan harus menjadi pertimbangan dalam melanjutkan sekolah.
Jika Anda berstatus sebagai pelajar ataupun sebagai mahasiswa dapat menggunakan waktu yang ada untuk melakukan usaha-usaha produktif (menghasilkan uang atau pengetahuan atau pengalaman baru) akan lebih baik, yaitu dengan mempraktikan pengetahuan atau pengalaman yang Anda peroleh dari proses pendidikan.
Ingat, masa depat Anda, Anda sendirilah yang lebih utama menentukan serta didukung oleh keluarga dan lingkungan Anda. Jika Anda seorang pelajar atau mahasiswa bertemanlah dengan orang-orang yang bisa bekersama dalam meraih kesuksesan dalam belajar. Pergaulan Anda ikut berpengaruh dalam mengarahkan sukses, baik serta buruk hidup Anda. Dan ingat, penyesalan tidak pernah terjadi di awal tetapi akan terjadi di akhir. Oleh karena itu perlu perencanaan dan perhitungan dalam melakukan sesuatu.
Kalau tujuannya bersekolah maka harus serius (sungguh-sungguh)agar mencapai hasil maksimal sehingga dukungan moral dan materiil dari orang tua tidak sia-sia dan tersia-siakan. Kalau melanjutkan sekolah harus meninggalkan kampung halaman, orang tua dan sanak suadara, kalau belum berhasil jangn pulang. Kalau setiap semesteran pulang sama saja dengan pemborosan atau tidak efisien.
Thursday, February 4, 2010
“GURU” PAHLAWAN TANPA JASA
Peribahasa “Guru adalah pahlawan tanpa jasa” untuk saat ini mungkin sudah tidak tepat dan yang lebih tepat bisa dikatakan dengan istilah “Pahlawan kesiangan”. Kenapa dikatakan demikian?. Pemahaman “tanpa jasa” tidak mendapatkan kompensasi/imbalan berupa apapun. Kalau menerima kompensasi/imbalan besar maupun kecil baik dari pemeritah ataupun dari masyarat (berupa punggutan) tidak bisa dikatakan guru melaksanakan pekerjaan mengajar/mendidik tanpa jasa. Sekarang orang mau melakukan pekerjaan sebagai guru baik lulusan pendidikan keguruan atau nonkeguruan hanyalah untuk mencari atau sebagai mata pencaharian atau hanya sebagai batu loncatan yang bersifat sementara sebelum mendapatkan job (pekerjaan) yang edial dan penghasilan yang edial. Kompensasi/balas jasa bukan hannya dalam bentuk materi tetapi juga nonmateri.
Guru adalah jabatan dan untuk melaksanakan tugas mentransfer pengetahuan dan memberikan pendidikan pada anak didik. Sebagai pendidik guru merupakan sub dari proses pendidik di dalam keluarga karena pendidikan anak 0-5 tahun ada di dalam keluarga dan setelah bersekolahpun pendidikan di dalam keluarga terus berjalan. Yang mengalami proses belajar adalah anak didik. Berhasil tidaknya hasil belajar tergantung dari anak didik juga. Jadi yang mencerdaskan anak bangsa itu bukanlah hanya usaha atau “jasa” dari seorang guru tetapi usaha dari guru, anak didik, orang tua dan lingkungan dan demikian juga dengan hasil proses didik yaitu didikan dari para guru, para orang tua dan lingkungan masyarakat.
Pada tahun tujuh puluhan kita juga mengalami proses pendidikan formal pada sekolah dasar di sebuah desa terpencil di republik ini. Di sekolah negeri guru sudah dikompensasi/balas jasa oleh pemerintah tetapi bagi guru yang berstatus honorer/swasta kompemsasi/balas jasanya dipunggut oleh pimpinan sekolah (kepala sekolah, BP3) dari orang tua anak didik. Yang pada waktu itu masih sangat sulit untuk memperoleh uang, maka kepada orang tua anak didik yang tidak bisa membayar dengan uang maka dibayar dengan beras. Demikian juga di sekolah swasta, pembayarannya bisa dengan uang atau dengan beras. Artinya pada tahun tujuhpuluhan saja pekerjaan seorang guru sudah di beri komponsasi/balas jasa, meskipun besarnya kompensasi/balas jasa yang diberikan masyarakat ya relatif kecil karena sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakatnya. Jika tidak ada maka tidak ada orang yang mau melaksanakan tugas sebagai guru. Seorang guru juga manusia yang membutuhkan makan minum dsb, oleh karena itu tidak mungkin orang mau mengabdikan dirinya jadi seorang guru jika sebagian dari kebutuhan hidupnya tidak diperhatikan melalui pemberian balas jasa karena mereka juga mempunyai tanggung jawab hidup untuk dirinya sendiri dan/atau juga dengan anak istrinya. Meskipun pekerjaan seorang guru honorer bukan merupakan pekerjaan pokok tetapi tetep meminta dihargai berupa materiil dan nonmateriil (kebedaan dan nonkebendaan). Contoh kondisi saat ini, guru negeri yang sudah di gaji dengan sistem formal untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) sudah tidak pantas lagi meminta kompesasi/balas jasa atas pelaksanaan Tupoksi tersebut, misalnya seperti, balas jasa koreksi ujian semesteran, balas jasa wali kelas, balas jasa guru piket dsb. Hal itu sudah merupakan satu kesatuan dari Tupoksi itu sendiri. Perlu digarisbawahi dari fenomena yang ada bahwa perubahan sistem tidak sertamerta perbubahan terhadap mental. Perubahan sistem untuk perubahan mental. Jika perubahan sistem tidak dapat merubah mental berarti suatu indikasi “kegagalan” dari sistem. Seperti juga dalam sistem hukum, jika hukum tidak dapat lagi menjadi alat memberi keadilan, ketenteraman, ketertiban, pemberantasan korupsi dan pungli dsb yang berarti sistem hukum gagal dalam melaksanakan tujuan yaitu Tupoksinya.
Kalau saat sekarang (hari gini!) masih ada yang orang berkata “Guru pahlawan tanpa jasa” itu sudah kadaluarsa (basi) atau pahlawan kesiangan. Apalagi kondisi saat ini kompensasi/balas jasa guru sudah sangat manusiawi serta biaya pendidikan tinggi; sekolah yang sudah dibebaskan dari uang sekolahpun masih ada pungutan-pungutan dan penyelewengan. Penggunaan BOP/BOS, masih rawan kecelakaan tersebut karena mungkin jalanya tidak baik/rusak, rambu-rambunya tidak/kurang jelas atau di buat kebut-kebutan yang bukan pada tempatnya, tidak tertib dalam berlalulitas/ugal-ugalan/serabat-serobot, atau mentalnya masih berada di luar sistem yang dibangun saat ini (mental satus quo) dsb. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis terhadap efektivitas dan efisiensi serta control penggunaan dana yang berlebal BOP/BOS dan dana khsusus sesuai dengan implementasinya di lapangan seperti apa sehingga kedepan kejadian-kejadian yang tidak/kurang baik saat yang sudah berjalan agar diperbaiki atau disempurnakan supaya baik.
Peribahasa “Guru adalah pahlawan tanpa jasa” untuk saat ini mungkin sudah tidak tepat dan yang lebih tepat bisa dikatakan dengan istilah “Pahlawan kesiangan”. Kenapa dikatakan demikian?. Pemahaman “tanpa jasa” tidak mendapatkan kompensasi/imbalan berupa apapun. Kalau menerima kompensasi/imbalan besar maupun kecil baik dari pemeritah ataupun dari masyarat (berupa punggutan) tidak bisa dikatakan guru melaksanakan pekerjaan mengajar/mendidik tanpa jasa. Sekarang orang mau melakukan pekerjaan sebagai guru baik lulusan pendidikan keguruan atau nonkeguruan hanyalah untuk mencari atau sebagai mata pencaharian atau hanya sebagai batu loncatan yang bersifat sementara sebelum mendapatkan job (pekerjaan) yang edial dan penghasilan yang edial. Kompensasi/balas jasa bukan hannya dalam bentuk materi tetapi juga nonmateri.
Guru adalah jabatan dan untuk melaksanakan tugas mentransfer pengetahuan dan memberikan pendidikan pada anak didik. Sebagai pendidik guru merupakan sub dari proses pendidik di dalam keluarga karena pendidikan anak 0-5 tahun ada di dalam keluarga dan setelah bersekolahpun pendidikan di dalam keluarga terus berjalan. Yang mengalami proses belajar adalah anak didik. Berhasil tidaknya hasil belajar tergantung dari anak didik juga. Jadi yang mencerdaskan anak bangsa itu bukanlah hanya usaha atau “jasa” dari seorang guru tetapi usaha dari guru, anak didik, orang tua dan lingkungan dan demikian juga dengan hasil proses didik yaitu didikan dari para guru, para orang tua dan lingkungan masyarakat.
Pada tahun tujuh puluhan kita juga mengalami proses pendidikan formal pada sekolah dasar di sebuah desa terpencil di republik ini. Di sekolah negeri guru sudah dikompensasi/balas jasa oleh pemerintah tetapi bagi guru yang berstatus honorer/swasta kompemsasi/balas jasanya dipunggut oleh pimpinan sekolah (kepala sekolah, BP3) dari orang tua anak didik. Yang pada waktu itu masih sangat sulit untuk memperoleh uang, maka kepada orang tua anak didik yang tidak bisa membayar dengan uang maka dibayar dengan beras. Demikian juga di sekolah swasta, pembayarannya bisa dengan uang atau dengan beras. Artinya pada tahun tujuhpuluhan saja pekerjaan seorang guru sudah di beri komponsasi/balas jasa, meskipun besarnya kompensasi/balas jasa yang diberikan masyarakat ya relatif kecil karena sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakatnya. Jika tidak ada maka tidak ada orang yang mau melaksanakan tugas sebagai guru. Seorang guru juga manusia yang membutuhkan makan minum dsb, oleh karena itu tidak mungkin orang mau mengabdikan dirinya jadi seorang guru jika sebagian dari kebutuhan hidupnya tidak diperhatikan melalui pemberian balas jasa karena mereka juga mempunyai tanggung jawab hidup untuk dirinya sendiri dan/atau juga dengan anak istrinya. Meskipun pekerjaan seorang guru honorer bukan merupakan pekerjaan pokok tetapi tetep meminta dihargai berupa materiil dan nonmateriil (kebedaan dan nonkebendaan). Contoh kondisi saat ini, guru negeri yang sudah di gaji dengan sistem formal untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) sudah tidak pantas lagi meminta kompesasi/balas jasa atas pelaksanaan Tupoksi tersebut, misalnya seperti, balas jasa koreksi ujian semesteran, balas jasa wali kelas, balas jasa guru piket dsb. Hal itu sudah merupakan satu kesatuan dari Tupoksi itu sendiri. Perlu digarisbawahi dari fenomena yang ada bahwa perubahan sistem tidak sertamerta perbubahan terhadap mental. Perubahan sistem untuk perubahan mental. Jika perubahan sistem tidak dapat merubah mental berarti suatu indikasi “kegagalan” dari sistem. Seperti juga dalam sistem hukum, jika hukum tidak dapat lagi menjadi alat memberi keadilan, ketenteraman, ketertiban, pemberantasan korupsi dan pungli dsb yang berarti sistem hukum gagal dalam melaksanakan tujuan yaitu Tupoksinya.
Kalau saat sekarang (hari gini!) masih ada yang orang berkata “Guru pahlawan tanpa jasa” itu sudah kadaluarsa (basi) atau pahlawan kesiangan. Apalagi kondisi saat ini kompensasi/balas jasa guru sudah sangat manusiawi serta biaya pendidikan tinggi; sekolah yang sudah dibebaskan dari uang sekolahpun masih ada pungutan-pungutan dan penyelewengan. Penggunaan BOP/BOS, masih rawan kecelakaan tersebut karena mungkin jalanya tidak baik/rusak, rambu-rambunya tidak/kurang jelas atau di buat kebut-kebutan yang bukan pada tempatnya, tidak tertib dalam berlalulitas/ugal-ugalan/serabat-serobot, atau mentalnya masih berada di luar sistem yang dibangun saat ini (mental satus quo) dsb. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis terhadap efektivitas dan efisiensi serta control penggunaan dana yang berlebal BOP/BOS dan dana khsusus sesuai dengan implementasinya di lapangan seperti apa sehingga kedepan kejadian-kejadian yang tidak/kurang baik saat yang sudah berjalan agar diperbaiki atau disempurnakan supaya baik.
GURU KENCING BERDIRI ANAK KENCING BERLARI
GURU KENCING BERDIRI ANAK KENCING BERLARI
Pepatah mengatakan “Guru kencing berdiri anak kencing berlari”, ini adalah kata-kata yang diucapkan oleh masyarakat terhadap para pendidik (guru) karena sikap dan keperibadian guru belum mencerminkan sebagai pendidik dan pengajar. Contoh, guru sering terlambat masuk kelas, guru sering tidak masuk (mangkir), guru sering hanya memberikan tugas-tugas atau mengerjakan lembaran kerja (LKS), guru tidak betah di dalam ruang kelas, hasil ulangan tidak segera dikoreksi serta dikasih tahu pada anak, guru suka mengeluarkan perkataan yang tidak pantas atau tidak mendidik seperti kata-kata: setan, ajing, monyet, goblok, tolol dsb, karena belum mampu memanag emosi, masih ada guru yang berbuat amoral terhadap anak didik.
Seorang guru seharusnya memperanankan diri sebagai contoh yang perlu dicontoh atau diteladani oleh peserta didik (seorang model). Jika keperibadian guru masih terikat atau mengikatkan diri seperti contoh di atas berarti sudah mencontohkan suatu perbuatan indisipliner (tidak disiplin), etika dalam menggunakan kata-kata tidak baik serta perbuatan amoral. Jadi ada fenomena bahwa pendisiplinan hannya berlaku untuk anak dan tidak berlaku untuk tenaga pendidik. Contoh konkritnya, anak terlambat masuk mendapatkan hukuman sementara guru terlabat tidak ada hukuman; tidak juga minta maaf kepada anak didik atas keterlambatannya. Anak tidak mengerjakan tugas tepat waktu diberi hukuman oleh guru sementara guru tidak mengoreksi atau terlambat mengoreksi serta memberikan hasil ulang harian kepada anak, guru tenang-tenang saja atau kipas-kipas saja menikmati kecurangannya.
Jika seorang guru masih berselimut dengan contoh-contoh di atas dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik yang berarti sang guru tersebut masih menyematkan pada pakaian harian pepatah “Guru kencing berdiri anak kencing berlari”.
Kedua orang tua di rumah juga adalah guru bagi anak-anaknya pada saat anak berada di rumah maka pepatah “Guru kencing berdiri anak kencing berlari” berlaku juga bagi ke dua orang tua anak. Apa yang dikatakan dan apa yang diperbuat kedua orang tua anak merupakan pendidikan bagi anak-anakannya. Anak akan mencontoh atau meniru baik perkataan maupun perbuatan kedua orang tuanya. Misalnya, kedua orang tua anak tidak rukun atau sering bertengkar, marah-marahan. Antara kedua orang tua anak sering melontarkan kata-kata yang tidak pantas untuk didengar anak seperti kata-kata : anjing, setan, goblok, monyet dsb. Menyuruh atau memerintah anak dengan suara keras atau membentak-bentak. Seorang bapak perokok berat, pemabuk, penjudi, perselingkuhan. Seorang ibu perokok berat, perselingkuhan, suka dandan berlebihan, cerewet, sukanya selalu di depan TV, suka mengrumpi dengan tetangga, dsb. Orang tua anak mentindik hidung, tindik lidah, tindik bibir, badan bertato, mengecat rambut warna-warni. Jika orang tua didik masih berselimut atau memodelkan dengan fenomena (gejala) seperti demikian itu maka jangan banyak berharap anak akan bisa hidup baik dan benar seperti yang diharapkan oleh kebanyakan orang tua. Jadilah keluarga yang aburadul dan bangsa yang amburadul (tidak karuan). Apa yang dilakukan atau diperbuat kedua orang tua anak di rumah merupakan pendidikan yang senyatanya bagi anak-anaknya.
Seorang pimpinan di tempat kerja juga adalah seorang guru bagi bawahannya atau anak buahnya maka pepatah “Guru kencing berdiri anak kencing berlari” berlaku juga bagi para pimpinan. Apa yang dikatakan dan apa yang diperbuat seorang pimpinan (manajer) merupakan pendidikan bagi bawahannya atau anak buahnya. Bawahan akan mencontoh atau meniru baik perkataan maupun perbuatan dari atasan atau pimpinnya. Misalnya, seorang pimpimnan yang suka mangkir kerja, terlambat masuk kerja, atau datang cepat pulang cepat, pekerjaan pimpinan bertumpuk tidak terselesaikan sesuai dengan prioritas waktu, sukanya marah-marah sesuatu yang tidak jelas, suka korup dan pugli. Apa yang dilakukan oleh pimpinan sedemikian itu merupakan proses pembelajaran dan pengkaderan bawahan. Pada saat bawahan atau anak buah mengambil estapet kepemiminan maka dia akan mempraktekan pula apa yang telah dilakukan oleh para seniornya terdahulu, yang kemungkinan dimodefikasi sesuai dengan pemahaman dan pengetahuan serta pengalaman dengan situasi kekinian.
Guru kencing berdiri anak kecing berlari adalah sebuah peribahasa yang tidak hanya berlaku pada para guru tetapi berlaku pula kepada para pimpinan dan orang tua anak.
Pepatah mengatakan “Guru kencing berdiri anak kencing berlari”, ini adalah kata-kata yang diucapkan oleh masyarakat terhadap para pendidik (guru) karena sikap dan keperibadian guru belum mencerminkan sebagai pendidik dan pengajar. Contoh, guru sering terlambat masuk kelas, guru sering tidak masuk (mangkir), guru sering hanya memberikan tugas-tugas atau mengerjakan lembaran kerja (LKS), guru tidak betah di dalam ruang kelas, hasil ulangan tidak segera dikoreksi serta dikasih tahu pada anak, guru suka mengeluarkan perkataan yang tidak pantas atau tidak mendidik seperti kata-kata: setan, ajing, monyet, goblok, tolol dsb, karena belum mampu memanag emosi, masih ada guru yang berbuat amoral terhadap anak didik.
Seorang guru seharusnya memperanankan diri sebagai contoh yang perlu dicontoh atau diteladani oleh peserta didik (seorang model). Jika keperibadian guru masih terikat atau mengikatkan diri seperti contoh di atas berarti sudah mencontohkan suatu perbuatan indisipliner (tidak disiplin), etika dalam menggunakan kata-kata tidak baik serta perbuatan amoral. Jadi ada fenomena bahwa pendisiplinan hannya berlaku untuk anak dan tidak berlaku untuk tenaga pendidik. Contoh konkritnya, anak terlambat masuk mendapatkan hukuman sementara guru terlabat tidak ada hukuman; tidak juga minta maaf kepada anak didik atas keterlambatannya. Anak tidak mengerjakan tugas tepat waktu diberi hukuman oleh guru sementara guru tidak mengoreksi atau terlambat mengoreksi serta memberikan hasil ulang harian kepada anak, guru tenang-tenang saja atau kipas-kipas saja menikmati kecurangannya.
Jika seorang guru masih berselimut dengan contoh-contoh di atas dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik yang berarti sang guru tersebut masih menyematkan pada pakaian harian pepatah “Guru kencing berdiri anak kencing berlari”.
Kedua orang tua di rumah juga adalah guru bagi anak-anaknya pada saat anak berada di rumah maka pepatah “Guru kencing berdiri anak kencing berlari” berlaku juga bagi ke dua orang tua anak. Apa yang dikatakan dan apa yang diperbuat kedua orang tua anak merupakan pendidikan bagi anak-anakannya. Anak akan mencontoh atau meniru baik perkataan maupun perbuatan kedua orang tuanya. Misalnya, kedua orang tua anak tidak rukun atau sering bertengkar, marah-marahan. Antara kedua orang tua anak sering melontarkan kata-kata yang tidak pantas untuk didengar anak seperti kata-kata : anjing, setan, goblok, monyet dsb. Menyuruh atau memerintah anak dengan suara keras atau membentak-bentak. Seorang bapak perokok berat, pemabuk, penjudi, perselingkuhan. Seorang ibu perokok berat, perselingkuhan, suka dandan berlebihan, cerewet, sukanya selalu di depan TV, suka mengrumpi dengan tetangga, dsb. Orang tua anak mentindik hidung, tindik lidah, tindik bibir, badan bertato, mengecat rambut warna-warni. Jika orang tua didik masih berselimut atau memodelkan dengan fenomena (gejala) seperti demikian itu maka jangan banyak berharap anak akan bisa hidup baik dan benar seperti yang diharapkan oleh kebanyakan orang tua. Jadilah keluarga yang aburadul dan bangsa yang amburadul (tidak karuan). Apa yang dilakukan atau diperbuat kedua orang tua anak di rumah merupakan pendidikan yang senyatanya bagi anak-anaknya.
Seorang pimpinan di tempat kerja juga adalah seorang guru bagi bawahannya atau anak buahnya maka pepatah “Guru kencing berdiri anak kencing berlari” berlaku juga bagi para pimpinan. Apa yang dikatakan dan apa yang diperbuat seorang pimpinan (manajer) merupakan pendidikan bagi bawahannya atau anak buahnya. Bawahan akan mencontoh atau meniru baik perkataan maupun perbuatan dari atasan atau pimpinnya. Misalnya, seorang pimpimnan yang suka mangkir kerja, terlambat masuk kerja, atau datang cepat pulang cepat, pekerjaan pimpinan bertumpuk tidak terselesaikan sesuai dengan prioritas waktu, sukanya marah-marah sesuatu yang tidak jelas, suka korup dan pugli. Apa yang dilakukan oleh pimpinan sedemikian itu merupakan proses pembelajaran dan pengkaderan bawahan. Pada saat bawahan atau anak buah mengambil estapet kepemiminan maka dia akan mempraktekan pula apa yang telah dilakukan oleh para seniornya terdahulu, yang kemungkinan dimodefikasi sesuai dengan pemahaman dan pengetahuan serta pengalaman dengan situasi kekinian.
Guru kencing berdiri anak kecing berlari adalah sebuah peribahasa yang tidak hanya berlaku pada para guru tetapi berlaku pula kepada para pimpinan dan orang tua anak.
RAJIN PANGKAL PANDAI
RAJIN PANGKAL PANDAI
Peribahasa “Rajin pangkal pandai” sudah popular (terkenal) di dalam masyarakat dan khususnya di dalam dunia pendidikan. Rajin pangkal pandai merupakan kata motivasi untuk anak didik yang disampakan oleh para guru yang kebanyakan dilakukan oleh guru TK dan guru SD. Dengan tujuan untuk mendorong anak didik rajin membaca serta mengerjakan tugas-tugas yang diberikan atau mengulang pelajaran di rumah yang telah disampaikan guru di sekolah. Kata rajin mengandung arti rajin membaca dan rajin berlatih atau mempraktekan dan dilakukan seseringmungkin seperti peribahasa “Lancar kaji karena di ulang”. Dengan rajin membaca atau membaca ulang akan lebih mendalam femahaman terhadap apa yang baca. Dengan pendalalam pemahaman itu maka seseorang dapat menjelaskan dengan bahasanya sendiri tentang isi yang penting atau perlu diketahui dari apa yang di baca atau pelajari. Dengan pemahaman yang lebih mendalam tersebut maka pengetahuan yang kita baca dan pelajari akan melekat di dalam memori otak manusia. Apalagi pengetahuan yang baca atau pelajari dapat dipraktekkan seperti di labotarium, di lingkungan keluarga, dan di masyarakat atau dipraktekan dalam kehidupan pribadi akan lebih melekat di dalam otak. Padai yang berati terampil atau mahir dalam menjelaskan tentang sesuatu dan terampil pula dalam mempraktekannya. Dapat dikatakan pula pandai adalah kemampuan penguasaan terhadap teori dan cara menggunakannya atau mengimplementasikannya. Contoh rajin pangkal pandai, seseorang belajar naik sepeda. Seorang anak dikasih tahu oleh orang tuanya tentang sepeda dan cara menggunakannya. Pertama-tama orang tua membelikan sepeda dengan tiga roda (atau becak). Setelah anak mampu mengendalikan dan mengayuh atau mengoes, orang tua kemudian membelikan sepeda roda dua yang mempunyai dua buah roda kecil yang mengantung di bagian belakang sebagai pengendali agar tidak jatuh. Dengan sering atau rajin berlatih si anak semakin mampu mengendalikan sepeda tanpa lagi ketergantungan dengan kedua roda kecil sebagai pengendali, kemudian kedua roda kecil itu di copot atau dilepas. Akhirnya si anak telah mampu menggunakan sepeda dengan dua roda secara baik untuk bermain maupun digunakan untuk transportasi sehari-hari untuk bersekolah.
Lancar kaji karena di ulang artinya, kalau sering-sering /berulang-ulang melakukan sesuatu yang sulit akan menjadi lebih mudah dan mudah. Lancar sama artinya dengan rajin. Lancar berarti tidak ada hambatan dan rajin juga tidak ada hambatan. Lancar dan rajin mengalir seperti air, terus-menerus atau berkesinambungan. Contoh lancar kaji karena di ulang, anak kecil menyebutkan kata minum hannya dengan kata “num”. Si anak tidak bisa menyebutkan kata minum secara lengkap. Dengan rajin atau sering orangtunya memperdengarkan dan melatih anak untuk mampu mengucapkan kata “minum” secara sempurna pada ahkirnya anak mampu juga mengucapkan kata minum secara baik dan lengkap. Demikian juga dengan pengucapan hurup “r” (er) dalam kata pergi, kerja dsb. Anak tidak lancar mengucapkan kata “er”; karena rajin menyebutkan atau menggulang-ulang maka penyebutan “er” menjadi lancar.
Peribahasa yang mengandung motivasi (dorongan) orang (anak) untuk belajar seperti yang telah disebut di atas yaitu “Rajin pangkal pandai”, “Lancar kaji karena di ulang” dan yang lainnya adalah “Ala bisa karena biasa”. Rajin dengan di ulang-ulang dalam menyebutkan atau melakukan sesesutu maka jadi lancar dalam menyebutkan atau melakukan seseuatu. Rajin untuk membiasakan menyebutkan atau melakukan sesuatu maka menjadi bisa menyebutkan atau melakukan sesuatu.
Kunci anak pintar/pandai adalah anak yang rajin belajar dan praktek atau mempraktekkan sebanyak atau sesering mungkin. Jika anak-anak Indonesia ingin jadi pandai maka harus didorong anak untuk rajin (belajar dan praktek) oleh setiap orang tua maupun lembaga atau tenaga pendidik.
Peribahasa “Rajin pangkal pandai” sudah popular (terkenal) di dalam masyarakat dan khususnya di dalam dunia pendidikan. Rajin pangkal pandai merupakan kata motivasi untuk anak didik yang disampakan oleh para guru yang kebanyakan dilakukan oleh guru TK dan guru SD. Dengan tujuan untuk mendorong anak didik rajin membaca serta mengerjakan tugas-tugas yang diberikan atau mengulang pelajaran di rumah yang telah disampaikan guru di sekolah. Kata rajin mengandung arti rajin membaca dan rajin berlatih atau mempraktekan dan dilakukan seseringmungkin seperti peribahasa “Lancar kaji karena di ulang”. Dengan rajin membaca atau membaca ulang akan lebih mendalam femahaman terhadap apa yang baca. Dengan pendalalam pemahaman itu maka seseorang dapat menjelaskan dengan bahasanya sendiri tentang isi yang penting atau perlu diketahui dari apa yang di baca atau pelajari. Dengan pemahaman yang lebih mendalam tersebut maka pengetahuan yang kita baca dan pelajari akan melekat di dalam memori otak manusia. Apalagi pengetahuan yang baca atau pelajari dapat dipraktekkan seperti di labotarium, di lingkungan keluarga, dan di masyarakat atau dipraktekan dalam kehidupan pribadi akan lebih melekat di dalam otak. Padai yang berati terampil atau mahir dalam menjelaskan tentang sesuatu dan terampil pula dalam mempraktekannya. Dapat dikatakan pula pandai adalah kemampuan penguasaan terhadap teori dan cara menggunakannya atau mengimplementasikannya. Contoh rajin pangkal pandai, seseorang belajar naik sepeda. Seorang anak dikasih tahu oleh orang tuanya tentang sepeda dan cara menggunakannya. Pertama-tama orang tua membelikan sepeda dengan tiga roda (atau becak). Setelah anak mampu mengendalikan dan mengayuh atau mengoes, orang tua kemudian membelikan sepeda roda dua yang mempunyai dua buah roda kecil yang mengantung di bagian belakang sebagai pengendali agar tidak jatuh. Dengan sering atau rajin berlatih si anak semakin mampu mengendalikan sepeda tanpa lagi ketergantungan dengan kedua roda kecil sebagai pengendali, kemudian kedua roda kecil itu di copot atau dilepas. Akhirnya si anak telah mampu menggunakan sepeda dengan dua roda secara baik untuk bermain maupun digunakan untuk transportasi sehari-hari untuk bersekolah.
Lancar kaji karena di ulang artinya, kalau sering-sering /berulang-ulang melakukan sesuatu yang sulit akan menjadi lebih mudah dan mudah. Lancar sama artinya dengan rajin. Lancar berarti tidak ada hambatan dan rajin juga tidak ada hambatan. Lancar dan rajin mengalir seperti air, terus-menerus atau berkesinambungan. Contoh lancar kaji karena di ulang, anak kecil menyebutkan kata minum hannya dengan kata “num”. Si anak tidak bisa menyebutkan kata minum secara lengkap. Dengan rajin atau sering orangtunya memperdengarkan dan melatih anak untuk mampu mengucapkan kata “minum” secara sempurna pada ahkirnya anak mampu juga mengucapkan kata minum secara baik dan lengkap. Demikian juga dengan pengucapan hurup “r” (er) dalam kata pergi, kerja dsb. Anak tidak lancar mengucapkan kata “er”; karena rajin menyebutkan atau menggulang-ulang maka penyebutan “er” menjadi lancar.
Peribahasa yang mengandung motivasi (dorongan) orang (anak) untuk belajar seperti yang telah disebut di atas yaitu “Rajin pangkal pandai”, “Lancar kaji karena di ulang” dan yang lainnya adalah “Ala bisa karena biasa”. Rajin dengan di ulang-ulang dalam menyebutkan atau melakukan sesesutu maka jadi lancar dalam menyebutkan atau melakukan seseuatu. Rajin untuk membiasakan menyebutkan atau melakukan sesuatu maka menjadi bisa menyebutkan atau melakukan sesuatu.
Kunci anak pintar/pandai adalah anak yang rajin belajar dan praktek atau mempraktekkan sebanyak atau sesering mungkin. Jika anak-anak Indonesia ingin jadi pandai maka harus didorong anak untuk rajin (belajar dan praktek) oleh setiap orang tua maupun lembaga atau tenaga pendidik.
Saturday, January 23, 2010
KEPEMIMPINAN GAYA KEMOCENG
KEPEMIMPINAN GAYA KEMOCENG
Anda familier (kenal akrab) dengan yang namanya “Kemoceng”?. Masih ada yang belum dan ada yang sudah mengenal yang namanya kemoceng. Bagi yang belum tahu disini kita coba meberikan gambaran tentang kemoceng itu apa. Anda pernah lihat ayam?. Yang tidak suka makan daging ayam pasti juga tahu dan mengenal ayam apalali senang makan dengan lauk ayam. Ayam binatang ternak bukan ayam jadi-jadian, karena kata ayam bisa pelebelan tertentu pula yang negatif. Ayam binatang ternak yang berbulu. Oleh pengajin bulu ayam dikumpulkan dan dibersihkan; lalu diikatkan ke sepotong rotan sehingga terbentuk membulat sedemikian rupa dengan sekumpulan bulu ayam yang indah, dengan ukuran panjang antara 30 – 40 cm. Di dalam Kamus Besar Indonesia, kemoceng adalah pembersih dari bulu ayam dsb. Dengan perkembangan kreatif manusia kemoceng/kemucing kemudian sudah ada di buat dari bahan selain dari bahan bulu ayam yaitu ada pula di buat dari plastic.
Apa sih kegunaan dari Kemoceng itu?.
Pada umumnya kemoceng biasa digunakan untuk memberihkan debu seperti di atas meja, terkandang orang suka iseng membersihkan jendela kaca rumah dari tebu juga dengan kemoceng, memberihkan tape recorder/radio, rak buku dan untuk membersihkan debu pada mobil. Yang demikian itu adalah penggunaan kemoceng yang sesungguhnya. Kemoceng juga bisa disalahgunakan orang tertentu misalnya orang tua marah sama anaknya karena membandel disuruh melakukan sesuatu tetapi jawaban si anak “entar-sebentar, entar-sebentar atau entar-sok, entar-besok”, yang akhirnya si orang tua jadi emosi dengan serta merta diambilkannya kemoceng digunakan untuk memukul anaknya. Memukul anak dengan kemoceng sambil mengeluarkan kata-kata sumpah serapah “Dasar anak bandel biar jadi ayam juga kamu”. Bisa juga digunakan untuk mengusir kucing dan yang paling mengelikan kemoceng disalahgunakan untuk mengusir ayam dari dalam rumah.
Bagaimana kepemimpinan gaya kemoceng?
Kalau di perkantoran pimpinan bekerja berhadapan dengan berbagai masalah. Karena ada masalah maka perlu ada cara penyesaian atas masalah yang ada. Tugas pimpinan untuk memecahkan berbagai permasalahan yang ada di kantornya. Biar ada kelihatan perubahan pimpinan mencoba membuat keputusan untuk suatu masalah sebagai cara penyelesaiannya. Yang sebenarnya cara yang digunakan itu tidak efektif apalagi untuk bicara efisien dalam peribahasa “Jauh panggang dari api”. Dan prinsipnya bukan mengatasi malalah atas masalah tetapi memindahkan masalah ke tempat lain yang juga masalah. Contohnya begini; Anda membersihkan menja kerja di kantor dari debu dengan menggunakan kemoceng. Debu yang Anda bersihkan dari menja Anda terbang ke meja lain di dalam kontor Anda. Yang berarti debu tidak hilang dari ruangan kerja Anda dan hanya berusaha memindahkan saja. Keharian esoknya tebu tersebut kembali lagi kemeja Anda karena tertiup angin alam atau AC. Pagi ini dibersihkan besok pagi sudah ada lagi. Repot juga yaa!.
Demikian juga pimpinan yang menggunakan pemcehan masalah dengan gaya kemoceng. Dia tidak mengatasi masalah yang dipermasalahkan tetapi hanya memidahkan dari masalah satu ke masalah baru. Jadi masalah yang lama tidak terselesiakan diciptakan masalah baru sehingga terjadi dua atau lebih masalah. Contohnya seperti masalah samapah diperkotaan. Sampah diambil dari lingkuangan keluarga oleh petugas sampah di bawa ke tempat penampungan sementara (TPS) atau sampah pasar. Kemudian sampah diangkut lagi ke tempat pembuangan akhir (TPA). Di TPS sampah mengeluarkan bau tidak sedap dan membuat pusing tujuh keliling masyarakat berdekatan dengan TPS. Lalu bau sampah tidak sedap tersebut juga membuat bau pada hidung masyarakat yang berdekatan dengan TPA dan menimbulkan protes.
Contoh lain misalnya pengadaan jalan tol dengan tujuan setiap orang pengguna bisa cepat sampai pada tujuan tetapi pembangunan jalan tol tidak serta merta tidak ada masalah seperti masalah banjir menutupi jalan tol itu sendiri bisa terjadi karena pembuangan air dari jalan tol tidak lancar. Air dari jalan tol juga bisa menengelamkan rumah warga yang ada di sekitar jalan tol tersbut. Ini artinya mengatasi satu masalah untuk menimbukan dua atau lebih masalah baru. Mengatasi masalah dengan memindahkan masalah yang sebenarnya tidak efektif. Seperti itulah kira-kira kepemimpinan dengan gaya pendekatan kemoceng dalam menyelesaikan masalah.
Masih banyak contoh-contoh lain yang ada di kantor Anda yaitu bisa di lihat dari pergantian kepemimpinan yang satu kepada kepemimpinan selanjutnya. Instilah sederhana “Bongkar-pasang dan bongkar pasang”. Artinya yang satu datang membongkar dan datang yang satunya lagi memasang dan begitu terus selanjutnya. Juga seperti masyarakat sering kontra dengan keputusan pimpinan daerah atas hasil pembangunan karena dianggap tidak menyelesaikan masalah malah membuat masalah baru.
Di sekolahan misalnya, kepala sekolah “X” berkeinginan berat/kuat biar sekolah yang dipimpin kelihatan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat maka harus memperbanyak murid dengan ruang belajar yang terbatas. Terstandarkan untuk ruang belajar maksimal di isi 40 anak didik. Karena ingin murid kelihatan banyak dan juga berharap akan memperbesar pemasukan uang, maka ruang yang terbatas tersebut dipadat-padatkan sehingga satu ruang belajar di isi dengan 50 anak didik di kendalikan oleh seorang guru. Kalau anak didiknya jenius-jenius mungkin tidak begitu bermasalah tatapi tetap bermasalah. Kalau kemampuan anak rata-rata dan di bawah rata-rata dengan 50 anak sangat repot dan melelahkan bagi seorang guru untuk mengendalikan itu sudah pasti. Dan tidak akan terlayani oleh seorang guru, oleh karena itu cara seperti ini tidak efektif dalam melakukan proses pembelajaran. Di sini keputusan kepala sekolah hanya mengejar kuantitas anak didik dan rupiah dan mengorbankan kualitas proses dan hasil didikan. Jadi satu keputusan yang diambil yaitu ingin kelihatan sekolah banyak murid yang selama ini tidak begitu kelihatan karena siswanya relatif sedikit maka menimbulkan masalah baru seperti kualitas peserta didik sudah pasti turun yang sebelumnya juga sudah turun, kelas tidak terkendali, siswa tidak cukup terlayanani dan guru stress, motivasi atau semangat guru megajar juga jadi masalah.
Seharusnya kalau ingin proses dan hasil didikan efektif maka jumlah anak didik/siswa dalam satu ruang belajar harus terbatas dan dibatasi dengan melihat rata-rata kemampuan anak/siswa, sehingga dapat terkendalikan dan terlayani oleh satu orang guru. Realita dan pengalaman, satu ruangan belajar di isi 25 anak/siswa dengan kemampuan rendah seorang guru tidak mampu mengendalikan dan melayani apalagi untuk mencapai proses dan hasil belajar yang efektif juga apalagi ingin meraih tingkat efisien “jauh di mata dekat ke tepian jurang kehancuaran”. Di sini ada dua kemungkinan masalah yaitu ada pada gurunya atau ada pada rata-rata kemampuan anak/siswa. Kalau penulis berkeyakinan permasalahannya ada pada guru yang tidak cukup mampu dalam penguasaan atau pengendalian kelas dan pengembangan metode pembelajaran yang tidak tepat dengan kondisi rata-rata kemampuan anak/siswa yang ada.
Anda familier (kenal akrab) dengan yang namanya “Kemoceng”?. Masih ada yang belum dan ada yang sudah mengenal yang namanya kemoceng. Bagi yang belum tahu disini kita coba meberikan gambaran tentang kemoceng itu apa. Anda pernah lihat ayam?. Yang tidak suka makan daging ayam pasti juga tahu dan mengenal ayam apalali senang makan dengan lauk ayam. Ayam binatang ternak bukan ayam jadi-jadian, karena kata ayam bisa pelebelan tertentu pula yang negatif. Ayam binatang ternak yang berbulu. Oleh pengajin bulu ayam dikumpulkan dan dibersihkan; lalu diikatkan ke sepotong rotan sehingga terbentuk membulat sedemikian rupa dengan sekumpulan bulu ayam yang indah, dengan ukuran panjang antara 30 – 40 cm. Di dalam Kamus Besar Indonesia, kemoceng adalah pembersih dari bulu ayam dsb. Dengan perkembangan kreatif manusia kemoceng/kemucing kemudian sudah ada di buat dari bahan selain dari bahan bulu ayam yaitu ada pula di buat dari plastic.
Apa sih kegunaan dari Kemoceng itu?.
Pada umumnya kemoceng biasa digunakan untuk memberihkan debu seperti di atas meja, terkandang orang suka iseng membersihkan jendela kaca rumah dari tebu juga dengan kemoceng, memberihkan tape recorder/radio, rak buku dan untuk membersihkan debu pada mobil. Yang demikian itu adalah penggunaan kemoceng yang sesungguhnya. Kemoceng juga bisa disalahgunakan orang tertentu misalnya orang tua marah sama anaknya karena membandel disuruh melakukan sesuatu tetapi jawaban si anak “entar-sebentar, entar-sebentar atau entar-sok, entar-besok”, yang akhirnya si orang tua jadi emosi dengan serta merta diambilkannya kemoceng digunakan untuk memukul anaknya. Memukul anak dengan kemoceng sambil mengeluarkan kata-kata sumpah serapah “Dasar anak bandel biar jadi ayam juga kamu”. Bisa juga digunakan untuk mengusir kucing dan yang paling mengelikan kemoceng disalahgunakan untuk mengusir ayam dari dalam rumah.
Bagaimana kepemimpinan gaya kemoceng?
Kalau di perkantoran pimpinan bekerja berhadapan dengan berbagai masalah. Karena ada masalah maka perlu ada cara penyesaian atas masalah yang ada. Tugas pimpinan untuk memecahkan berbagai permasalahan yang ada di kantornya. Biar ada kelihatan perubahan pimpinan mencoba membuat keputusan untuk suatu masalah sebagai cara penyelesaiannya. Yang sebenarnya cara yang digunakan itu tidak efektif apalagi untuk bicara efisien dalam peribahasa “Jauh panggang dari api”. Dan prinsipnya bukan mengatasi malalah atas masalah tetapi memindahkan masalah ke tempat lain yang juga masalah. Contohnya begini; Anda membersihkan menja kerja di kantor dari debu dengan menggunakan kemoceng. Debu yang Anda bersihkan dari menja Anda terbang ke meja lain di dalam kontor Anda. Yang berarti debu tidak hilang dari ruangan kerja Anda dan hanya berusaha memindahkan saja. Keharian esoknya tebu tersebut kembali lagi kemeja Anda karena tertiup angin alam atau AC. Pagi ini dibersihkan besok pagi sudah ada lagi. Repot juga yaa!.
Demikian juga pimpinan yang menggunakan pemcehan masalah dengan gaya kemoceng. Dia tidak mengatasi masalah yang dipermasalahkan tetapi hanya memidahkan dari masalah satu ke masalah baru. Jadi masalah yang lama tidak terselesiakan diciptakan masalah baru sehingga terjadi dua atau lebih masalah. Contohnya seperti masalah samapah diperkotaan. Sampah diambil dari lingkuangan keluarga oleh petugas sampah di bawa ke tempat penampungan sementara (TPS) atau sampah pasar. Kemudian sampah diangkut lagi ke tempat pembuangan akhir (TPA). Di TPS sampah mengeluarkan bau tidak sedap dan membuat pusing tujuh keliling masyarakat berdekatan dengan TPS. Lalu bau sampah tidak sedap tersebut juga membuat bau pada hidung masyarakat yang berdekatan dengan TPA dan menimbulkan protes.
Contoh lain misalnya pengadaan jalan tol dengan tujuan setiap orang pengguna bisa cepat sampai pada tujuan tetapi pembangunan jalan tol tidak serta merta tidak ada masalah seperti masalah banjir menutupi jalan tol itu sendiri bisa terjadi karena pembuangan air dari jalan tol tidak lancar. Air dari jalan tol juga bisa menengelamkan rumah warga yang ada di sekitar jalan tol tersbut. Ini artinya mengatasi satu masalah untuk menimbukan dua atau lebih masalah baru. Mengatasi masalah dengan memindahkan masalah yang sebenarnya tidak efektif. Seperti itulah kira-kira kepemimpinan dengan gaya pendekatan kemoceng dalam menyelesaikan masalah.
Masih banyak contoh-contoh lain yang ada di kantor Anda yaitu bisa di lihat dari pergantian kepemimpinan yang satu kepada kepemimpinan selanjutnya. Instilah sederhana “Bongkar-pasang dan bongkar pasang”. Artinya yang satu datang membongkar dan datang yang satunya lagi memasang dan begitu terus selanjutnya. Juga seperti masyarakat sering kontra dengan keputusan pimpinan daerah atas hasil pembangunan karena dianggap tidak menyelesaikan masalah malah membuat masalah baru.
Di sekolahan misalnya, kepala sekolah “X” berkeinginan berat/kuat biar sekolah yang dipimpin kelihatan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat maka harus memperbanyak murid dengan ruang belajar yang terbatas. Terstandarkan untuk ruang belajar maksimal di isi 40 anak didik. Karena ingin murid kelihatan banyak dan juga berharap akan memperbesar pemasukan uang, maka ruang yang terbatas tersebut dipadat-padatkan sehingga satu ruang belajar di isi dengan 50 anak didik di kendalikan oleh seorang guru. Kalau anak didiknya jenius-jenius mungkin tidak begitu bermasalah tatapi tetap bermasalah. Kalau kemampuan anak rata-rata dan di bawah rata-rata dengan 50 anak sangat repot dan melelahkan bagi seorang guru untuk mengendalikan itu sudah pasti. Dan tidak akan terlayani oleh seorang guru, oleh karena itu cara seperti ini tidak efektif dalam melakukan proses pembelajaran. Di sini keputusan kepala sekolah hanya mengejar kuantitas anak didik dan rupiah dan mengorbankan kualitas proses dan hasil didikan. Jadi satu keputusan yang diambil yaitu ingin kelihatan sekolah banyak murid yang selama ini tidak begitu kelihatan karena siswanya relatif sedikit maka menimbulkan masalah baru seperti kualitas peserta didik sudah pasti turun yang sebelumnya juga sudah turun, kelas tidak terkendali, siswa tidak cukup terlayanani dan guru stress, motivasi atau semangat guru megajar juga jadi masalah.
Seharusnya kalau ingin proses dan hasil didikan efektif maka jumlah anak didik/siswa dalam satu ruang belajar harus terbatas dan dibatasi dengan melihat rata-rata kemampuan anak/siswa, sehingga dapat terkendalikan dan terlayani oleh satu orang guru. Realita dan pengalaman, satu ruangan belajar di isi 25 anak/siswa dengan kemampuan rendah seorang guru tidak mampu mengendalikan dan melayani apalagi untuk mencapai proses dan hasil belajar yang efektif juga apalagi ingin meraih tingkat efisien “jauh di mata dekat ke tepian jurang kehancuaran”. Di sini ada dua kemungkinan masalah yaitu ada pada gurunya atau ada pada rata-rata kemampuan anak/siswa. Kalau penulis berkeyakinan permasalahannya ada pada guru yang tidak cukup mampu dalam penguasaan atau pengendalian kelas dan pengembangan metode pembelajaran yang tidak tepat dengan kondisi rata-rata kemampuan anak/siswa yang ada.
STANDAR SEKOLAH MINIMAL DAN MINIMUM
STANDAR SEKOLAH MINIMAL DAN MINIMUM
Masalah pembangunan pendidikan sama halnya dengan permasalahan program penyelesaian/pengentasan kemiskinan; pengangguran; indonesia sehat; penyelesaikan pembangunan sarana-prasarana umum dsb.
Masalah kemiskinan selama umur dunia ini tidak akan pernah terselesaikan atau tertuntaskan. Kalau di Indonesia bisa kategorikan kemiskinan misalnya tingkat bawah dan sedang. Sangat tidak mungkin menghapus tingkat bawah dan hanya bisa menggurangi sampai tingkat sekecil mungkin. Negara mana pun di dunia ini tidak ada yang bisa menyelesaikan/pengentasan kemiskinan walaupun dengan menggunakan indikator yang berbeda. Kalau Indonesia miskin pada tingkat sedang, mungkin di negara telah maju tingkat sedang itu dikategorikan sebagai miskin tingkat bawah.
Yang perlu kita garisbawahi kemiskinan pada tingkat bawah selalu ada, dan hanya bisa diperkecil sekecilmungkin. Tetapi yang nama program pemerintah dalam hal penyelesaian/pengentasan kemiskinan sepanjang Indonesia masih adan dan itu akan tetap ada.
Untuk mengatakan negara Indonesia tergolong cukup sejahtera, karena secara umum atau mayoritas atau lebih besar yaitu pendapatan rakyat Indonesia menunjukkan kecenderungan sudah masuk kategori/golongan sedang dan cukup sejahtera. Tetapi tetap ada yang namanya miskin tingak bawah; jumlah bisa membesar dan juga bisa mengecil tergantung situasi dan kebijakan dalam bidang ekonomi yang dijalankan oleh pemerintahan yang berkuasa. Pertanyaannya: Apakah kita menunggu masyarakat/rakyat miskin tingkat bawah tersebut mencapai posisi tingkat sedang dan cukup baru kita mengatakan bahwa negara kita sudah berada pada posisi cukup sejahtera?. Kalau kita mengunggu, maka selama umur dunia ini kita tidak pernah mengatakan kita adalah banga yang cukup sejahtera.Demikian pula kalau membicarakan masalah: pengangguran; Indonesia sehat; penyelesaikan pembangunan sarana prasana umum.
Demikian pula permasalahan pembangunan pendidikan misalnya penstandaran kualitas sarara dan prasana dsb. Misalnya sepuluh ribu sekolah tahun “X” tersetandarkan dengan kualitas minimal berati pula masih ada kualitas pendidikan dibawah minimal yaitu minimum. Kalau secara umum kualitas sarana dan prasarana dsb dari pembangunan pendidikan menunjukkan secara umum atau lebih besar sudah berada di posisi minimal; apakah salah, bila kita mengatakan bahwa kualitas pendidikan kita pada posisi standar minimal?. Apakah kita menunggu yang di bawah minimal (yaitu minimum) semuanya harus sudah berada pada posisi standar kualitas minimal baru kita katakana bahwa kualitas pendidikan kita sudah berada pada posisi minimal secara umum?. Sampai kapan itu bisa terjadi?, sampai kiamat Indonesia tidak akan pernah terjadi. Sekali lagi kita tegaskan dalam pendidikan tetap ada di bawah standar minimal dan itu yang diperdebatkan, dan kayaknya kita kekurangan bahan yang perlu diperdebatkan. Perdebatan masalah ini seperti perlombaan tarik tambang pada acara HUT RI tujuhbelasan saja. Yang dicari sekarang bukan lagi permasalahannya karena permasalahannya sudah mengunung tetapi penyelesaian permasalahan tersebut yang harus dicari serta disediakan yang bergunung-gunung.
Yang namanya sekolah formal (negeri dan swasta) didirikan harus bisa memenuhi stantar kuliatas sarana dan prasarana dsb ya yang minimal. Kalau ada di bawah standar minimal itu bukan sekolah formal tetapi sekolah nonformal sudah namanya; sebagai bukti selesai mengikuti proses pendidikan bukan ijazah tetapi sertifikat. Seharusnya pendirian sekolah swasta dapat memperoleh izin oprasional kalau sudah memenuhi standar minimal baik sarana dan prasarana dsb. Yang ada sekarang pun jika tidak memenuhi standar minimal maka harus diberikan status yang jelas dan diperjelas. Terkadang terlalu depat mengambil kesimpulan seperti perkataan “Wah, itu gampang diatur nati”. Hasilnya bisa menjadi tidak teratur karena tidak berdasarkan aturan.
Demikian pula halnya dengan penentuan standar kualitas kelulusan ujian nasional. Kalau sudah menggunakan standar minimal kelulusan, sudah pasti ada hasilnya di bawah standar minimal. Sebagaimana status ekomomi penduduk suatu bangsa pada umumnya ada miskin, sendang, dan kaya. Apakah ada penduduk dari suatu bangsa di muka bumi ini tidak ada yang miskin?. Kalau ada, itu mungkin suatu bangsa khayalan.
Sedemikian juga setiap anak anak didik atau siswa dan mahasiswa, begitu masuk sekolah berarti dia sudah manarok masalah dipundaknya. Bersekolah itu adalah masalah, kalau sesorang memutuskan untuk sekolah berati orang tersebut sudah siap dengan masalah dan menghadapi masalah apa pun yang terjadi. Sebaliknya jika tidak ingin berhadapan dengan masalah pendidikan ya sebaiknya tidak sekolah. Yang perlu menjadi bahan renungan adalah, bersekolah itu untuk siapa siiih?. Untuk tetangga, pacar, atau calon mertua?. Atau untuk diri sendiri?.
Setiap orang tua peserta didik begitu anak masuk sekolah berarti pula bahwa sudah menambah beban permasalahan dipundak dan yang harus dipikul; harus dibuat pikulannya. Atau kalau tidak mau memikul masalah dipundak takut nanti pundak lecet dan badan jadi cepat bongkok ya tidak usah cari masalah dan tidak usah memikirkan bagaimana membuat pikulan yang lentur dan enak kalau di bawa berjalan.
Alternatif solusinya adalah sbb:
Kualitas pendidikan baik dari kualitas sarana dan prasarana dsb, masih di bawah standar kalau memungkinkan dikerek supaya berada pada posisi standar minimal; yang tidak bisa maka diberikan status sekolah nonformal dengan perolehan sertifikat sebagai tanda tamat proses pendidikan dan tidak untuk melanjutkan, memang cecara ekonomi tidak mungkin untuk melanjutkan kejenjang yang lebih lanjut. Atau secara wilayah atau geografi/penduduknya masih sangat belum memungkinkan adanya sekolah formal. Kalau yang sudah memperoleh standar minimal harus meningkatkan lagi jangan selamanya minimal itu sama saja pengelolanya yang mati.
Tujuan dari pendidikan nonformal ini adalah dalam rangka pemberantasan buta angka/aksara sebagai dasar bersosialisasi atau interaksi sosial. Yang mungkin sekolahnya berada di puncak gunung sana atau di dasar lautan sana yang tidak kelihata di dalam peta. Karena sekolah nonformal, tidak harus melakukan proses belajar di dalam kelas sekolah, bisa dilakukan di rumah-rumah, di masjid/mushola, di gereja dsb; dengan nama kelompok belajar atau apa lah namanya dan yang terpenting adalah tujunannya.
Khsususnya sekolah di kota-kota aneh kalau mendapatkan nilai akreditasi dengan nilai B apalagi C dari periode ke periode penilaian yang berarti itu sekolah salah urus karena yang mengurus (mengelola) tidak cukup kompetensi untuk mengurus. Dari pergantian kepala sekolah ke kepala sekolah selanjutnya terus seperti itu dan oleh karena itu sangat tidak rasional. Kasarnya misalnya begini; sekolah yang sudah berdiri dari zaman Hidia Belanda sampai zaman sekarang ini tetap mengantongi nilai akrediatsi B. Ya minimal harus mendapatkan nilai akreditasi A “kempis” kalau tidak bisa A “penuh”. Dan tidak selamanya juga bertahan dengan A “kempis”. Itu sama halnya dengan peribahasa “Hidup segan mati pun tidak mau”. Solusi untuk yang demikian itu lebih baik datangkan mesin perata tanah. Jadi harus ada usaha yang sungguh-sungguh dalam memajukan pengelolaan sekolah. Permasalahan itu terjadi karena kesalahan sistem rekrutmen dan seleksi balon (bakal calon) kepada sekolah.
Pernah beberapakali mendengar perkataan kepala sekolah/madrasah : “Manjemen dan administrasi sekolah kita belum bagus atau “jelek””. Tetapi tidak pernah ada kelihatan peningkatan kompetensi diri dari kepala sekolah yang bersangkutan untuk lebih mampu atau berdaya guna melapaskan ketidakberdayaannya. Apalagi sekolah negeri di DKI Jakarta misalnya akreditasinya B lebih baik digembok saja dan jadikan jadi sarana olah raga masyarakat atau taman kota atau danau situ (tampungan air) yang lebih bermanfaat dan efektif dalam menaggulagi bajir.
Masalah pembangunan pendidikan sama halnya dengan permasalahan program penyelesaian/pengentasan kemiskinan; pengangguran; indonesia sehat; penyelesaikan pembangunan sarana-prasarana umum dsb.
Masalah kemiskinan selama umur dunia ini tidak akan pernah terselesaikan atau tertuntaskan. Kalau di Indonesia bisa kategorikan kemiskinan misalnya tingkat bawah dan sedang. Sangat tidak mungkin menghapus tingkat bawah dan hanya bisa menggurangi sampai tingkat sekecil mungkin. Negara mana pun di dunia ini tidak ada yang bisa menyelesaikan/pengentasan kemiskinan walaupun dengan menggunakan indikator yang berbeda. Kalau Indonesia miskin pada tingkat sedang, mungkin di negara telah maju tingkat sedang itu dikategorikan sebagai miskin tingkat bawah.
Yang perlu kita garisbawahi kemiskinan pada tingkat bawah selalu ada, dan hanya bisa diperkecil sekecilmungkin. Tetapi yang nama program pemerintah dalam hal penyelesaian/pengentasan kemiskinan sepanjang Indonesia masih adan dan itu akan tetap ada.
Untuk mengatakan negara Indonesia tergolong cukup sejahtera, karena secara umum atau mayoritas atau lebih besar yaitu pendapatan rakyat Indonesia menunjukkan kecenderungan sudah masuk kategori/golongan sedang dan cukup sejahtera. Tetapi tetap ada yang namanya miskin tingak bawah; jumlah bisa membesar dan juga bisa mengecil tergantung situasi dan kebijakan dalam bidang ekonomi yang dijalankan oleh pemerintahan yang berkuasa. Pertanyaannya: Apakah kita menunggu masyarakat/rakyat miskin tingkat bawah tersebut mencapai posisi tingkat sedang dan cukup baru kita mengatakan bahwa negara kita sudah berada pada posisi cukup sejahtera?. Kalau kita mengunggu, maka selama umur dunia ini kita tidak pernah mengatakan kita adalah banga yang cukup sejahtera.Demikian pula kalau membicarakan masalah: pengangguran; Indonesia sehat; penyelesaikan pembangunan sarana prasana umum.
Demikian pula permasalahan pembangunan pendidikan misalnya penstandaran kualitas sarara dan prasana dsb. Misalnya sepuluh ribu sekolah tahun “X” tersetandarkan dengan kualitas minimal berati pula masih ada kualitas pendidikan dibawah minimal yaitu minimum. Kalau secara umum kualitas sarana dan prasarana dsb dari pembangunan pendidikan menunjukkan secara umum atau lebih besar sudah berada di posisi minimal; apakah salah, bila kita mengatakan bahwa kualitas pendidikan kita pada posisi standar minimal?. Apakah kita menunggu yang di bawah minimal (yaitu minimum) semuanya harus sudah berada pada posisi standar kualitas minimal baru kita katakana bahwa kualitas pendidikan kita sudah berada pada posisi minimal secara umum?. Sampai kapan itu bisa terjadi?, sampai kiamat Indonesia tidak akan pernah terjadi. Sekali lagi kita tegaskan dalam pendidikan tetap ada di bawah standar minimal dan itu yang diperdebatkan, dan kayaknya kita kekurangan bahan yang perlu diperdebatkan. Perdebatan masalah ini seperti perlombaan tarik tambang pada acara HUT RI tujuhbelasan saja. Yang dicari sekarang bukan lagi permasalahannya karena permasalahannya sudah mengunung tetapi penyelesaian permasalahan tersebut yang harus dicari serta disediakan yang bergunung-gunung.
Yang namanya sekolah formal (negeri dan swasta) didirikan harus bisa memenuhi stantar kuliatas sarana dan prasarana dsb ya yang minimal. Kalau ada di bawah standar minimal itu bukan sekolah formal tetapi sekolah nonformal sudah namanya; sebagai bukti selesai mengikuti proses pendidikan bukan ijazah tetapi sertifikat. Seharusnya pendirian sekolah swasta dapat memperoleh izin oprasional kalau sudah memenuhi standar minimal baik sarana dan prasarana dsb. Yang ada sekarang pun jika tidak memenuhi standar minimal maka harus diberikan status yang jelas dan diperjelas. Terkadang terlalu depat mengambil kesimpulan seperti perkataan “Wah, itu gampang diatur nati”. Hasilnya bisa menjadi tidak teratur karena tidak berdasarkan aturan.
Demikian pula halnya dengan penentuan standar kualitas kelulusan ujian nasional. Kalau sudah menggunakan standar minimal kelulusan, sudah pasti ada hasilnya di bawah standar minimal. Sebagaimana status ekomomi penduduk suatu bangsa pada umumnya ada miskin, sendang, dan kaya. Apakah ada penduduk dari suatu bangsa di muka bumi ini tidak ada yang miskin?. Kalau ada, itu mungkin suatu bangsa khayalan.
Sedemikian juga setiap anak anak didik atau siswa dan mahasiswa, begitu masuk sekolah berarti dia sudah manarok masalah dipundaknya. Bersekolah itu adalah masalah, kalau sesorang memutuskan untuk sekolah berati orang tersebut sudah siap dengan masalah dan menghadapi masalah apa pun yang terjadi. Sebaliknya jika tidak ingin berhadapan dengan masalah pendidikan ya sebaiknya tidak sekolah. Yang perlu menjadi bahan renungan adalah, bersekolah itu untuk siapa siiih?. Untuk tetangga, pacar, atau calon mertua?. Atau untuk diri sendiri?.
Setiap orang tua peserta didik begitu anak masuk sekolah berarti pula bahwa sudah menambah beban permasalahan dipundak dan yang harus dipikul; harus dibuat pikulannya. Atau kalau tidak mau memikul masalah dipundak takut nanti pundak lecet dan badan jadi cepat bongkok ya tidak usah cari masalah dan tidak usah memikirkan bagaimana membuat pikulan yang lentur dan enak kalau di bawa berjalan.
Alternatif solusinya adalah sbb:
Kualitas pendidikan baik dari kualitas sarana dan prasarana dsb, masih di bawah standar kalau memungkinkan dikerek supaya berada pada posisi standar minimal; yang tidak bisa maka diberikan status sekolah nonformal dengan perolehan sertifikat sebagai tanda tamat proses pendidikan dan tidak untuk melanjutkan, memang cecara ekonomi tidak mungkin untuk melanjutkan kejenjang yang lebih lanjut. Atau secara wilayah atau geografi/penduduknya masih sangat belum memungkinkan adanya sekolah formal. Kalau yang sudah memperoleh standar minimal harus meningkatkan lagi jangan selamanya minimal itu sama saja pengelolanya yang mati.
Tujuan dari pendidikan nonformal ini adalah dalam rangka pemberantasan buta angka/aksara sebagai dasar bersosialisasi atau interaksi sosial. Yang mungkin sekolahnya berada di puncak gunung sana atau di dasar lautan sana yang tidak kelihata di dalam peta. Karena sekolah nonformal, tidak harus melakukan proses belajar di dalam kelas sekolah, bisa dilakukan di rumah-rumah, di masjid/mushola, di gereja dsb; dengan nama kelompok belajar atau apa lah namanya dan yang terpenting adalah tujunannya.
Khsususnya sekolah di kota-kota aneh kalau mendapatkan nilai akreditasi dengan nilai B apalagi C dari periode ke periode penilaian yang berarti itu sekolah salah urus karena yang mengurus (mengelola) tidak cukup kompetensi untuk mengurus. Dari pergantian kepala sekolah ke kepala sekolah selanjutnya terus seperti itu dan oleh karena itu sangat tidak rasional. Kasarnya misalnya begini; sekolah yang sudah berdiri dari zaman Hidia Belanda sampai zaman sekarang ini tetap mengantongi nilai akrediatsi B. Ya minimal harus mendapatkan nilai akreditasi A “kempis” kalau tidak bisa A “penuh”. Dan tidak selamanya juga bertahan dengan A “kempis”. Itu sama halnya dengan peribahasa “Hidup segan mati pun tidak mau”. Solusi untuk yang demikian itu lebih baik datangkan mesin perata tanah. Jadi harus ada usaha yang sungguh-sungguh dalam memajukan pengelolaan sekolah. Permasalahan itu terjadi karena kesalahan sistem rekrutmen dan seleksi balon (bakal calon) kepada sekolah.
Pernah beberapakali mendengar perkataan kepala sekolah/madrasah : “Manjemen dan administrasi sekolah kita belum bagus atau “jelek””. Tetapi tidak pernah ada kelihatan peningkatan kompetensi diri dari kepala sekolah yang bersangkutan untuk lebih mampu atau berdaya guna melapaskan ketidakberdayaannya. Apalagi sekolah negeri di DKI Jakarta misalnya akreditasinya B lebih baik digembok saja dan jadikan jadi sarana olah raga masyarakat atau taman kota atau danau situ (tampungan air) yang lebih bermanfaat dan efektif dalam menaggulagi bajir.
Tuesday, January 19, 2010
TERAMPIL
TERAMPIL
Manusia dituntut untuk mendapatkan atau memperoleh keterampilan. Apakah itu diperoleh melalui pendidikan formal (di sekolah) dan nonformal (di luar kegiatan resmi sekolah seperti lembaga pendidikan dan pelatihan kerja atau kursus) dan informal (di dalam keluarga).
Apakah itu terampil itu?.
Terampil adalah cakap menyelesaikan tugas; mampu dan cekatan. Jadi terampil itu menekankan pada kata cakap, mampu dan cekatan. Kalau begitu apa dong arti kata cakap, mampu dan cekatan itu?. Cakap adalah pandai atau mahir dalam melakukan sesuatu. Mampu adalah kuasa (bisa, sanggup) melakukan sesuatu; dapat melakukan sesuatu. Cekatan adalah cepat mengerti; pinter; cerdik.
Pengertian yang sederhana tentang terampil dapat kita rumuskan yaitu: Terampil adalah seseorang yang pandai dan sanggup serta cerdik (banyak akalnya) dalam memulai, melaksanakan dan penyeselaian pekerjaan.
Apa gunanya terampil?.
Seseorang yang terampil sangat berguna; berguna bagi dirinya dan berguna bagi orang lain, berguna bagi organisasi dimana dia bekerja. Jika sesorang dapat memiliki atau membuat dirinya jadi terampil dalam bidang tertentu maka dia itu sudah memberi kebergunaan atau kebermanfaatan dirinya. Dalam kata lain; memberdayakan diri agar lebih berdaya. Yang berarti pula dia sudah mempunyai nilai atau harga. Artinya, dengan kepemilikan keterampilan tertentu seseorang dapat bekerja dengan orang lain atau melakukan suatu pekerjaan usaha produktif secara mandiri. Dengan seseorang telah bekerja atau membuat pekerjaan sendiri berarti orang tersebut sudah bisa mengatasi permasalahan hidup yaitu dapat menghasilkan uang dari keterampilan yang dipunyai.
Apa tujuannya?.
Tujuan kita (seseorang) mempunyai terampil atau keterampilan dalam bidang tertentu agar menjadi orang yang berguna dan menghasilkan barang atau uang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mulai dari yang paling sederhana, sedang dan tinggi.
Bagiamana memperoleh keterampilan itu?.
Pertanyaan yang ringan dan ringan pula jawabanya yaitu belajar dan berlatih. Belajar yaitu pelajari ilmunya serta fahami secara baik, tentang sesuatu yang kita inginkan kita terampil. Tentu kita tidak cukup belajar tentang ilmunya tetapi harus dipraktikan yaitu dengan latihan. Sehingga antara ilmu pengetahuan yang telah kita miliki secara mendalam dan luas dalam bidang tertentu serta mampu mepraktikan itu yang kita sebut dengan orang yang profesional. Seperti yang disarankan: “Perkataan harus sesuai dengan perbuatan”. Kalau hannya perkataan dan tidak diikuti dengan perbuatan itu seperti pepatah yang berbunyi: “Tong kosong nyaring bunyinya”.
Belajar di sekolah formal belajar lebih kepada memperbanyak teori serta pengetahuan sedikit keterampilan. Kalau belajar jalur nonformal teori dan praktik sama-sama diperkuat. Seperti halnya program Diklat di instansi pemerintahan dan organisasi-organisasi linnya. Belajar informal yaitu belaja di dalam keluarga seperti anak belajar dari kedua orangtunya. Biasanya kalau orangtunya pedangang maka anaknya juga bisa dagang.
Perlu kita garisbawahi bahwa belajar keterampilan yang kita maksud disini adalah belajar keterampilan yang positif. Bukan dalam arti negatif seperti: terampil mencopet, maling, korup, pungli, berbohong, menipu dsb.
Jika Anda mempunyai kemampuan otak yang bagus dan mampu dalam keuangan perlu mengikuti pendidikan formal yang setinggi-tingginya, jika Anda kemampuan otaknya ada tetapi tidak didukung dengan kemampuan keuangan atau sebaliknya kemampuan otaknya tidak mampu/kurang mampu tetapi mampu dalam keuangan (pendanaan) maka yang cocok mengambil jalur pendidikan nonformal agar tidak stress. Persiapkan diri Anda untuk bisa bekerja atau produktif bukan mempersiakan diri Anda jadi tidak produktif; pengagguran. Pengangguran merupakan virus yang akan menyerang orang yang bermental lemah dan akan membuat orang semakin tidak berdaya dan bisa berakibat fatal.
Pertanyaan sebagai penutup adalah: Keterampilan apa yang sudah kita punyai sebagai salah satu modal untuk mengelo hidup kita dan yang bisa kita andalkan?. Yang belum ada maka diadakan dan yang sudah ada digunakan untuk tujuan yang sangat berguna.
Manusia dituntut untuk mendapatkan atau memperoleh keterampilan. Apakah itu diperoleh melalui pendidikan formal (di sekolah) dan nonformal (di luar kegiatan resmi sekolah seperti lembaga pendidikan dan pelatihan kerja atau kursus) dan informal (di dalam keluarga).
Apakah itu terampil itu?.
Terampil adalah cakap menyelesaikan tugas; mampu dan cekatan. Jadi terampil itu menekankan pada kata cakap, mampu dan cekatan. Kalau begitu apa dong arti kata cakap, mampu dan cekatan itu?. Cakap adalah pandai atau mahir dalam melakukan sesuatu. Mampu adalah kuasa (bisa, sanggup) melakukan sesuatu; dapat melakukan sesuatu. Cekatan adalah cepat mengerti; pinter; cerdik.
Pengertian yang sederhana tentang terampil dapat kita rumuskan yaitu: Terampil adalah seseorang yang pandai dan sanggup serta cerdik (banyak akalnya) dalam memulai, melaksanakan dan penyeselaian pekerjaan.
Apa gunanya terampil?.
Seseorang yang terampil sangat berguna; berguna bagi dirinya dan berguna bagi orang lain, berguna bagi organisasi dimana dia bekerja. Jika sesorang dapat memiliki atau membuat dirinya jadi terampil dalam bidang tertentu maka dia itu sudah memberi kebergunaan atau kebermanfaatan dirinya. Dalam kata lain; memberdayakan diri agar lebih berdaya. Yang berarti pula dia sudah mempunyai nilai atau harga. Artinya, dengan kepemilikan keterampilan tertentu seseorang dapat bekerja dengan orang lain atau melakukan suatu pekerjaan usaha produktif secara mandiri. Dengan seseorang telah bekerja atau membuat pekerjaan sendiri berarti orang tersebut sudah bisa mengatasi permasalahan hidup yaitu dapat menghasilkan uang dari keterampilan yang dipunyai.
Apa tujuannya?.
Tujuan kita (seseorang) mempunyai terampil atau keterampilan dalam bidang tertentu agar menjadi orang yang berguna dan menghasilkan barang atau uang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mulai dari yang paling sederhana, sedang dan tinggi.
Bagiamana memperoleh keterampilan itu?.
Pertanyaan yang ringan dan ringan pula jawabanya yaitu belajar dan berlatih. Belajar yaitu pelajari ilmunya serta fahami secara baik, tentang sesuatu yang kita inginkan kita terampil. Tentu kita tidak cukup belajar tentang ilmunya tetapi harus dipraktikan yaitu dengan latihan. Sehingga antara ilmu pengetahuan yang telah kita miliki secara mendalam dan luas dalam bidang tertentu serta mampu mepraktikan itu yang kita sebut dengan orang yang profesional. Seperti yang disarankan: “Perkataan harus sesuai dengan perbuatan”. Kalau hannya perkataan dan tidak diikuti dengan perbuatan itu seperti pepatah yang berbunyi: “Tong kosong nyaring bunyinya”.
Belajar di sekolah formal belajar lebih kepada memperbanyak teori serta pengetahuan sedikit keterampilan. Kalau belajar jalur nonformal teori dan praktik sama-sama diperkuat. Seperti halnya program Diklat di instansi pemerintahan dan organisasi-organisasi linnya. Belajar informal yaitu belaja di dalam keluarga seperti anak belajar dari kedua orangtunya. Biasanya kalau orangtunya pedangang maka anaknya juga bisa dagang.
Perlu kita garisbawahi bahwa belajar keterampilan yang kita maksud disini adalah belajar keterampilan yang positif. Bukan dalam arti negatif seperti: terampil mencopet, maling, korup, pungli, berbohong, menipu dsb.
Jika Anda mempunyai kemampuan otak yang bagus dan mampu dalam keuangan perlu mengikuti pendidikan formal yang setinggi-tingginya, jika Anda kemampuan otaknya ada tetapi tidak didukung dengan kemampuan keuangan atau sebaliknya kemampuan otaknya tidak mampu/kurang mampu tetapi mampu dalam keuangan (pendanaan) maka yang cocok mengambil jalur pendidikan nonformal agar tidak stress. Persiapkan diri Anda untuk bisa bekerja atau produktif bukan mempersiakan diri Anda jadi tidak produktif; pengagguran. Pengangguran merupakan virus yang akan menyerang orang yang bermental lemah dan akan membuat orang semakin tidak berdaya dan bisa berakibat fatal.
Pertanyaan sebagai penutup adalah: Keterampilan apa yang sudah kita punyai sebagai salah satu modal untuk mengelo hidup kita dan yang bisa kita andalkan?. Yang belum ada maka diadakan dan yang sudah ada digunakan untuk tujuan yang sangat berguna.
Saturday, January 16, 2010
TUBUH SEHAT JIWA PIKIRAN SEHAT
DI DALAM TUBUH YANG SEHAT TERDAPAT JIWA DAN PIKIRAN YANG SEHAT.
Tubuh yang sehat jika diperhatikan kesehatannya oleh orang yang mempunyai tubuh adalah untuk orang dewasa dan tua. Untuk anak bayi, balita, anak-anak diperhatikan oleh bapak dan ibunya. Tubuh yang sehat jika memasukan makanan dan minuman yang sehat ke dalam tubu kita. Makanan dan minuman yang sehat bukan hanya di lihat dari unsur gizi dan protein kandungannya tetapi juga harus legal (halal). Halal dalam arti tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama yang membolehkan dan tidak boleh memakan dan meminum maupun dipakai. Legal/halal juga dalam pengertian tidak mengambil sesuatu dengan: merampok, mencopet, mencuri, kibul/menipu, mengkorupsi dan pungli dsb.
Memasukan sesuatu (makanan-minuman) ke dalam tubuh dari yang sehat (legal/halal) akan menimbulkan jiwa dan pikiran yang sehat. Memakai barang-barang yang diperoleh dari cara-cara yang legal/halal dengan perasaan senang, tenang dan tenteram. Lain halnya kalau memakai barang-barang dipakai yang diperoleh dengan cara-cara tidak legal/halal akan tidak tenang dan tenteram. Tidak menggunakan pernyataan seperti: “Mencari yang legal/halal saja susah apalagi yang tidak legal/tidak halal (haram)”. Prinsip ini adalah prinsip orang kalap; menglegalkan/menghalalkan segala cara. Berarti sudah juah meninggalkan pesan dan nilai-nilai moralitas dalam agama yang dinyakininya. Maka rusaklah jiwa dan pikirannya dan akan berpengaruh terhadap fisik.
Contoh makanan dan minuman tidak legal/halal seperti NARKOBA. Contoh mengambil sesuatu dengan cara-cara tidak legal/halal seperti maling, rampok, koruptor dsb: dipejaraka; sakit jiwa dan pikirannya dan sakit fiskiknya, stress, struk dan mati.
Pola hidup yang teratur yaitu makan dan minum yang legal/halal dan teratur; istirahat dan tidur yang cukup dan teratur; olah raga teratur dan cukup, akan menimbulkan tubuh yang sehat. Sehat tubuh, sehat jiwa dan sehat pikiran.
Tubuh yang sehat jika diperhatikan kesehatannya oleh orang yang mempunyai tubuh adalah untuk orang dewasa dan tua. Untuk anak bayi, balita, anak-anak diperhatikan oleh bapak dan ibunya. Tubuh yang sehat jika memasukan makanan dan minuman yang sehat ke dalam tubu kita. Makanan dan minuman yang sehat bukan hanya di lihat dari unsur gizi dan protein kandungannya tetapi juga harus legal (halal). Halal dalam arti tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama yang membolehkan dan tidak boleh memakan dan meminum maupun dipakai. Legal/halal juga dalam pengertian tidak mengambil sesuatu dengan: merampok, mencopet, mencuri, kibul/menipu, mengkorupsi dan pungli dsb.
Memasukan sesuatu (makanan-minuman) ke dalam tubuh dari yang sehat (legal/halal) akan menimbulkan jiwa dan pikiran yang sehat. Memakai barang-barang yang diperoleh dari cara-cara yang legal/halal dengan perasaan senang, tenang dan tenteram. Lain halnya kalau memakai barang-barang dipakai yang diperoleh dengan cara-cara tidak legal/halal akan tidak tenang dan tenteram. Tidak menggunakan pernyataan seperti: “Mencari yang legal/halal saja susah apalagi yang tidak legal/tidak halal (haram)”. Prinsip ini adalah prinsip orang kalap; menglegalkan/menghalalkan segala cara. Berarti sudah juah meninggalkan pesan dan nilai-nilai moralitas dalam agama yang dinyakininya. Maka rusaklah jiwa dan pikirannya dan akan berpengaruh terhadap fisik.
Contoh makanan dan minuman tidak legal/halal seperti NARKOBA. Contoh mengambil sesuatu dengan cara-cara tidak legal/halal seperti maling, rampok, koruptor dsb: dipejaraka; sakit jiwa dan pikirannya dan sakit fiskiknya, stress, struk dan mati.
Pola hidup yang teratur yaitu makan dan minum yang legal/halal dan teratur; istirahat dan tidur yang cukup dan teratur; olah raga teratur dan cukup, akan menimbulkan tubuh yang sehat. Sehat tubuh, sehat jiwa dan sehat pikiran.
PERMASALAHAN PEMERINTAHAN DALAM SISTEM KEPEMERINTAHAN
PERMASALAHAN PENYELENGGARAAN & PELAKSANAAN PEMERINTAHAN
DALAM SISTEM KEPEMERINTAHAN INDONESIA.
Permasalahan.
Permasalahan pemerintahan sebagai suatu sistem kepemerintahan yang meliputi legislative, eksekutif /birokrasi dan yudikatif, dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan pemerintahan dipersepsikan oleh masyarakat tidak/kurang baik adalah karena permasalahan mental, sepiritual, sistem, dan budaya.
Perbaikan.
Perbaikan birokrasi pemerintah adalah perbaikan terhadap aspek manusianya dan aspek sistemnya. Aspek manusia (legislative, eksekutif/birokrasi dan yudikatif) yaitu: mental manusianya; spiritual manusianya; dan budaya manusianya. Dan aspek sistem yaitu: kompensasinya; pengawasannya; penilaian kinerjanya; pengembangan kariernya dan pendidikan dan pelatihannya; dan sanksinya.
Perbaikan terhadap aspek mental, spiritual, sistem dan budaya harus dilakukan serta ditingkatkan dari apa yang sudah ada saat ini untuk perbaikan kedepan yang lebih baik sehingga dapat berdampak dalam sikap dan perilaku saat melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing yang berkualitas.
Perbaikan Dari Sumber.
Legislative, ekskutif /birokrasi dan yudikatif bersumber dari masyarakat. Oleh karena itu yang harus dibangun dan diperkuat pembangunan mental, spiritual dan budaya dalam keluarga dan dalam lembaga pendidikan.
Perbaikan Di Dalam Kepartaian.
Khusus untuk jabatan politis dalam sistem kepemerintahan pembangunan mental, spiritual dan budaya yang lebih mendalam dilakukan di dalam organasisi kepartaian. Bahkan bukan hannya itu yang perlu dibangun. Yang perlu dibangun dan dikembangkan pula adalah pengembanan wawasan pengetahuan dan keterampilan atau kompetensi yang terkait dengan task/job (tugas/pekerjaan) atau jabatan politik. Hal ini penting karena permasalahan yang dihadapi pada masa-masa mendatang semakin komplek (rumit) oleh karena itu membutuhkan sumber daya manusia yang profesional dalam bidang task/job atau jabatan politik tersebut. Oleh karena itu pula, rekrutmen dari anggota partai politik minimal S1. Demikian pula untuk jabatan eksekutif dan yudikatif harus menyesuaikan. Jabatan politik bukan lagi di isi dengan orang-orang yang punya uang, punya tampang, terkenal tetapi tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang berkualitas. Kalau orangnya punya uang, tampang dan terkenal dan juga berpendidikan minimal strata S1 itu sudah punya modal doubel. Apalagi sudah berpengalaman dalam kepartaian minimal lima tahun, itu sudah multi kualitas.
Perbaikan Pemimpin dan Orang yang Dipimpin.
Di dalam birokrasi perbaikan melalui pendidikan dan pelatihan dan melalui pencontohan oleh kepribadian pimpinan baik mental, spiritual, dan budaya berkualitas terhadap orang-orang yang dipimpin. Oleh karena itu pula rekrutmen untuk pimpinan harus punya mental, spiritual dan budaya kerja yang baik.
Partisipasi Artis Dalam Politik.
Pantasnya para artis yang ingin berpartisipasi di dalam politik praktis tidak meninggalkan lembaga pendidikan formal (legal); supaya berkulitas di dalam dunia pendidikan dan berkualitas pula di dalam bidang acting dan dunia perpolitikan. Tidak sebagai wakil-wakilan yang akan menciptakan penilaian masyarakat atau rakyat (pemilih) kurang baik atau mengecewakan. Seorang artis dengan tingkat pendidikan yang memadai S1, S2 atau S3 kan mempunyai nilai lebih. Jika suatu saat mengalami kebosanan mengeluti dunia acting beralih ke dunia politik dsb akan lebih siap karena sudah mempersiapkan diri. Selama ini ada kesan bahwa orang-orang artis ingin atau tertarik dengan ajakan partai untuk bergabung karena prestise, jabatan, kekuasan, rupiah, pengakuan dan keakuan, dengan sedikit mengabaikan penilaian tentang “pantas atau tidak pantas”.
Jabatan politik adalah jabatan untuk menampung dan melaksanakan aspirasi dari rakyat pemilih; apalagi kalau sudah terpilih bukan lagi pembawa dan melaksanakan aspirasi kantong-kantong pemilih tetapi sudah bersifat menyeluruh yaitu seluruh masyarakat Indonesia. Misalnya terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan kan bukan hanya untuk sekelompok orang pemilih atau ditujukan kepada sekelompok bukan pemilih tapi akan ditujukan untuk publik. Tidak lagi mengenal rakyat pemilih dan bukan pemilih. Tidak lagi mengenal warna-warni bendera partai, yang adalah perubahan dan perbaikan untuk semua. Yang ada adalah nama lembaga: MPR RI; DPR RI; Presiden RI, bukan MPR Partai; DPR Partai dan seterusnya. Sebagaimana konsep yang berlaku di Indonesia ini yang mengatakan “Mendahulukan kepentingan orang banyak (“publik”) daripada kepentingan individu dan kelompok”. Kalau orang-orang partai yang ada di dalam sistem kepemerintahan maupun yang berada di luar sistem kepemerintahan saat ini yang juga akan berusaha mendapatkan kesempatan pada saat yang lain untuk mengambil peran. Jika yang ada di dalam sistem maupun di luar sistem dengan memasang niat dan tujuan pristise, jabatan, kekuasaan, rupiah, pengakuan dan keakuan; itu sangat bertentangan dengan kosep “mendahulukan kepentingan orang banyak (publik)” tetapi lebih kepada kepentingan individu dan kelompok. Lembaga perwakilan rakyat dan institusi pemerintahan lainya adalah milik publik bukan milik dari suatu partai tertentu; karena keberadaan lembaga dewan atau institusi pemerintah ditujukan keberadaannya untuk publik. Tidak berbeda dengan jika orang-orang partai yang berada di dalam sistem kepemerintahan tidak bisa berbuat banyak untuk orang banyak tetapi hanya bisa berbuat mengambil lebih banyak dari sautu kedudukan, ini juga sudah mengarah kepada memburu kepentingan individu dan kelompok, sehingga nilai moralitas pengabdian kepada bangsa-negara, rakyat/masyarakat menjadi kabur, alias tidak jelas. Sehingga nilai mudarat (tidak baiknya) lebih besar dari nilai kebermanfaatnya. Dengan mempertimbankan nilai ketidakbaikannya dengan nilai kebermanfaatannya maka kita bisa memposisikan diri sesuai dengan posisi yang tepat.
Masyarakat Menggunakan Kecedasannya.
Masyarakat harus semakin cerdas dan menggunakan kecerdasannya untuk memilih wakil-wakilnya. Jangan hanya percaya dengan pandangan mata semata, tetapi banyak mendengar dan bertanya, harus menggunakan pikiran dan harus dirasakan dengan hati dalam memutuskan pilihan yang setepat-tepantnya. Sama halnya dengan kita mau membeli sesuatu barang yang masih asing (belum dikenal). Sebelum kita memutuskan untuk membeli, kita banyak bertanya kepada banyak orang yang sedikit banyak tahu tentang kelebihan dan kekurangan barang tersebut. Jadi tidak gampang terpesona mata dengan gaya dan tampilan barang terkesan wah (mewah) yang sebenarnya weh-weleh payah deh. Prinsipnya sederhana yaitu dari yang terbaik pasti ada yang paling baik, demikin pula dari yang baik ada lebih baik dan dari yang tidak baik ada yang baik atau mendingan.
DALAM SISTEM KEPEMERINTAHAN INDONESIA.
Permasalahan.
Permasalahan pemerintahan sebagai suatu sistem kepemerintahan yang meliputi legislative, eksekutif /birokrasi dan yudikatif, dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan pemerintahan dipersepsikan oleh masyarakat tidak/kurang baik adalah karena permasalahan mental, sepiritual, sistem, dan budaya.
Perbaikan.
Perbaikan birokrasi pemerintah adalah perbaikan terhadap aspek manusianya dan aspek sistemnya. Aspek manusia (legislative, eksekutif/birokrasi dan yudikatif) yaitu: mental manusianya; spiritual manusianya; dan budaya manusianya. Dan aspek sistem yaitu: kompensasinya; pengawasannya; penilaian kinerjanya; pengembangan kariernya dan pendidikan dan pelatihannya; dan sanksinya.
Perbaikan terhadap aspek mental, spiritual, sistem dan budaya harus dilakukan serta ditingkatkan dari apa yang sudah ada saat ini untuk perbaikan kedepan yang lebih baik sehingga dapat berdampak dalam sikap dan perilaku saat melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing yang berkualitas.
Perbaikan Dari Sumber.
Legislative, ekskutif /birokrasi dan yudikatif bersumber dari masyarakat. Oleh karena itu yang harus dibangun dan diperkuat pembangunan mental, spiritual dan budaya dalam keluarga dan dalam lembaga pendidikan.
Perbaikan Di Dalam Kepartaian.
Khusus untuk jabatan politis dalam sistem kepemerintahan pembangunan mental, spiritual dan budaya yang lebih mendalam dilakukan di dalam organasisi kepartaian. Bahkan bukan hannya itu yang perlu dibangun. Yang perlu dibangun dan dikembangkan pula adalah pengembanan wawasan pengetahuan dan keterampilan atau kompetensi yang terkait dengan task/job (tugas/pekerjaan) atau jabatan politik. Hal ini penting karena permasalahan yang dihadapi pada masa-masa mendatang semakin komplek (rumit) oleh karena itu membutuhkan sumber daya manusia yang profesional dalam bidang task/job atau jabatan politik tersebut. Oleh karena itu pula, rekrutmen dari anggota partai politik minimal S1. Demikian pula untuk jabatan eksekutif dan yudikatif harus menyesuaikan. Jabatan politik bukan lagi di isi dengan orang-orang yang punya uang, punya tampang, terkenal tetapi tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang berkualitas. Kalau orangnya punya uang, tampang dan terkenal dan juga berpendidikan minimal strata S1 itu sudah punya modal doubel. Apalagi sudah berpengalaman dalam kepartaian minimal lima tahun, itu sudah multi kualitas.
Perbaikan Pemimpin dan Orang yang Dipimpin.
Di dalam birokrasi perbaikan melalui pendidikan dan pelatihan dan melalui pencontohan oleh kepribadian pimpinan baik mental, spiritual, dan budaya berkualitas terhadap orang-orang yang dipimpin. Oleh karena itu pula rekrutmen untuk pimpinan harus punya mental, spiritual dan budaya kerja yang baik.
Partisipasi Artis Dalam Politik.
Pantasnya para artis yang ingin berpartisipasi di dalam politik praktis tidak meninggalkan lembaga pendidikan formal (legal); supaya berkulitas di dalam dunia pendidikan dan berkualitas pula di dalam bidang acting dan dunia perpolitikan. Tidak sebagai wakil-wakilan yang akan menciptakan penilaian masyarakat atau rakyat (pemilih) kurang baik atau mengecewakan. Seorang artis dengan tingkat pendidikan yang memadai S1, S2 atau S3 kan mempunyai nilai lebih. Jika suatu saat mengalami kebosanan mengeluti dunia acting beralih ke dunia politik dsb akan lebih siap karena sudah mempersiapkan diri. Selama ini ada kesan bahwa orang-orang artis ingin atau tertarik dengan ajakan partai untuk bergabung karena prestise, jabatan, kekuasan, rupiah, pengakuan dan keakuan, dengan sedikit mengabaikan penilaian tentang “pantas atau tidak pantas”.
Jabatan politik adalah jabatan untuk menampung dan melaksanakan aspirasi dari rakyat pemilih; apalagi kalau sudah terpilih bukan lagi pembawa dan melaksanakan aspirasi kantong-kantong pemilih tetapi sudah bersifat menyeluruh yaitu seluruh masyarakat Indonesia. Misalnya terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan kan bukan hanya untuk sekelompok orang pemilih atau ditujukan kepada sekelompok bukan pemilih tapi akan ditujukan untuk publik. Tidak lagi mengenal rakyat pemilih dan bukan pemilih. Tidak lagi mengenal warna-warni bendera partai, yang adalah perubahan dan perbaikan untuk semua. Yang ada adalah nama lembaga: MPR RI; DPR RI; Presiden RI, bukan MPR Partai; DPR Partai dan seterusnya. Sebagaimana konsep yang berlaku di Indonesia ini yang mengatakan “Mendahulukan kepentingan orang banyak (“publik”) daripada kepentingan individu dan kelompok”. Kalau orang-orang partai yang ada di dalam sistem kepemerintahan maupun yang berada di luar sistem kepemerintahan saat ini yang juga akan berusaha mendapatkan kesempatan pada saat yang lain untuk mengambil peran. Jika yang ada di dalam sistem maupun di luar sistem dengan memasang niat dan tujuan pristise, jabatan, kekuasaan, rupiah, pengakuan dan keakuan; itu sangat bertentangan dengan kosep “mendahulukan kepentingan orang banyak (publik)” tetapi lebih kepada kepentingan individu dan kelompok. Lembaga perwakilan rakyat dan institusi pemerintahan lainya adalah milik publik bukan milik dari suatu partai tertentu; karena keberadaan lembaga dewan atau institusi pemerintah ditujukan keberadaannya untuk publik. Tidak berbeda dengan jika orang-orang partai yang berada di dalam sistem kepemerintahan tidak bisa berbuat banyak untuk orang banyak tetapi hanya bisa berbuat mengambil lebih banyak dari sautu kedudukan, ini juga sudah mengarah kepada memburu kepentingan individu dan kelompok, sehingga nilai moralitas pengabdian kepada bangsa-negara, rakyat/masyarakat menjadi kabur, alias tidak jelas. Sehingga nilai mudarat (tidak baiknya) lebih besar dari nilai kebermanfaatnya. Dengan mempertimbankan nilai ketidakbaikannya dengan nilai kebermanfaatannya maka kita bisa memposisikan diri sesuai dengan posisi yang tepat.
Masyarakat Menggunakan Kecedasannya.
Masyarakat harus semakin cerdas dan menggunakan kecerdasannya untuk memilih wakil-wakilnya. Jangan hanya percaya dengan pandangan mata semata, tetapi banyak mendengar dan bertanya, harus menggunakan pikiran dan harus dirasakan dengan hati dalam memutuskan pilihan yang setepat-tepantnya. Sama halnya dengan kita mau membeli sesuatu barang yang masih asing (belum dikenal). Sebelum kita memutuskan untuk membeli, kita banyak bertanya kepada banyak orang yang sedikit banyak tahu tentang kelebihan dan kekurangan barang tersebut. Jadi tidak gampang terpesona mata dengan gaya dan tampilan barang terkesan wah (mewah) yang sebenarnya weh-weleh payah deh. Prinsipnya sederhana yaitu dari yang terbaik pasti ada yang paling baik, demikin pula dari yang baik ada lebih baik dan dari yang tidak baik ada yang baik atau mendingan.
Sunday, January 10, 2010
REAKSI TERHADAP UN INDIKASI POSITIF
REAKSI TERHADAP UN INDIKASI POSITIF
Reaksi beragam terhadap peyelenggaraan dan pelaksanaan UN baik perorangan, kelompok dan reaksi beberapa kepala daerah/kabupaten/kota/kecamatan, dan beberapa dinas pendidikan, organisasi profesi pendidikan serta pemilik Yayasan yang bergerak dalam pendidikan memberikan persepsi (carapandang) plus minus adalah suatu fenomena (gejala) bahwa konsep UN itu bisa mengerakkan semua unsur-unsur pendidikan di republik ini; membaut unsur-unsur pendidikan menjadi dinamis, kreatif, enovatif tidak lagi statis. Semua unsur-unsur pendidikan terjaga dari tidur panjang selama ini.
Dengan berbagai reaksi dan persepsi tentang UN pemerintah dan masyarakat jadi open (perduli) dengan kondisi pembangunan pendidikan di republik ini. Masyarakat jadi terbuka mau berbicara tentang kondisi pendidikan yang dia rasakan baik pores, hasil, dan sarana-prasana di daerah atau di sekolah tertentu tentang kekurangan dan kelebihan pembangunan pendidikan. Dengan masyarakat mau berbicara tentang kondisi penanganan pendidikan di daerahnya itu merupakan informasi sangat penting dalam membuat keputusan untuk pembuat keputusan; yang mungkin selama ini unsur-unsur pendidikan hanya melaporkan atau memberikan informasi kejenjang strukral di atasnya hanya yang baik-baik saja; laporan asal bos senang (ABS). Kalau UN tidak ada, informasi penting tentang bagaimana proses penanangan dan pelayanan pendidikan di daerah dan seperti apa yang sebenarnya tidak mengemuka. UN membangkitkan yang begong jadi sadar, yang tidur jadi terjaga, yang malas atau malas-malasan jadi rajin, yang tadinya tidak mau berpikir jadi mau berpikir, yang tadinya orang rajin membeli korek api sekarang orang sudah mau membeli korek kuping agar bisa banyak mendengar informasi untuk meningkatkan pendidikan, yang tandinya orang perasaan hatinya tertutup bersikap tidak mau tahu menajadi terbuka.
Reaksi dan persepsi orang perorang tentang UN plus minus itu hal biasa karena setiap kepala punya persepsi dalam menilai sesuatu sesuai dengan kemampuan masing-masing; tingkat pendidikan, informasi yang dimiliki, pengamatan, pemahaman, dan pengalaman.
Reaksi dan persepsi sekelompok atau yang mengatasnamakan sekompok guru memberi persepsi tentang UN plus minus dan hasil juga beragam. Karena banyak orang/kepala, banyak kelompok banyak pula hasil pemikiran. Keragaman hasil pemikiran itu bisa mengkrucut jika terarah kepada satu tujuan yang jelas. Dengan demikian semua orang atau kelompok akan menggunakan segala potensinya untuk membuat sukses pencapaian tujuan. Tujuan pendidikan adalah mencerdaskan bangsa sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Apa itu mencerdaskan?. Mencerdaskan adalah proses menjadikan cerdas. Lalau apa itu cerdas?. Cerdas adalah sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti dsb); tajam pikiran.
Seorang guru bukan kanya membuat anak didiknya cerdas. Seorang guru juga wajib untuk mencerdaskan dirinya sendiri sesuai dengan bidang ajarnya. Dalam kata lain dikenal dengan pemberdayaan diri supaya lebih berdayaguna. Karena sudah menyandang status seorang guru berarti sudah mampu mengurui diri sendiri; belajar secara mandiri maupun kelompok dengan bidang ajar yang sejenis. Sehingga kata-kata profesional yang disandang oleh guru benar-benar bisa dipertanggungjawabkan.
Persoalan peningkatan kompetensi guru bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau yayasan tetapi juga merupakan tanggung jawab dari setiap individu guru untuk secara terus-menerus meningkatkan kemampuan. Dengan apa? Ya dengan membaca!. Jadi ada fenomena bahwa banyak guru merasa puas dan merasa cukup dengan apa yang pernah diperoleh di perguruan tinggi sekian tahun yang lalu dan tidak ada keinginan untuk menambah. Sementata pengetahuan dalam bidang pendidikan/teknologi terus berkembang, jika tidak mau mengikuti maka yang terjadi keluhan dan keluhan seperti kompetensi guru tidak/belum merata dsb. Yang terlihat pengembangan pengetahuan dan keterampilan guru hanya mengandalkan dari penataran-penataran yang harusnya tidak demikian.
Katanya guru di desa kan sulit mendapatkan bahan bacaan!. Sebenarnya tidak ada yang sulit, karena di dalam kesulitan ada kemudahan. Guru di desa bisa menjalin komunikasi dengan guru yang ada di tingkat kota minta tolong untuk mengirimkan buku-buku yang dibutuhkan walaupun hanya kopian, yang penting kan isinya. Atu paling simpel, sekolah melakukan kontak dengan sekolah di kota; bisa juga dengan sebuah penerbit buku; atau kepala sekolah sering pergi ke kota kan bisa cari buku yang dibutuhkan oleh guru. Guru dan kepala sekolah sering dikirimkan untuk mengikuti penataran ke kabupaten/kota atau provinsi dan dari penataran itu biasalah dapat uang leleh atau uang saku, gunakanlah sebahagian untuk membeli buku yang penting dimilki sebagai buku pengangan atau reference tambahan untuk mengajar. Janganlah semua uang yang diperoleh penataran tersebut dibelanjakan untuk kebutuhan fisik atau makanan yang bermuara pemenuhan spiteng, belanjakan 2 atau 3 buku untuk kebutuhan otak. Kalau di kota-kota yang sudah bisa mengakses internet itu sudah merupakan sumber pembelajan yang paling lengkap karena sudah mendunia. Tinggal pelajari bahasa komunikasi antar bangsa.
Kewajiban pemerintah dalam penyediaan buku-buku bahah ajar pegangan guru dan kurikulum dsb harus disampaikan walaupun sekolah itu adanya di puncak gunung atau pun di dasar laut. Kalau di puncak gunung atau tersebar dibeberapa pulau kecil maka gunakan transportasi helkopter, kalau adanya sekolah tersebut di dasar laut maka gunakan transportasi kapal selam. Asal ada kemauan pasti ada jalan. Apakah alat transportasi tersebut perlu dan penting untuk dimiliki oleh Diknas?. Kalau memang dengan alat itu mebuat pekerjaan menjadi mudah dan efektif, kenapa berkat tidak, katakan saja iya.
Reaksi beberapa kepala daerah atau kabupaten/kota yang menilai plus minus UN itu tidak lebih dari menginggatkan diri bahwa masih perlu banyak berbuat untuk merbenah diri dan perhatian yang serius pembangunan sektor peningkatan kualitas pendidikan. Menyadari bahwa apa yang telah dilakukan selama ini masih dibawah standar. Hal ini adalah sesuatu yang positif sebagai cambuk untuk berbuat lebih banyak atau maksimal. Demikian pula reaksi beberapa dinas pendidikan pada prinsipnya sama.
Organisasi profesi pendidikan seperti PGRI, oanggotanya juga menilai plus minus UN; melakukan prokontra. Sebagai organisasi profesional PGRI dan anggotanya tentu punya persepsi dan penilaian yang baik. Mempunyai pandangan “visoner”. Sudah mempu melakukan estimasi hasil pendidikan jauh kedepan; harapan yang edialis. Bukan lagi berpikir sejauh bayangan kita. Oleh karena itu, bukan hanya mengumpulkan, memperbesar jumlah keanggotaannya tetapi juga memperbesar kualitas, mental, moral kerja dari anggotanya. Jangan hanya memperlihatkan keberadaannya pada Hari Ulang Tahun. Sebagai organisasi profesional harus berisikan program-program kerja yang jelas konkrit dalam menutupi sisi lemah dari anggotanya baik di pusat, daerah dan dipelosok desa. Mempublikasikan informasi yang penting diimformasikan melalui berbagai media keseluruh nusantara.
Karena PGRI sebagai organisasi profesi sudah mempunyai tujuan yang digariskan dalam visi dan misinya maka konsentrasi dengan pekerjaan itu biar hasilnnya memuaskan. Bisnis lumbung menguras perhatian lebih besar daripada pelaksanaan Tupoksi (visi dan misi yang telah ditetapkan). Peningkatan kesejahteraan guru yang dilikukan harus pula dilakukan peningkatan kesejahteraan kualitas, mental, moralitas kerja, sikap dan perilaku dari semua guru di nusantara ini.
Pihak Yayasan penyelengara pendidikan banyak pula yang pro dan kontra dengan UN. Karana tujuan pendidian adalah mencerdaskan anak bangsa maka mau tidak mau Yayasan pendidikan harus mampu mengikuti untuk mewujudakan tujuan pendidikan itu. Bukan hanya mengambil kesempatan untuk pengembangan Yayasan sementara lupa dengan pengembangan kompetensi dari tenaga-tenaga pendidik (SDM) yang digunakan. Disamping itu pula setiap guru berkewajiban untuk meningkatkan kopentensi diri atau memberdayakan diri agar lebih berdaya dalam melakukan aktivitas. Jadi pengembangan Yayasan dan sumber-sumber lain harus sama-sama diperkuat.
Bergerak dibidang pendidikan adalah bergerak dibidang sosial. Sebagai lembaga sosial mengefefisienkan profit untuk Yayasan memperbesar atau mengefektifkan proses dan hasil pendidikan. Bukan melakukan sangat bisnis; jika terjadi dimikian maka UN menjadi objek makian.
Di sini kita kemukakan sedikit informasi apa yang dilakukan oleh salah satu Yayasan Pendidikan di Jakarta saya berikan inisial Yayasan X. Yayasan X ini bergerak di bidang pendidikan dan cukup tua dan ternama lahir di Yogyakarta. Teman saya Ahmad mengajar disekolahan yang berada di bawah Yayasan X tersebut. Teman saya ini menceritakan bahwa UN tahun 2008 di sekolah X hanya 30 persen yang lulus; demikian juga dibawah tahun-tahun sebelumnya tidak jauh berbeda dan yang paling parah tahun 2008. Ini pukulan telak bagi Yayasan yang sudah ternama tidak mampu meningkatkan kualiatas proses dan hasil pendidikan. Mengambil hikmah dari kasus ini, pihak Yayasan mengkaji dari hasil UN dan menyimpulkan bahwa proses pendidikan tidak bagus, maka proses harus diperbaiki. Motivasi siswa dan perbaiki mental siswa diperbaiki dan motivasi guru dan perkuat mental guru. Yayasan mengeluarkan sejumlah uang untuk menatar para guru yang kompetensi kurang dicukupkan. Hasil dari segala upaya Yayasan menunjukkan hasil yang singifikan (sangat bagus) yang ditunjukkan hasil UN 2009 lulus 70 persen. Jadi ada peningkatan hasil proses yaitu kenaikan peresentase kelulusan sebesar 300 persen.
Informasi di atas bukan fiksi (rekaan/khayalan), itu kenyataan. Apa yang bisa kita ambil sebagai pembelajaran dari Yayasan X tersebut untuk membenahi kualitas proses di Yayasan pendidikan bapak/ibu di nusantara ini.
Yang perlu digarisbawahi dari persepsi (cara pandang) UN menunjukkan bahwa program UN mampu mengerakkan semua unsur pendidikan dan membangkitkan perhatian semua pihak. Dengan demikian akan ada upaya-upaya untuk melakukan yang terbaik (usaha maksimal) untuk kedepan.
Reaksi beragam terhadap peyelenggaraan dan pelaksanaan UN baik perorangan, kelompok dan reaksi beberapa kepala daerah/kabupaten/kota/kecamatan, dan beberapa dinas pendidikan, organisasi profesi pendidikan serta pemilik Yayasan yang bergerak dalam pendidikan memberikan persepsi (carapandang) plus minus adalah suatu fenomena (gejala) bahwa konsep UN itu bisa mengerakkan semua unsur-unsur pendidikan di republik ini; membaut unsur-unsur pendidikan menjadi dinamis, kreatif, enovatif tidak lagi statis. Semua unsur-unsur pendidikan terjaga dari tidur panjang selama ini.
Dengan berbagai reaksi dan persepsi tentang UN pemerintah dan masyarakat jadi open (perduli) dengan kondisi pembangunan pendidikan di republik ini. Masyarakat jadi terbuka mau berbicara tentang kondisi pendidikan yang dia rasakan baik pores, hasil, dan sarana-prasana di daerah atau di sekolah tertentu tentang kekurangan dan kelebihan pembangunan pendidikan. Dengan masyarakat mau berbicara tentang kondisi penanganan pendidikan di daerahnya itu merupakan informasi sangat penting dalam membuat keputusan untuk pembuat keputusan; yang mungkin selama ini unsur-unsur pendidikan hanya melaporkan atau memberikan informasi kejenjang strukral di atasnya hanya yang baik-baik saja; laporan asal bos senang (ABS). Kalau UN tidak ada, informasi penting tentang bagaimana proses penanangan dan pelayanan pendidikan di daerah dan seperti apa yang sebenarnya tidak mengemuka. UN membangkitkan yang begong jadi sadar, yang tidur jadi terjaga, yang malas atau malas-malasan jadi rajin, yang tadinya tidak mau berpikir jadi mau berpikir, yang tadinya orang rajin membeli korek api sekarang orang sudah mau membeli korek kuping agar bisa banyak mendengar informasi untuk meningkatkan pendidikan, yang tandinya orang perasaan hatinya tertutup bersikap tidak mau tahu menajadi terbuka.
Reaksi dan persepsi orang perorang tentang UN plus minus itu hal biasa karena setiap kepala punya persepsi dalam menilai sesuatu sesuai dengan kemampuan masing-masing; tingkat pendidikan, informasi yang dimiliki, pengamatan, pemahaman, dan pengalaman.
Reaksi dan persepsi sekelompok atau yang mengatasnamakan sekompok guru memberi persepsi tentang UN plus minus dan hasil juga beragam. Karena banyak orang/kepala, banyak kelompok banyak pula hasil pemikiran. Keragaman hasil pemikiran itu bisa mengkrucut jika terarah kepada satu tujuan yang jelas. Dengan demikian semua orang atau kelompok akan menggunakan segala potensinya untuk membuat sukses pencapaian tujuan. Tujuan pendidikan adalah mencerdaskan bangsa sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Apa itu mencerdaskan?. Mencerdaskan adalah proses menjadikan cerdas. Lalau apa itu cerdas?. Cerdas adalah sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti dsb); tajam pikiran.
Seorang guru bukan kanya membuat anak didiknya cerdas. Seorang guru juga wajib untuk mencerdaskan dirinya sendiri sesuai dengan bidang ajarnya. Dalam kata lain dikenal dengan pemberdayaan diri supaya lebih berdayaguna. Karena sudah menyandang status seorang guru berarti sudah mampu mengurui diri sendiri; belajar secara mandiri maupun kelompok dengan bidang ajar yang sejenis. Sehingga kata-kata profesional yang disandang oleh guru benar-benar bisa dipertanggungjawabkan.
Persoalan peningkatan kompetensi guru bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau yayasan tetapi juga merupakan tanggung jawab dari setiap individu guru untuk secara terus-menerus meningkatkan kemampuan. Dengan apa? Ya dengan membaca!. Jadi ada fenomena bahwa banyak guru merasa puas dan merasa cukup dengan apa yang pernah diperoleh di perguruan tinggi sekian tahun yang lalu dan tidak ada keinginan untuk menambah. Sementata pengetahuan dalam bidang pendidikan/teknologi terus berkembang, jika tidak mau mengikuti maka yang terjadi keluhan dan keluhan seperti kompetensi guru tidak/belum merata dsb. Yang terlihat pengembangan pengetahuan dan keterampilan guru hanya mengandalkan dari penataran-penataran yang harusnya tidak demikian.
Katanya guru di desa kan sulit mendapatkan bahan bacaan!. Sebenarnya tidak ada yang sulit, karena di dalam kesulitan ada kemudahan. Guru di desa bisa menjalin komunikasi dengan guru yang ada di tingkat kota minta tolong untuk mengirimkan buku-buku yang dibutuhkan walaupun hanya kopian, yang penting kan isinya. Atu paling simpel, sekolah melakukan kontak dengan sekolah di kota; bisa juga dengan sebuah penerbit buku; atau kepala sekolah sering pergi ke kota kan bisa cari buku yang dibutuhkan oleh guru. Guru dan kepala sekolah sering dikirimkan untuk mengikuti penataran ke kabupaten/kota atau provinsi dan dari penataran itu biasalah dapat uang leleh atau uang saku, gunakanlah sebahagian untuk membeli buku yang penting dimilki sebagai buku pengangan atau reference tambahan untuk mengajar. Janganlah semua uang yang diperoleh penataran tersebut dibelanjakan untuk kebutuhan fisik atau makanan yang bermuara pemenuhan spiteng, belanjakan 2 atau 3 buku untuk kebutuhan otak. Kalau di kota-kota yang sudah bisa mengakses internet itu sudah merupakan sumber pembelajan yang paling lengkap karena sudah mendunia. Tinggal pelajari bahasa komunikasi antar bangsa.
Kewajiban pemerintah dalam penyediaan buku-buku bahah ajar pegangan guru dan kurikulum dsb harus disampaikan walaupun sekolah itu adanya di puncak gunung atau pun di dasar laut. Kalau di puncak gunung atau tersebar dibeberapa pulau kecil maka gunakan transportasi helkopter, kalau adanya sekolah tersebut di dasar laut maka gunakan transportasi kapal selam. Asal ada kemauan pasti ada jalan. Apakah alat transportasi tersebut perlu dan penting untuk dimiliki oleh Diknas?. Kalau memang dengan alat itu mebuat pekerjaan menjadi mudah dan efektif, kenapa berkat tidak, katakan saja iya.
Reaksi beberapa kepala daerah atau kabupaten/kota yang menilai plus minus UN itu tidak lebih dari menginggatkan diri bahwa masih perlu banyak berbuat untuk merbenah diri dan perhatian yang serius pembangunan sektor peningkatan kualitas pendidikan. Menyadari bahwa apa yang telah dilakukan selama ini masih dibawah standar. Hal ini adalah sesuatu yang positif sebagai cambuk untuk berbuat lebih banyak atau maksimal. Demikian pula reaksi beberapa dinas pendidikan pada prinsipnya sama.
Organisasi profesi pendidikan seperti PGRI, oanggotanya juga menilai plus minus UN; melakukan prokontra. Sebagai organisasi profesional PGRI dan anggotanya tentu punya persepsi dan penilaian yang baik. Mempunyai pandangan “visoner”. Sudah mempu melakukan estimasi hasil pendidikan jauh kedepan; harapan yang edialis. Bukan lagi berpikir sejauh bayangan kita. Oleh karena itu, bukan hanya mengumpulkan, memperbesar jumlah keanggotaannya tetapi juga memperbesar kualitas, mental, moral kerja dari anggotanya. Jangan hanya memperlihatkan keberadaannya pada Hari Ulang Tahun. Sebagai organisasi profesional harus berisikan program-program kerja yang jelas konkrit dalam menutupi sisi lemah dari anggotanya baik di pusat, daerah dan dipelosok desa. Mempublikasikan informasi yang penting diimformasikan melalui berbagai media keseluruh nusantara.
Karena PGRI sebagai organisasi profesi sudah mempunyai tujuan yang digariskan dalam visi dan misinya maka konsentrasi dengan pekerjaan itu biar hasilnnya memuaskan. Bisnis lumbung menguras perhatian lebih besar daripada pelaksanaan Tupoksi (visi dan misi yang telah ditetapkan). Peningkatan kesejahteraan guru yang dilikukan harus pula dilakukan peningkatan kesejahteraan kualitas, mental, moralitas kerja, sikap dan perilaku dari semua guru di nusantara ini.
Pihak Yayasan penyelengara pendidikan banyak pula yang pro dan kontra dengan UN. Karana tujuan pendidian adalah mencerdaskan anak bangsa maka mau tidak mau Yayasan pendidikan harus mampu mengikuti untuk mewujudakan tujuan pendidikan itu. Bukan hanya mengambil kesempatan untuk pengembangan Yayasan sementara lupa dengan pengembangan kompetensi dari tenaga-tenaga pendidik (SDM) yang digunakan. Disamping itu pula setiap guru berkewajiban untuk meningkatkan kopentensi diri atau memberdayakan diri agar lebih berdaya dalam melakukan aktivitas. Jadi pengembangan Yayasan dan sumber-sumber lain harus sama-sama diperkuat.
Bergerak dibidang pendidikan adalah bergerak dibidang sosial. Sebagai lembaga sosial mengefefisienkan profit untuk Yayasan memperbesar atau mengefektifkan proses dan hasil pendidikan. Bukan melakukan sangat bisnis; jika terjadi dimikian maka UN menjadi objek makian.
Di sini kita kemukakan sedikit informasi apa yang dilakukan oleh salah satu Yayasan Pendidikan di Jakarta saya berikan inisial Yayasan X. Yayasan X ini bergerak di bidang pendidikan dan cukup tua dan ternama lahir di Yogyakarta. Teman saya Ahmad mengajar disekolahan yang berada di bawah Yayasan X tersebut. Teman saya ini menceritakan bahwa UN tahun 2008 di sekolah X hanya 30 persen yang lulus; demikian juga dibawah tahun-tahun sebelumnya tidak jauh berbeda dan yang paling parah tahun 2008. Ini pukulan telak bagi Yayasan yang sudah ternama tidak mampu meningkatkan kualiatas proses dan hasil pendidikan. Mengambil hikmah dari kasus ini, pihak Yayasan mengkaji dari hasil UN dan menyimpulkan bahwa proses pendidikan tidak bagus, maka proses harus diperbaiki. Motivasi siswa dan perbaiki mental siswa diperbaiki dan motivasi guru dan perkuat mental guru. Yayasan mengeluarkan sejumlah uang untuk menatar para guru yang kompetensi kurang dicukupkan. Hasil dari segala upaya Yayasan menunjukkan hasil yang singifikan (sangat bagus) yang ditunjukkan hasil UN 2009 lulus 70 persen. Jadi ada peningkatan hasil proses yaitu kenaikan peresentase kelulusan sebesar 300 persen.
Informasi di atas bukan fiksi (rekaan/khayalan), itu kenyataan. Apa yang bisa kita ambil sebagai pembelajaran dari Yayasan X tersebut untuk membenahi kualitas proses di Yayasan pendidikan bapak/ibu di nusantara ini.
Yang perlu digarisbawahi dari persepsi (cara pandang) UN menunjukkan bahwa program UN mampu mengerakkan semua unsur pendidikan dan membangkitkan perhatian semua pihak. Dengan demikian akan ada upaya-upaya untuk melakukan yang terbaik (usaha maksimal) untuk kedepan.
MARKUS
MARKUS
Lagi-lagi istilah yang muncul di tahun 2009. Ada mafia peradilan, mafia hukum dan markus. Markus adalah singkatan dari makelar kasus. Makelar yang lazimnya digunakan di dalam ilmu ekonomi.
Apa itu makelar?
Pada awalnya, banyak orang mengira Markus adalah nama orang. Banyangan terhadap sosok Markus adalah cakep dan ganteng. Seorang pekerja yang baik, jujur, profesioan, kompetensinya cukup baik, pelayan masyarakat; mendahulukan kepentingan orang banyak (masyarakat) daripada kepentingan pribadi dan golongan, pertemanan atau kelompok. Setelah dicermati serta membaca dan mendengarkan di media pemberitaan, ternyata Markus bukan nama orang yang sesunguhnya tetapi nama julukan yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang yang karena sikap dan perilakunya tidak baik yang menjadi perantara perdagangan kasus disebut Markus (Makelar Kasus). Lucu yaa!. Kasus saja sudah ada makelarnya. Di tahun 2010 akan ada makelar apa lagi?.
Makelar adalah perantara perdagangan (antara pembeli dan penjual) (sumber KBBI).
Jadi dapat kita fahami tentang makelar berada antara pembeli dan penjual. Di dalam birokrasi, suatu urusan harus melalui meja pertama untuk bisa maju kemeja ke dua. Dalam makelar terdiri diri tiga pihak: pihak pertama pembeli, kedua makelar, dan ketiga penjual barang. Sama halnya dengan Markus
pihak pertama pembeli putusan hakim, pihak kedua makelar (makelar kasus) dan pihak ketiga pemilik produk/barang yang mau dijua(orang yang bisa memberikan keputusan sesuai dengan diinginkan si pembali: “hakim”).
Kalau dalam hukum pasar, ada penjual maka ada pembali. Tidak ada yang menjual maka tidak ada yang membeli. Di dalam lembaga hukum/pengadilan tidak boleh ada penjual atau pedagang agar tidak ada pembeli.
Dalam makelar kasus (markus) muncul karena ada penjual. Penjual menjual produknya atau barang (keputusan hakim) menggunakan perantara makelar. Masalah harga bisa ditetapkan oleh yang punya produk yang akan dijual atau ditetapkan oleh sang makelar. Atau bisa juga pembeli menawarkan harga yang mengiurkan si makelar dan si penjual produk sehingga lupa segala-galanya.
Dalam proses hukum dan peradilan, putusan hakim sebagai produk/barang tidak berlaku hukum ekonomi: jual-beli. Kalau putusan hakim bisa dijual-belikan maka proses dan hasil putusan akan menciderai rasa keadilan masyarakat atau rakyat. Yang punya uang besar, sebesar apapun kesalahannya dia bisa memperoleh kemenangan yang besar maka masyarakat atau rakyat yang tidak punya uang akan cercabik-cabik rasa keadilannya, sehingga masyarakat atau rakyat yang tidak mempunyai uang banyak merasakan hidup seperti hidup dinegara tidak bertuan.
Produk hukum adalah produk yang terhormat. Terhormat karena terkait dengan harga diri yang paling terhormat (paling berharga); yang paling tinggi nilainya; terkait dengan nilai harkat dan martabat orang-orang atau lembaga.
Di Jakarta dulu pernah ada relokasi yang dikenal dengan nama Kramat Tunggak. Tempat ini terkenal dengan tempat orang-orang yang melakukan transaksi kehormatannya demi alasan uang atau ekonomi, hoby dan mencari kepuasan diri.
Kita semua tidak mengingginkan lembaga hukum dan peradilan kita disamakan dengan Kramat Tunggak yang ada tempo dahulu. Oleh karena itu masyarakat tidak setuju ada relokasi tersebut dan minta kepada pemerintah DKI Jakarta untuk mengusurnya. Kita semua tidak setuju kalau lembaga hukum dan peradilan kita menjual produk kehormatannya. Kalau tempo dulu masyarakat bersama-sama pemerintah mampu mengusur tempat perdaganan kehormatan seperti Kramat Tunggak, maka untuk kasus Markus dan jual-beli produk hukum (putusan hakim)dengan mudah pula bisa digusur oleh masyarakat bersama-sama pemerintah. Yang digusur bukan lembaganya tetapi oknum-oknum yang berperan sebagai makelar kasus dan orang memperjualbelikan produk hukum (putusan hakim). Perbuatan tersebut sama halnya dengan menjaul kehormatan yang sangat berharga di dunia hukum dan peradilan republik ini.
Harapan masyarakat tidak berlama-lama untuk mengembalikan kehormatan hukum dan peradilan. Asal ada keinginan dan komitmen yang kuat untuk mendudukkan lembaga tersebut keposisi yang terhormat banyak cara seperti kata-kata “Banyak jalan menju roma”.
Lagi-lagi istilah yang muncul di tahun 2009. Ada mafia peradilan, mafia hukum dan markus. Markus adalah singkatan dari makelar kasus. Makelar yang lazimnya digunakan di dalam ilmu ekonomi.
Apa itu makelar?
Pada awalnya, banyak orang mengira Markus adalah nama orang. Banyangan terhadap sosok Markus adalah cakep dan ganteng. Seorang pekerja yang baik, jujur, profesioan, kompetensinya cukup baik, pelayan masyarakat; mendahulukan kepentingan orang banyak (masyarakat) daripada kepentingan pribadi dan golongan, pertemanan atau kelompok. Setelah dicermati serta membaca dan mendengarkan di media pemberitaan, ternyata Markus bukan nama orang yang sesunguhnya tetapi nama julukan yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang yang karena sikap dan perilakunya tidak baik yang menjadi perantara perdagangan kasus disebut Markus (Makelar Kasus). Lucu yaa!. Kasus saja sudah ada makelarnya. Di tahun 2010 akan ada makelar apa lagi?.
Makelar adalah perantara perdagangan (antara pembeli dan penjual) (sumber KBBI).
Jadi dapat kita fahami tentang makelar berada antara pembeli dan penjual. Di dalam birokrasi, suatu urusan harus melalui meja pertama untuk bisa maju kemeja ke dua. Dalam makelar terdiri diri tiga pihak: pihak pertama pembeli, kedua makelar, dan ketiga penjual barang. Sama halnya dengan Markus
pihak pertama pembeli putusan hakim, pihak kedua makelar (makelar kasus) dan pihak ketiga pemilik produk/barang yang mau dijua(orang yang bisa memberikan keputusan sesuai dengan diinginkan si pembali: “hakim”).
Kalau dalam hukum pasar, ada penjual maka ada pembali. Tidak ada yang menjual maka tidak ada yang membeli. Di dalam lembaga hukum/pengadilan tidak boleh ada penjual atau pedagang agar tidak ada pembeli.
Dalam makelar kasus (markus) muncul karena ada penjual. Penjual menjual produknya atau barang (keputusan hakim) menggunakan perantara makelar. Masalah harga bisa ditetapkan oleh yang punya produk yang akan dijual atau ditetapkan oleh sang makelar. Atau bisa juga pembeli menawarkan harga yang mengiurkan si makelar dan si penjual produk sehingga lupa segala-galanya.
Dalam proses hukum dan peradilan, putusan hakim sebagai produk/barang tidak berlaku hukum ekonomi: jual-beli. Kalau putusan hakim bisa dijual-belikan maka proses dan hasil putusan akan menciderai rasa keadilan masyarakat atau rakyat. Yang punya uang besar, sebesar apapun kesalahannya dia bisa memperoleh kemenangan yang besar maka masyarakat atau rakyat yang tidak punya uang akan cercabik-cabik rasa keadilannya, sehingga masyarakat atau rakyat yang tidak mempunyai uang banyak merasakan hidup seperti hidup dinegara tidak bertuan.
Produk hukum adalah produk yang terhormat. Terhormat karena terkait dengan harga diri yang paling terhormat (paling berharga); yang paling tinggi nilainya; terkait dengan nilai harkat dan martabat orang-orang atau lembaga.
Di Jakarta dulu pernah ada relokasi yang dikenal dengan nama Kramat Tunggak. Tempat ini terkenal dengan tempat orang-orang yang melakukan transaksi kehormatannya demi alasan uang atau ekonomi, hoby dan mencari kepuasan diri.
Kita semua tidak mengingginkan lembaga hukum dan peradilan kita disamakan dengan Kramat Tunggak yang ada tempo dahulu. Oleh karena itu masyarakat tidak setuju ada relokasi tersebut dan minta kepada pemerintah DKI Jakarta untuk mengusurnya. Kita semua tidak setuju kalau lembaga hukum dan peradilan kita menjual produk kehormatannya. Kalau tempo dulu masyarakat bersama-sama pemerintah mampu mengusur tempat perdaganan kehormatan seperti Kramat Tunggak, maka untuk kasus Markus dan jual-beli produk hukum (putusan hakim)dengan mudah pula bisa digusur oleh masyarakat bersama-sama pemerintah. Yang digusur bukan lembaganya tetapi oknum-oknum yang berperan sebagai makelar kasus dan orang memperjualbelikan produk hukum (putusan hakim). Perbuatan tersebut sama halnya dengan menjaul kehormatan yang sangat berharga di dunia hukum dan peradilan republik ini.
Harapan masyarakat tidak berlama-lama untuk mengembalikan kehormatan hukum dan peradilan. Asal ada keinginan dan komitmen yang kuat untuk mendudukkan lembaga tersebut keposisi yang terhormat banyak cara seperti kata-kata “Banyak jalan menju roma”.
MAFIA HUKUM
MAFIA HUKUM
Pada tahun 2009 kita dikagetkan dengan munculnya istilah mafia hukum. Muncul karena carut-marutnya proses penanganan hukum maka penggunaan nama mafia hukum kepada institusi hukum maupuan kepada sekelompok orang yang ada di lembaga hukum.
Apa itu mafia?.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonisia (KBBI): Mafia adalah perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal).
Jadi setiap perkumpulan bersifat rahasia dan bergerak di dalam bidang kejahatan di sebut mafia. Mafia bergerak di dalam bidang kejahatan. Bermacam-macam atau jenis kejahatan; bukan saja di bidang peradilan tetapi dibanyak bidang. Yang mempunyai ciri-ciri: perkumpulan; bersifat rahasia; bergerak di dalam bidang tertentu; dan mempunyai tujuan kesajahatan, ini adalah ciri dari mafia. Dengan berpegang kepada ciri-ciri tersebut maka banyak dapat kita kategorikan sebagai praktik-praktik permafiaan.
Apa itu hukum?
Pengertian hukum menurut Soerojo Wignjodipoero (1989) dalam bukunya Pengantar Imu Hukum. "Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata-tertib dalam kehidupan masyarakat".
Jadi hukum sekumpulan peraturan-peraturan hidup yang segaja dibuat secara sadar untuk mengatur kehidupan di dalam masyarakan dan pemerintahan. Memaksa semua lapisan masyarakat untuk tunduk dan patuh (taat) terhadap hukum yang sudah mempunyai ketetapan dalam pemerintahan. Hukum beriisi perintah yang boleh dilakukan dan juga perintah melarang melakukan dilakukan; dengan maksud mengatur supaya tercipta ketertiban dalam kehidupan masyarakat. pengertian masyarakat dalam hukum adalah semua lapisan masyarakat yaitu: masysarakat biasa, masyarakat pekerja (legislative, ekskutif, yudikatif) dan pekerja disektor swasta, profesi lain dsb.
Hukum juga bukan seperti yang diistilahkan “pisau” tajam di bawah tumpul di atas”. Yang bisa diartikan, hukum hanya berlaku untuk masyarakat biasa dan tidak berlaku untuk penguasa. Penguasa dalam kontek: penguasa atau orang-orang yang berkuasa dalam pemerintahan dan penguasa karena punya uang. Kurang uang hukuman dipenjarakan (KUHP), banyak uang hukuman bebas. Karena uang habis perkara (KUHP). Artinya, dengan uang perkara bisa ditutup (di peti eskan, dikubur hudup-hidup).
Hukum bukan seperti sarang laba-laba, yang serangga kecil-kecil (masyarakat atau rakyat kecil) terperangkap jaringan hukum sementara serangga yang besar-besar (sekelompok penguasa pemerintahan dan sekelompok penguasa uang) lepas dari jaringan, malahan jaringan hukum bisa terkoyak-koyak, hancur berantakan.
Hukum yang diharapkan (yang diiginkan masyarakat) yaitu seperti sebilah sembilu atau sebilah keris; tajam ke bawah dan tajam pula ke atas. Dengan demikian posisi lembaga dan orang-orang penegakan hukum harus bisa berdiri dalam posisi yang adil. Posisi yang adil yaitu berdiri di tengah-tengah; berpegang pada peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Tidak mengikuti arah angin atau arah politik atau penguasa.
Penguasa berkuasa karena diberi kuasa oleh masyarakat atau rakyat sebagai pengikut untuk mengurus dan mengatur apa-apa yang perlu diurus dan diatur yang berkaitan dengan kebutuhan rakyat atau masyarakat. Oleh karena itu punya kewajiban memberikan terhadap apa yang diharapkan oleh rakyat/masyarakat.
Apakah tujuan hukum?.
Menurut Soerojo Wignjodipoero tujuan hukum ada dua, yakni: “Harus menjamin keadilan dan wajib mebawa kefaedahan dalam masyarakat.
Dapat kita fahami bahwa setiap orang yang berurusan dengan hukum, lembaga hukum harus menjamin akan memberikan pelayanan secara adil; tidak diskriminasi, mendapatkan proses dan putusan yang adil, sehingga hukum betul-betul berguna bagi semua lapisan masyarakat. Dengan demikian lembaga hukum dan hukum itu sendiri dipercaya, dihargai, dihormati dan ditaati oleh semua lapisan masyarakat.
Jika hukum dan peradilan tidak bisa melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan baik seperti yang diharapkan maka masyarakat berpendidikan, masyarakat perwakilan rakyat, dan pemerintah harus ikut membenahi agar hukum dan peradilan berjalan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Kalau tidak demikian siapa lagi yang harus membenahinya. Tidak ada yang diharapkan turun dari langit atau/dan muncul dari dalam bumi untuk membenahi hukum dan peradilan di republik ini. Ingat dengan kata-kata “Tuhan tidak merubah nasip suatu bangsa kecualai bangsa itu sendiri”. Ini adalah kalimat pernyataan oleh karena itu, itu sudah harga mati (tidak bisa ditawar-tawar lagi). Usaha manusia adalah untuk manusia itu sendiri.
Pada tahun 2009 kita dikagetkan dengan munculnya istilah mafia hukum. Muncul karena carut-marutnya proses penanganan hukum maka penggunaan nama mafia hukum kepada institusi hukum maupuan kepada sekelompok orang yang ada di lembaga hukum.
Apa itu mafia?.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonisia (KBBI): Mafia adalah perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal).
Jadi setiap perkumpulan bersifat rahasia dan bergerak di dalam bidang kejahatan di sebut mafia. Mafia bergerak di dalam bidang kejahatan. Bermacam-macam atau jenis kejahatan; bukan saja di bidang peradilan tetapi dibanyak bidang. Yang mempunyai ciri-ciri: perkumpulan; bersifat rahasia; bergerak di dalam bidang tertentu; dan mempunyai tujuan kesajahatan, ini adalah ciri dari mafia. Dengan berpegang kepada ciri-ciri tersebut maka banyak dapat kita kategorikan sebagai praktik-praktik permafiaan.
Apa itu hukum?
Pengertian hukum menurut Soerojo Wignjodipoero (1989) dalam bukunya Pengantar Imu Hukum. "Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata-tertib dalam kehidupan masyarakat".
Jadi hukum sekumpulan peraturan-peraturan hidup yang segaja dibuat secara sadar untuk mengatur kehidupan di dalam masyarakan dan pemerintahan. Memaksa semua lapisan masyarakat untuk tunduk dan patuh (taat) terhadap hukum yang sudah mempunyai ketetapan dalam pemerintahan. Hukum beriisi perintah yang boleh dilakukan dan juga perintah melarang melakukan dilakukan; dengan maksud mengatur supaya tercipta ketertiban dalam kehidupan masyarakat. pengertian masyarakat dalam hukum adalah semua lapisan masyarakat yaitu: masysarakat biasa, masyarakat pekerja (legislative, ekskutif, yudikatif) dan pekerja disektor swasta, profesi lain dsb.
Hukum juga bukan seperti yang diistilahkan “pisau” tajam di bawah tumpul di atas”. Yang bisa diartikan, hukum hanya berlaku untuk masyarakat biasa dan tidak berlaku untuk penguasa. Penguasa dalam kontek: penguasa atau orang-orang yang berkuasa dalam pemerintahan dan penguasa karena punya uang. Kurang uang hukuman dipenjarakan (KUHP), banyak uang hukuman bebas. Karena uang habis perkara (KUHP). Artinya, dengan uang perkara bisa ditutup (di peti eskan, dikubur hudup-hidup).
Hukum bukan seperti sarang laba-laba, yang serangga kecil-kecil (masyarakat atau rakyat kecil) terperangkap jaringan hukum sementara serangga yang besar-besar (sekelompok penguasa pemerintahan dan sekelompok penguasa uang) lepas dari jaringan, malahan jaringan hukum bisa terkoyak-koyak, hancur berantakan.
Hukum yang diharapkan (yang diiginkan masyarakat) yaitu seperti sebilah sembilu atau sebilah keris; tajam ke bawah dan tajam pula ke atas. Dengan demikian posisi lembaga dan orang-orang penegakan hukum harus bisa berdiri dalam posisi yang adil. Posisi yang adil yaitu berdiri di tengah-tengah; berpegang pada peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Tidak mengikuti arah angin atau arah politik atau penguasa.
Penguasa berkuasa karena diberi kuasa oleh masyarakat atau rakyat sebagai pengikut untuk mengurus dan mengatur apa-apa yang perlu diurus dan diatur yang berkaitan dengan kebutuhan rakyat atau masyarakat. Oleh karena itu punya kewajiban memberikan terhadap apa yang diharapkan oleh rakyat/masyarakat.
Apakah tujuan hukum?.
Menurut Soerojo Wignjodipoero tujuan hukum ada dua, yakni: “Harus menjamin keadilan dan wajib mebawa kefaedahan dalam masyarakat.
Dapat kita fahami bahwa setiap orang yang berurusan dengan hukum, lembaga hukum harus menjamin akan memberikan pelayanan secara adil; tidak diskriminasi, mendapatkan proses dan putusan yang adil, sehingga hukum betul-betul berguna bagi semua lapisan masyarakat. Dengan demikian lembaga hukum dan hukum itu sendiri dipercaya, dihargai, dihormati dan ditaati oleh semua lapisan masyarakat.
Jika hukum dan peradilan tidak bisa melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan baik seperti yang diharapkan maka masyarakat berpendidikan, masyarakat perwakilan rakyat, dan pemerintah harus ikut membenahi agar hukum dan peradilan berjalan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Kalau tidak demikian siapa lagi yang harus membenahinya. Tidak ada yang diharapkan turun dari langit atau/dan muncul dari dalam bumi untuk membenahi hukum dan peradilan di republik ini. Ingat dengan kata-kata “Tuhan tidak merubah nasip suatu bangsa kecualai bangsa itu sendiri”. Ini adalah kalimat pernyataan oleh karena itu, itu sudah harga mati (tidak bisa ditawar-tawar lagi). Usaha manusia adalah untuk manusia itu sendiri.
MAFIA PERADILAN
MAFIA PERADILAN
Pada tahun 2009 kita dikagetkan dengan munculnya istilah mafia peradilan. Muncul karena carut-marutnya proses pengadilan maka pengenggunan nama mafia peradilan kepada institusi peradilan maupuan kepada sekelompok orang yang ada di lembaga peradailan.
Apa itu mafia?.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonisia (KBBI): Mafia adalah perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal).
Jadi setiap perkumpulan bersifat rahasia dan bergerak di dalam bidang kejahatan di sebut mafia. Mafia bergerak di dalam bidang kejahatan. Bermacam macam atau jenis kejahatan; bukan jasa di bidang peradailan tetapi dibanyak bidang. Yang mempunyai ciri-ciri: perkumpulan; bersifat rahasia; bergerak di dalam bidang tertentu; dan mempunyai tujuan kesajahatan, ini adalah ciri dari mafia. Dengan berpegang kepada ciri-ciri tersebut maka banyak dapat kita kategorikan sebagai praktik-praktik permafiaan.
Apakah mafia peradilan?
Mafia peradilan (Sumber KBBI):
1.Kelompok advokat yang menguasai proses peradilan sehingga mereka dapat membebaskan terdakwa apabila terdakwa dapat menyediakan uang sesuai dengan jumlah yang diminta mereka (mereka: aparat peradilan).
2.Persekongkolan di antara para penegak hukum dengan pencari keadilan.
Apa itu advokat? Advokat adalah ahli hukum yang berwenang sebagai penasehat atau pembela perkara dalam pengadilan; advokat adalah pengacara.
Jadi dapat kita identifikasi ciri-ciri dari mafia peradilan adalah: orang-orang ahli hukum; berwenang sebagai penasehat atau pembela perkara; tempat dan waktu dalam pengadilan; bersekongkol antara aparat pengadilan dengan pencari keadilan; melakukan suap untuk tujuan menyalahkan yang tidak salah.
Kalau kita melihat pada ciri-ciri mafia peradilan tersebut maka banyak bisa identifikasi atau temukan praktik-praktik mafia peradilan sejak republik Indonesia berdiri sampai dengan sekarang. Baru tahun 2009 mafia peradilan dipublikasikan secara luas. Sebagaimana perkataan “Sepandai-pandai menyembuyikan bangkai pada satu saat akan tercium juga”. Sakarang sudah saatnya terendus/tercium oleh publik (masyarakat luas) bahwa mafia peradilan itu bukan lagi hannya “katanya” tetapi yang sesungguhnya ada dan nyata; benar-benar ada dan bukan lagi mengandung keragu-ragauan seperti makna "katanya". Sudah jelas, dalam arti sudah jelas siapa kawan siapa lawan.
Rasa ketidakadilan dalam mencari keadilan di pengadilan yang diungkapkan masyarakat yang kecewa terhadap putusan pengadilan dengan perkataan “Diperkarakan kambing hilang sapi”. Sudah habis sapi keadilan tidak ditemukan. Masyarakat hanya bisa mengurut dada sambil berucap: “ya Tuhan beginikah keadilan di negeri ini”. Dengan demikian hilang kepercayaan masyarakat terhadapam lembaga pengadilan. Sampai kapan itu?, sampai ada kepemerintahan yang kuat dan berkomitmen untuk mereformasi lembaga peradilan sehingga lembaga tersebut benar-benar dipercaya oleh masyarakat yang mencari keadilan.
Di dalam peradilan ada mafia peradilan. Lalu siapa yang bisa diharapkan untuk membersihkan lembaga peradilan dari mafia peradilan?. Apakah efektif penjahat (kriminal) membersihakan atau mengadili penjahat yang sama-sama penjahat?. Apakah efektif sapu yang kotor digunakan untuk membersihkan tempat yang ingin dibersihkan?. Seharusnya penjahat dibersihkan oleh yang bukan yang penjahat; tempat yang kotor dibersihkan dengan sapu yang bersih. Bukan palu hakim makan palu hakim. Oleh karena itu perlu tidaknya suatu lembaga yang mengadili mafia pengadilan yang berada di dalam lembaga peradilan?.
Kasihan lembaga peradilan dan kasihan pula kepada aparatur peradilan yang punya hati nurani dan kejujuran dalam menjaga dan menjalankan proses pelayanan peradilan yang berkeadilan. Hanya karena sekelompok mafia peradilan mereka juga jadi rusak, seperti perkataan “Gara-gara setetes air tuba rusak susu sebelangga”.
Sekarang masyarakat menghukum bukan hanya mafianya tetapi juga lembaganya karena mafia ada di dalam lembaga tersebut. Jadi semua orang yang ada di dalam lembaga tersebut ikut jadi tidak baik. Oleh karena itu, untuk menjaga nama baik lembaga maka semua orang yang ada di dalam lembaga peradilan; harus bisa menjalankan tugas sesuai dengan aturan yang berlaku, jangan membuat aturan yang tidak berlaku yang diberlakukan; menegakkan keadilan dan kejujuran serta saling menginggatkan untuk tidak berbuat sekecil apa pun yang dapat merusak nama baik lembaga, nama baik aparatur dan pelaksanaan pemerintahan dalam peradilan di mata masyarakat dunia; tidak mempertontonkan sesuatu yang tidak kepada masyarakat dunia, sebaiknya punya budaya malu yang tinggi.
Pada tahun 2009 kita dikagetkan dengan munculnya istilah mafia peradilan. Muncul karena carut-marutnya proses pengadilan maka pengenggunan nama mafia peradilan kepada institusi peradilan maupuan kepada sekelompok orang yang ada di lembaga peradailan.
Apa itu mafia?.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonisia (KBBI): Mafia adalah perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal).
Jadi setiap perkumpulan bersifat rahasia dan bergerak di dalam bidang kejahatan di sebut mafia. Mafia bergerak di dalam bidang kejahatan. Bermacam macam atau jenis kejahatan; bukan jasa di bidang peradailan tetapi dibanyak bidang. Yang mempunyai ciri-ciri: perkumpulan; bersifat rahasia; bergerak di dalam bidang tertentu; dan mempunyai tujuan kesajahatan, ini adalah ciri dari mafia. Dengan berpegang kepada ciri-ciri tersebut maka banyak dapat kita kategorikan sebagai praktik-praktik permafiaan.
Apakah mafia peradilan?
Mafia peradilan (Sumber KBBI):
1.Kelompok advokat yang menguasai proses peradilan sehingga mereka dapat membebaskan terdakwa apabila terdakwa dapat menyediakan uang sesuai dengan jumlah yang diminta mereka (mereka: aparat peradilan).
2.Persekongkolan di antara para penegak hukum dengan pencari keadilan.
Apa itu advokat? Advokat adalah ahli hukum yang berwenang sebagai penasehat atau pembela perkara dalam pengadilan; advokat adalah pengacara.
Jadi dapat kita identifikasi ciri-ciri dari mafia peradilan adalah: orang-orang ahli hukum; berwenang sebagai penasehat atau pembela perkara; tempat dan waktu dalam pengadilan; bersekongkol antara aparat pengadilan dengan pencari keadilan; melakukan suap untuk tujuan menyalahkan yang tidak salah.
Kalau kita melihat pada ciri-ciri mafia peradilan tersebut maka banyak bisa identifikasi atau temukan praktik-praktik mafia peradilan sejak republik Indonesia berdiri sampai dengan sekarang. Baru tahun 2009 mafia peradilan dipublikasikan secara luas. Sebagaimana perkataan “Sepandai-pandai menyembuyikan bangkai pada satu saat akan tercium juga”. Sakarang sudah saatnya terendus/tercium oleh publik (masyarakat luas) bahwa mafia peradilan itu bukan lagi hannya “katanya” tetapi yang sesungguhnya ada dan nyata; benar-benar ada dan bukan lagi mengandung keragu-ragauan seperti makna "katanya". Sudah jelas, dalam arti sudah jelas siapa kawan siapa lawan.
Rasa ketidakadilan dalam mencari keadilan di pengadilan yang diungkapkan masyarakat yang kecewa terhadap putusan pengadilan dengan perkataan “Diperkarakan kambing hilang sapi”. Sudah habis sapi keadilan tidak ditemukan. Masyarakat hanya bisa mengurut dada sambil berucap: “ya Tuhan beginikah keadilan di negeri ini”. Dengan demikian hilang kepercayaan masyarakat terhadapam lembaga pengadilan. Sampai kapan itu?, sampai ada kepemerintahan yang kuat dan berkomitmen untuk mereformasi lembaga peradilan sehingga lembaga tersebut benar-benar dipercaya oleh masyarakat yang mencari keadilan.
Di dalam peradilan ada mafia peradilan. Lalu siapa yang bisa diharapkan untuk membersihkan lembaga peradilan dari mafia peradilan?. Apakah efektif penjahat (kriminal) membersihakan atau mengadili penjahat yang sama-sama penjahat?. Apakah efektif sapu yang kotor digunakan untuk membersihkan tempat yang ingin dibersihkan?. Seharusnya penjahat dibersihkan oleh yang bukan yang penjahat; tempat yang kotor dibersihkan dengan sapu yang bersih. Bukan palu hakim makan palu hakim. Oleh karena itu perlu tidaknya suatu lembaga yang mengadili mafia pengadilan yang berada di dalam lembaga peradilan?.
Kasihan lembaga peradilan dan kasihan pula kepada aparatur peradilan yang punya hati nurani dan kejujuran dalam menjaga dan menjalankan proses pelayanan peradilan yang berkeadilan. Hanya karena sekelompok mafia peradilan mereka juga jadi rusak, seperti perkataan “Gara-gara setetes air tuba rusak susu sebelangga”.
Sekarang masyarakat menghukum bukan hanya mafianya tetapi juga lembaganya karena mafia ada di dalam lembaga tersebut. Jadi semua orang yang ada di dalam lembaga tersebut ikut jadi tidak baik. Oleh karena itu, untuk menjaga nama baik lembaga maka semua orang yang ada di dalam lembaga peradilan; harus bisa menjalankan tugas sesuai dengan aturan yang berlaku, jangan membuat aturan yang tidak berlaku yang diberlakukan; menegakkan keadilan dan kejujuran serta saling menginggatkan untuk tidak berbuat sekecil apa pun yang dapat merusak nama baik lembaga, nama baik aparatur dan pelaksanaan pemerintahan dalam peradilan di mata masyarakat dunia; tidak mempertontonkan sesuatu yang tidak kepada masyarakat dunia, sebaiknya punya budaya malu yang tinggi.
Wednesday, January 6, 2010
APAKAH AYAM LEBIH DAHULU ATAU TELOR AYAM?
Kalau orang berbicara tentang ayam, yang menjadi perdebatan munculnya pertanyaan: Apakah duluan ada pantat ayam atau telor ayam?.
Untuk menjawabnya, sangat tergantung dari mana kita memulai pembicaraan. Kalau kita bicara ayam, maka ayam akan mengahasil telor. Kalau kita memulai bicara dengan sebuah telor maka telor akan melahirkan ayam (menetas jadi ayam).
Bicara tentang pendidikan orang akan langsuh menginggatkan dirinya pada tiga ranah (aspek) yaitu: kognitif, afektif dan psikomotorik. Pertanyaan yang diperdebatkan, mana yang lebih dulu (didahulukan) dari ketiganya?.
Ingatkan diri kita kepada perkataan “Carilah ilmu itu walaupun sampai kenegeri Cina”. Carilah ilmu itu dari ayunan samapai liang kuburan”. “Orang yang berilmu akan ditinggikan drajadnya”. Demikian juga dengan perintah “Bacalah”.
Dapat kita simpulkan bahwa perintah atau anjuran untuk mencari ilmu pengetahuan sepanjang hidup kita. Bukan hanya dinegeri sendiri tetapi kenegeri manapun dipermukaan bumi maupun di luar bumi (planet luar bumi) dan orang yang berilmu pengetahuan akan lebih terpandang (tehormat) atau lebih dihargai, didengar perkataan dan pendapatnya. Dan untuk memperoleh ilmu pengetahuan orang harus mebaca.
Dari anjuran atau perintah tersebut menekankan aspek “pengetahuan” yang lebih utama dikembangkan, dan bukan sikap dan perilaku. Alasannya, pengetahuan akan melahirkan sikan dan perilaku. Bukan sebaliknya. Misalnya tentang “ korupsi dan pungli”. Korupsi dan pungli dilarang secara hukum formal atau informal (agama, adat) karena merugikan orang lain baik berupa materiil (benda, uang) ataupun nonmateriil. Bagi orang yang melakukannya akan mendapatkan sanksi atau hukuman bersifat sanski social atau hukum memaksa berupa kurungan badan dan/atau ganti rugi.
Pertanyaannya: Mengapa orang sudah tahu bahwa korupsi dan pungli itu dilarang tetapi kok tetap ada juga yang melakukannya?.
Jadi, setiap pengetahuan yang diberikan atau diperoleh belum tentu langsuh merubah sikap dan perilaku seperti untuk materi pelajaran agama ataupun PPKn. Seseorang akan akan memberikan penilaian atas pengetahuan yang diperoleh itu milihat kepada tingkat penting atau tidak, mendesak atau tidak. Kalau dianggap penting dan mendesak maka sesorang akan menggunakan pengetahuan yang diperoleh/didapat untuk merubah sikap dan perilaku. Karena bersifat mendesak dan penting (urgen) maka menimbulkan dorongan (motivasi) internal untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dinyakini (afektif) perlu dilakukan atau reaksi/aksi.
Dengan demikian pula, orang melakukan sesatu karena telah didasari olek sedikit atau banyak pengetahuan terhadap apa yang akan dikerjakannya. Mungkin menurut seseorang untuk merubah sakap dan perilaku tertentu belum begitu penting dan mendesak tetapi karena ada tekanan/desakan dari luar (eksternal) yang membuat orang untuk menyesuaikan atau melakukan perubahan sikap dan perilaku. Misalnya, siswa harus berlaku sopan dan santut serta menghormati setiap guru di sekolah. Ini kodisinya memaksa siswa untuk bersikap dan berperilaku sopan-santun dan menghormati semua guru di sekolah. Kondisi memaksa tersebut juga di dalam keluarga, dilingkungan masyarakat, dan lingkungan kerja.
Di dalam porses pendidikan sekolah mentransfer sebanyak dan sejalas-jelasnya pendidikan moral untuk mendorong perubahan sikap dan perilaku baik itu digunakan atau berguna untuk saat ini maupun mengalami penundaan, tujuannya untuk pembelakan buat siswa dalam perjalanan selanjutnya.
Simpelnya, jika kita menyuguhkan beberapa jenis makanan ringan kepada tamu kita, maka dia akan memilih mankan mana yang akan petama yang akan dimakan; kemudian baru mengambil jenis makanan lainya yang sesuai dengan selera. Atau tidak mengambil makanan sama sekali karena tidak suka, karena dalam keadaan perut kenyang (tidak mendesak). Jadi demikianlah kira-kira pengaruh kongitif terhadap afektif dan psikomotorik.
Langkah efektif untuk mengatasi korupsi, pungli, mafia hukum dan peradilan maupun mafia birokratik harus dengan tekanan eksternal berupa sanksi/humum formal; bukan lagi dengan pendekatan pendidikan/pengetahuan moral/etika; karena semuanya sudah memiliki atau memperolah pengetahuan tentang hukum atau rambu-rambu, moral/etika.
Sebenarnya sangat gampang sekali menjadi orang yang berpengetahuan (berkualitas, cedar, pinter) yaitu melakukan banyak membaca.
Ya kalau bangsa Indonesia pingin berkualitas dalam bidang pendidikan atau kepingin lulus tes apa pun bentuk dan tujunya tetapi tidak mau belajar dan membaca itu sama dengan “punguk merindukan bulan”.
Untuk menjawabnya, sangat tergantung dari mana kita memulai pembicaraan. Kalau kita bicara ayam, maka ayam akan mengahasil telor. Kalau kita memulai bicara dengan sebuah telor maka telor akan melahirkan ayam (menetas jadi ayam).
Bicara tentang pendidikan orang akan langsuh menginggatkan dirinya pada tiga ranah (aspek) yaitu: kognitif, afektif dan psikomotorik. Pertanyaan yang diperdebatkan, mana yang lebih dulu (didahulukan) dari ketiganya?.
Ingatkan diri kita kepada perkataan “Carilah ilmu itu walaupun sampai kenegeri Cina”. Carilah ilmu itu dari ayunan samapai liang kuburan”. “Orang yang berilmu akan ditinggikan drajadnya”. Demikian juga dengan perintah “Bacalah”.
Dapat kita simpulkan bahwa perintah atau anjuran untuk mencari ilmu pengetahuan sepanjang hidup kita. Bukan hanya dinegeri sendiri tetapi kenegeri manapun dipermukaan bumi maupun di luar bumi (planet luar bumi) dan orang yang berilmu pengetahuan akan lebih terpandang (tehormat) atau lebih dihargai, didengar perkataan dan pendapatnya. Dan untuk memperoleh ilmu pengetahuan orang harus mebaca.
Dari anjuran atau perintah tersebut menekankan aspek “pengetahuan” yang lebih utama dikembangkan, dan bukan sikap dan perilaku. Alasannya, pengetahuan akan melahirkan sikan dan perilaku. Bukan sebaliknya. Misalnya tentang “ korupsi dan pungli”. Korupsi dan pungli dilarang secara hukum formal atau informal (agama, adat) karena merugikan orang lain baik berupa materiil (benda, uang) ataupun nonmateriil. Bagi orang yang melakukannya akan mendapatkan sanksi atau hukuman bersifat sanski social atau hukum memaksa berupa kurungan badan dan/atau ganti rugi.
Pertanyaannya: Mengapa orang sudah tahu bahwa korupsi dan pungli itu dilarang tetapi kok tetap ada juga yang melakukannya?.
Jadi, setiap pengetahuan yang diberikan atau diperoleh belum tentu langsuh merubah sikap dan perilaku seperti untuk materi pelajaran agama ataupun PPKn. Seseorang akan akan memberikan penilaian atas pengetahuan yang diperoleh itu milihat kepada tingkat penting atau tidak, mendesak atau tidak. Kalau dianggap penting dan mendesak maka sesorang akan menggunakan pengetahuan yang diperoleh/didapat untuk merubah sikap dan perilaku. Karena bersifat mendesak dan penting (urgen) maka menimbulkan dorongan (motivasi) internal untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dinyakini (afektif) perlu dilakukan atau reaksi/aksi.
Dengan demikian pula, orang melakukan sesatu karena telah didasari olek sedikit atau banyak pengetahuan terhadap apa yang akan dikerjakannya. Mungkin menurut seseorang untuk merubah sakap dan perilaku tertentu belum begitu penting dan mendesak tetapi karena ada tekanan/desakan dari luar (eksternal) yang membuat orang untuk menyesuaikan atau melakukan perubahan sikap dan perilaku. Misalnya, siswa harus berlaku sopan dan santut serta menghormati setiap guru di sekolah. Ini kodisinya memaksa siswa untuk bersikap dan berperilaku sopan-santun dan menghormati semua guru di sekolah. Kondisi memaksa tersebut juga di dalam keluarga, dilingkungan masyarakat, dan lingkungan kerja.
Di dalam porses pendidikan sekolah mentransfer sebanyak dan sejalas-jelasnya pendidikan moral untuk mendorong perubahan sikap dan perilaku baik itu digunakan atau berguna untuk saat ini maupun mengalami penundaan, tujuannya untuk pembelakan buat siswa dalam perjalanan selanjutnya.
Simpelnya, jika kita menyuguhkan beberapa jenis makanan ringan kepada tamu kita, maka dia akan memilih mankan mana yang akan petama yang akan dimakan; kemudian baru mengambil jenis makanan lainya yang sesuai dengan selera. Atau tidak mengambil makanan sama sekali karena tidak suka, karena dalam keadaan perut kenyang (tidak mendesak). Jadi demikianlah kira-kira pengaruh kongitif terhadap afektif dan psikomotorik.
Langkah efektif untuk mengatasi korupsi, pungli, mafia hukum dan peradilan maupun mafia birokratik harus dengan tekanan eksternal berupa sanksi/humum formal; bukan lagi dengan pendekatan pendidikan/pengetahuan moral/etika; karena semuanya sudah memiliki atau memperolah pengetahuan tentang hukum atau rambu-rambu, moral/etika.
Sebenarnya sangat gampang sekali menjadi orang yang berpengetahuan (berkualitas, cedar, pinter) yaitu melakukan banyak membaca.
Ya kalau bangsa Indonesia pingin berkualitas dalam bidang pendidikan atau kepingin lulus tes apa pun bentuk dan tujunya tetapi tidak mau belajar dan membaca itu sama dengan “punguk merindukan bulan”.
STANDAR MINIMAL
STANDAR MINIMAL
Standar adalah ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan. Sedangkan minimal adalah sedikit-dikitnya atau sekurang-kurangnya.
Degan demikian standar minimal adalah ukuran minimal (sekurang-kurangnya) yang dipakai sebagai patokan.
Jadi kalau dalam ukuran ujian nasional ada standar minimal berarti itu ukuran yang minimal yang harus dicapai atau diperoleh. Standar minimal itu dalam kategori ukuran yang sangat toleran, sangat bersahaja, sangat prihatin, sangat mendasar atau titik ambang yang dapat ditoleransi; masih dianggap wajar; masih dianggap normal. Bila dibawah titik ambang toleransi; berari sudah tidak wajar dan tidak normal. Dalam kata lain “sudah parah sekali”. Kalau standar kelulusan Ujian nasional kita 5,50 sementata negara tetangga ada yang 80.00. Coba masyarakat Indonesia menimbang-nimbang perbandingan angka standar tesebut. Wajar atau normal atau seperti apa? Jawabnya ada dikepala masyarakat republik Indonesia. Dengan perbandingan tersebut dapat kita katakan bahwa kita adalah bangsa yang tidak punya masa depan yang lebih baik.
Perlukah Standar?
Standar dalam berbagai hal termasuk standar mutu atau kualitas pendidikan dan pelulusan harus ada. Kita semua juga mempunyai standar seperti: standar berat badan, standar tekanan darah, standar ukuran baju, standar ukuran celana dsb.
Coba kalau kita memakai baju atau celana tidak sesuai dengan standar ukuran tubuh kita misalnya lebih kecil, pasti baju dan celana tersebut tidak bisa dipakai. Kalau baju dan celana tersebut lebih besar sedikit dari standar yang seharusnya, baju atau celana itu masih bisa kita pakai. Kalau kekecilan sudah pasti tidak bisa dipakai. Oleh karena itu perlu dan penting adanya standar atau standar minimal.
Dibawah standar minimal adalah standar minimum. Standar minimum paling kecil/paling kurang, karena itu sudah tidak diangap tidak ada nilai; sama halnya tidak ada proses untuk peningkatan nilai. Standar minimal dalam bidang pendidikan (pesekolahan) mungkin lebih cocok digunakan untuk jenis sekolah SLB (sekolah luar biasa).
Perlu direnungkan. Tidak ada yang merubah nasip bangsamu kepada yang lebih baik kecuali bangsamu sendiri. Jangan pernah bermimpi bangsa yang sejahtera berdiri di atas bangsa yang bodoh. Bangsa yang sejahtera berdiri di atas bangsa cerdas; sebagaimana yang dimanahkan pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan umum. Bangsa yang cerdaslah mampu mensejahteraan diri sendiri (individual), keluarganya, masyarakatnya ban bangsanya. Bangsa yang cerdas mampu bersaing (berkopetisi) dengan antar bangsa dalam banyak hal.
Mari kita merenungi: Apakah kita mundur kebelakang (zaman batu), berdiri di tempat atau kita melangkah ke depan sebagaimana yang diusahan dan dilakukan ratusan negara-negara lain di dunia?. Jika kita ingin menjadi negara yang maju maka kita harus menggunakan akal pikir kita yang lebih maju dari kondisi masa lalu dan kondisi saat ini.
Standar adalah ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan. Sedangkan minimal adalah sedikit-dikitnya atau sekurang-kurangnya.
Degan demikian standar minimal adalah ukuran minimal (sekurang-kurangnya) yang dipakai sebagai patokan.
Jadi kalau dalam ukuran ujian nasional ada standar minimal berarti itu ukuran yang minimal yang harus dicapai atau diperoleh. Standar minimal itu dalam kategori ukuran yang sangat toleran, sangat bersahaja, sangat prihatin, sangat mendasar atau titik ambang yang dapat ditoleransi; masih dianggap wajar; masih dianggap normal. Bila dibawah titik ambang toleransi; berari sudah tidak wajar dan tidak normal. Dalam kata lain “sudah parah sekali”. Kalau standar kelulusan Ujian nasional kita 5,50 sementata negara tetangga ada yang 80.00. Coba masyarakat Indonesia menimbang-nimbang perbandingan angka standar tesebut. Wajar atau normal atau seperti apa? Jawabnya ada dikepala masyarakat republik Indonesia. Dengan perbandingan tersebut dapat kita katakan bahwa kita adalah bangsa yang tidak punya masa depan yang lebih baik.
Perlukah Standar?
Standar dalam berbagai hal termasuk standar mutu atau kualitas pendidikan dan pelulusan harus ada. Kita semua juga mempunyai standar seperti: standar berat badan, standar tekanan darah, standar ukuran baju, standar ukuran celana dsb.
Coba kalau kita memakai baju atau celana tidak sesuai dengan standar ukuran tubuh kita misalnya lebih kecil, pasti baju dan celana tersebut tidak bisa dipakai. Kalau baju dan celana tersebut lebih besar sedikit dari standar yang seharusnya, baju atau celana itu masih bisa kita pakai. Kalau kekecilan sudah pasti tidak bisa dipakai. Oleh karena itu perlu dan penting adanya standar atau standar minimal.
Dibawah standar minimal adalah standar minimum. Standar minimum paling kecil/paling kurang, karena itu sudah tidak diangap tidak ada nilai; sama halnya tidak ada proses untuk peningkatan nilai. Standar minimal dalam bidang pendidikan (pesekolahan) mungkin lebih cocok digunakan untuk jenis sekolah SLB (sekolah luar biasa).
Perlu direnungkan. Tidak ada yang merubah nasip bangsamu kepada yang lebih baik kecuali bangsamu sendiri. Jangan pernah bermimpi bangsa yang sejahtera berdiri di atas bangsa yang bodoh. Bangsa yang sejahtera berdiri di atas bangsa cerdas; sebagaimana yang dimanahkan pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan umum. Bangsa yang cerdaslah mampu mensejahteraan diri sendiri (individual), keluarganya, masyarakatnya ban bangsanya. Bangsa yang cerdas mampu bersaing (berkopetisi) dengan antar bangsa dalam banyak hal.
Mari kita merenungi: Apakah kita mundur kebelakang (zaman batu), berdiri di tempat atau kita melangkah ke depan sebagaimana yang diusahan dan dilakukan ratusan negara-negara lain di dunia?. Jika kita ingin menjadi negara yang maju maka kita harus menggunakan akal pikir kita yang lebih maju dari kondisi masa lalu dan kondisi saat ini.
Sunday, January 3, 2010
RESAH DAN KERESAHAN
RESAH DAN KERESAHAN
Resah adalah merupakan salah satu sifat manusia. Resah bila tidak terkendali akan berakibat tidak baik tetapi resah yang terkendalikan berakibat membawa kebaikan bagi yang mengalami serah atau keresahan. Resah dan keresahan adalah masalah (penyakit) di dalam setiap orang mengalaminya karena pertanyaan yang muncul dalam dirinya: Aduh bagaiamana nanti yaaa?. Masalah resah dan keresahan yang akan mucul didepan kita dan bukan dilekang kita. Sama halnya dengan penyesalan akan mucul dikemuduian bukan pada awal atau dibelakang: “Sesal kemudain tak ada gunanya”. Oleh karenanya kita ditantang untuk itu. Karena resah dan keresahan itu adalah masalah yang mucul di depan atau pada waktu atau masa akan datang berarti masih ada rentang waktu dekat/pendek, sedang maupun panjang untuk mempelajari serta menemukan cara-cara mendekatinya sehingga dia yang namanya resah dan keresahan itu bukan musuh bebuyutan. Karena masih ada rentang waktu maka perlu disikapi yaitu dipikirkan usaha-usaha konkrit apa yang diperlukan untuk mengelola masalah resah dan keresahan. Karena resah dan keresahan itu adalah masalah maka harus ada pula pemecahannya; kan bigitu! kalau tidak begitu mau bagaimana lagi!. Atau mengambil sikap masa bodoh (cuekin saja), kalau bersikap demikian berarti tidak masalah: tidak resah dan tidak keresahan.
Apa Sih, Resah Dan Keresahan Itu?.
Resah atau gelisah artinya tidak tenang; gugup; rusuh hati. Sedangkan keresahan diartikan menderita keresahan.
Megapa Tuhan Menciptkan Resah dan Keresahan Pada Hambanya (Manusia)?.
Suatu pertanyaan yang unik (ganjil) sedikit aneh; pertanyaan sepele (gampang), maka jabawanya juga unik dan gampang. Jawabanya adalah: Tuhan telah menciptakan resah dan keresahan kepada hambanya (manusia) dengan pilihan surga atau neraka pada hidup setelah di dunia ini?. Pilihan surga dan neraka itu sudah diperkenalkan atau dikasih tahu sejak kita mengambil tempat hidup di dunia ini; sejak kita dilahirkan sampai menjelang kemantian. Yang berarti pula bahwa yang kita resahkan itu tidak muncul di belakang kita, waktu saat ini, tetapi di depan kita yaitu pada waktu yang akan datang. Demikian pula dengan ancaman Tuhan yang membuat resah hambanya itu adanya pada waktu yang akan datang; waktu akan datang itu relatif artinya bisa cepat, sedang dan lambat. Maksudnya, yang namanya kita mati datangnya bisa cepat, sedang atau lambat waktu datangnya.
Dari fenomena yang ada kita bisa menyimpulkan sementara model kematian: mati secara alami; mati karena bencana alam; mati karena sesuatu penyakit terwaba saat lahir; mati karena bunuh diri atau dibuhuh; mati karena kecelakaan (insiden).
Karena resah dan keresahan yang menjadi masalah itu berada di depan; masa yang akan datang, maka kita masih diberi sejumlah waktu yang tersedia untuk mempergunaknnya sebaik mungin (efektif dan efisien) untuk lepas dari permasalahan yang diresahkan seperti pertanyaan : Apakah saya ini masuk surga atau neraka?. Ini adalah sebuah pilihan dan hidup adalah sebuah pilihan. Karena sebuah pilihan ya tinggal pilih satu antara dua surga atau neraka, senang atau sudah; miskin atau kaya. Miskin, bisa miskin harta (materiil) dan miskin pengetahuan dan keterampilan, moralitas, dsb.
Bagaimana Caranya Untuk Bisa Menguragi Atau Melepaskan Diri Dari Resah Dan Keresahan?.
Jawaban yang paling simpel adalah: Kalau mau hari kemudian masuk neraka maka perbanyak melakukan perbuatan yang dilarang Tuhan, sebalikya kalau kemudian hari kita ingin masuk surga ya perbanyak apa yang dianjurkan Tuhan untuk dikerjakan (menjauhkan segala larangganNya).
Perasaan resah dan keresahan: Apakah nanti masuk surga atau neraka? Banyak dan pada umumnya dialami orang yang telah berumur (tua-tua). Sebab semakin dekat dengan kejadian terjadinya waktu akan munculnya keresahan atau yang diresahkan itu semakin membuat deg-degkan jantung kita, itu sudah lazim (lumrah). Kalau tidak begitu bukanlah manusia namanya!. Lain persoalannya, jika orang telah mempersiapkan diri dari jauh-jauh hari dan terus berkelanjutan samapai dengan titik denyut jantung terakhir (mati), dia nemabung dan menabung perbuatan yang dianjurkan oleh Tuhan serta menjauhi laranganNya tentu bagi dia tidak ada yang perlu diresahkan, kan!.
Bagaimana Mengambil Hikmah Untuk Pembelajaran Diri?
Fenomena alam (gelaja alam); kejadian alam seperti air mentesi batu, batu bisa berlubang. Artinya bagi kita yang bisa memaknai air yang menetesi batu dan batu bisa berluang itu adalah sautu pelajaran atau pembelajaran diri kita terhadap alam yang maknanya cukup tinggi bagi manusia yang menggunakan akan pikirnya: Apakah dibalik kejadian itu?. Kita cari jabawan yang tidak perlu banyak mikir; masalahnya kalau kita terlau banyak memikirkan untuk satu sisi entar yang sisi-sisi lain tidak kepikirkan. Artinya alam (dengan kekuasaan Tuhan) mengajarkan kepada manusia supaya kita melakukan semua perbuatan (“perbuatan baik”) berproses sedikit demi sedikit. Kan ada pepatah yang mengatakan “Sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit”.
Padalah pepatah tersebut secara turun-temurun diperdengarkan oleh yang tua-tua kepada yang muda-muda. Dan itu sudah kita kantongin, mungkin karena kebanyakan kantong kita jadi lupa menaruhnya, adanya di kantong mana?. Kejadian ini sama halanya dengan menempatkan sesuatu benda tidak pada tempatnya, saat kita membutuhkanya baru mikir: Dimana saya menaruhnya?. Jadi kata-kata “Sedikit demi sedikit” di dalam alam pikir kita bukan di kantong banjo, celana, dikantong menja, dikantong lemari dsb. Kata-kata tersebut menjadi satu kesatuan dengan diri kita dan segala aktivitas/kegiatan yang kita sedang maupun yang akan kita lakukan. Sehingga tidak ada beban dalam mengerjakan dan karena itu pula tidak ada yang mananya resah dan keresahan. Karena dari awal sudah melalui proses atau berproses sedikit demi sedikit sehingga sudah membukit.
Bagaimana Makna Air Menetesi Batu Dalam Proses Belajar?
Belajar adalah proses memperolah pengetahuan, pengalaman dan keterampilan. Memperoleh pengetahuan, pengalaman dan keterampailan tidak sekali jadi; tidak semudah membalikan telapak tangan. Artinya memerlukan suatu proses; memerlukan rentang waktu dan masa. Yang berarti sama dong dengan peristiwa proses air yang menetesi batu?. Ya begitulah juga proses belajar. Sedikit demi sedikit lama jadi bukit juga. Sedikit menjadi bukit, bukit menjadi gunung, habis menggunung ya melangit.
Suatu proses belajar yang salah total adalah sudah menjalang ujian atau tes baru sibuk belajar; ada yang menamakannya dengan singkatan SKS (sistem kebut semalam). Artinya kalau waktunya sudah mepet baru berbuat. Jadinya kondisinya dipaksakan. Maka ada perkataan seperti ini “Semakin banyak yang diingat semakin banyak pula lupanya”. Mislanya orang mau pergi keluar rumah dengan kondisi buru-buru bisa ketinggalan dompet, HP, jam tangan dan bisa-bisa memakai kaos kaki terbalik atau memakai sandal jepit terbalik. Agar tidak terjadi pekerjaan seperti itu maka harus teratur melakukan suatu pekerjaan.
Pengalaman teman yang diceritkan kepada saya. Suatu hari dia pergi besama istrinya kepasar naik sepeda motor. Sampai di pasar, karena mau belanja keperluan masing-masing maka di pasar berpisah; suami istri misah tempat belaja tujuannya biar cepat pulang. Kebetulan si suaminya cepat mendapatkan barang yang dibeli sepasang sepatu kantoran dengan model yang amat menarik. Saking tertariknya dengan model sepatu yang dibeli pingin buru-buru pulang untuk mencocokan pakaian yang sudah lebih dahu dibelinya. Karena dipikirkan dia ingin segara sampai di rumah maka dia segara memutuskan untuk pulang. Jadilah dia pulang sendirian. Sampai di rumah, ambil celana dan berikut baju baru dan dicoba dipakai. Setelah merasa cocok, duduk di bangku sambil menikmati dan merasa puas dan sambil minum yang telah disediakan oleh pembantunya. Tiba-tiba dia kaget oleh suara panggilan melalaui HPnya dengan pertanyaan: “Mas sekarang posisinya ada dimana?. Si suami kaget setengah mati, sambil memukul jidadnya sendri sembari mengucap: “Astaga, saya lupa istri saya, saya tinggal di pasar”. Kejadian ini bisa menimpa siapa saja kalau bekerja terburu-buru, istri bisa ketinggal di pasar, kan sudah parah banget seperti itu!. Buru-buru membuat banyak yang tertinggal atau yang dilupakan maka itu perlu keteraturan (step by step atau setes demi setetes atau sedkit demi sedikit).
Dalam melajar juga harus teratur (sedikit demi sedikit); sebagaimaka kita melakukan proses makan dalam keseharan kita; makan pagi; makan siang; makan malam. Jadi ada waktu-waktunya; makan pagi, siang dan malam; belajar pagi, belajar siang dan belajar malam. Coba kalau dipaksakan makan pagi sekaligus buat siang dan malam. Misalnya, pagi satu piring; siang satu piring; malam satu piring dilkukan sekaligus, bagaimana rasa perut kita?. Mau meledak atau muntah-muntah atu berak-berak. Demikian juga kalau belajar yang dipaksakan akhirnya yang dipelajari muntah lagi dari kepala. Yang diperoleh dari belajar adalah kepala jadi pusing deeeh!. Maka itu jangan pusing-pusing deeeh! belajarlah secara teratur (sedikit demi sedikit); seperti kejadian alam yang telah memberikan pembelajaran kepada kita yaitu air menetesi batu; belajar pagi, siang/sore dan malam hari. “Begitu aja kok repot” kata Gusdur (alm).
Yang sebenarnya yang membuat repot, resah dan keresahan itu adalah kita sendiri. Kesadaran untuk belajar teratur (belajar apa saja, baik anak-anak, muda, tua) hanya kita sendiri yang memunculkan kesadaran itu dan secara sadar pula kita merencanakannya. Karena prinsipnnya orang yang sadar yang mempunyai perencanaan. Orang tidak sadar (edan/gila) tidak mempunyai rencana apa pun.
Resah dan Keresahan Adalah Poses Intropeksi Diri.
Intropeksi diri adalah merenungi tentang diri kita sendiri, terhadap apa yang telah kita lakukan dan yang sedang kita lakukan dan bagaimana langkah selanjutnya kedepan.
Dengan adanya resah dan keresahan merupakan pendorong untuk kita banyak berbuat yang seharusnya kita harus perbuat. Dengan munculnya resah dan keresahan berati pula kita menyadari bahwa kita selama ini tidak bisa berbuat banyak untuk diri kita sendiri dan buat orang lain. Demikian pula orang tua terhadap anak; guru terhadap murid; atasan dengan bawahan; pembangunan dengan apa yang dibangun. Dengan perasaan resah dan keresahan itu pula memberikan pencerahan pemikiran atau mencairkan pikiran yang beku menjadi cair sehingga dapat berpikir positif untuk melakukan segala sesuatu yang perlu dilakukan perubahan dengan cara pikir dan capandang yang lebih maju, cara melihat permasalahan (resah dan kegelisahan), cara mengelolannya sebagai jalan keluarnya (solusinya). Bisa melakukan proses ini berarti kita bisa malakukan pencedasan diri; kemampuan untuk menyelesaikan masalah sendiri, dan ini merupaka kemampuan awal (modal awal) untuk kita bisa menyelesaikan persolaan yang lebih luas di dalam suatu kelompok/tim, unit kerja atau organisasi.
Jadi, tanpa kita dilengkapi oleh Tuhan Maha Pencipta dengan perasaan resah dan keresahan yang sifatnya muncul diwaktu kemudian itu, kita tidak bisa menjadi orang kreatif dan enovatif. Hal itu mengiring kita untuk berpikir lebih maju. Contoh yang simpel: Apakah kita besok bisa makan atau tidak?. Pertanyaan seperti itu kan membuat kita resah/gelisah dan keresahan perasaan kita. Dengan adanya perasaan demikian maka kita akan kreatif: memikirkan, berevovasi dan bertidak/berbuat untuk medapatkan hasil yang bisa digunakan untuk keperluan makan esok hari.
Apa Saja Contoh Yang Membuat Resah Dan Keresahan?
Diantaranya :
o Tes masuk CPNS
o Tes masuk perguruan tinggi
o Tes masuk bekerja di salah satu perusahaan
o Tes masuk sekolah
o Tes/ujian nasional
o Masuk surga atau neraka
o Pilkada
o Pilpres
o Dll. (banyak lagi yaitu sebanyak yang kita ingin resahkan).
Apa Saja Cara Mengatasi Agar Tidak Terjadi Resah Dan Keresahan Itu?
o Jangan melibatkandiri di dalam kegiatan-kegiatan yang menibulkan kita resah dan keresahan (penolakan).
o Mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dan melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk menghadapi sesuatu yang meresahkan kita (menerima/menghadapi).
o Mempunyai mental siap menang dan siap untuk kalah atau siap diterima dan siap pula jika ditolak
Kesimpulan yang bisa digaris bawahi adalah resah dan keresahan adalah masalah atau penyakit. Penyakit yang ditimbulkan yang sebenarnya oleh diri kita sendiri. Karena itu masalah maka harus ada pemecahan (solusinya) atau jalan keluar dari masalah keresahan itu. Resah dan keresahan yang merupakan masalah pilihan yaitu berpegang pada keresahan itu atau melepaskan diri dari keresahan. Keresahan munculnya ada di depan kita dan oleh karena itu ada tengang sejumlah waktu yang bisa kita digunakan untuk mengelola dengan baik agar yang kita resahkan itu tidak muncul atau kalau muncul kita sudah siap menerimanya. Karena itu adalah masalah pilihan, dan pilihan berasil atu tidak sangat terantung dari sejauhmana kita berusaha untuk menghilangkan keresahan tersebut. Resah dan keresahan memberikan proses intropeksi diri terhadap apa yang telah dan sedang kita lakukan maupun yang akan kita lakukan, dan merupakan proses pembelajaran yang mau mengambil hikmah dari penyakit keresahan.
Jalan keluar dari penyakit keresahan adalah menolak atau tidak ambil bagian dan menerima/melawan/menghadapi dengan mempersiapkan diri. Begitu saja, gampang kan!.
Di dalam keresahan atau kegelisah berarti kita atau bangsa ini masih berkemaun untuk memperbaiki dirinya kepada yang lebih baik serta menyadai kekurang atau kelemahan selama ini. jadikalah pengalaman untuk pembelajaran guna perbaikan yang lebih baik kedepan.
Resah adalah merupakan salah satu sifat manusia. Resah bila tidak terkendali akan berakibat tidak baik tetapi resah yang terkendalikan berakibat membawa kebaikan bagi yang mengalami serah atau keresahan. Resah dan keresahan adalah masalah (penyakit) di dalam setiap orang mengalaminya karena pertanyaan yang muncul dalam dirinya: Aduh bagaiamana nanti yaaa?. Masalah resah dan keresahan yang akan mucul didepan kita dan bukan dilekang kita. Sama halnya dengan penyesalan akan mucul dikemuduian bukan pada awal atau dibelakang: “Sesal kemudain tak ada gunanya”. Oleh karenanya kita ditantang untuk itu. Karena resah dan keresahan itu adalah masalah yang mucul di depan atau pada waktu atau masa akan datang berarti masih ada rentang waktu dekat/pendek, sedang maupun panjang untuk mempelajari serta menemukan cara-cara mendekatinya sehingga dia yang namanya resah dan keresahan itu bukan musuh bebuyutan. Karena masih ada rentang waktu maka perlu disikapi yaitu dipikirkan usaha-usaha konkrit apa yang diperlukan untuk mengelola masalah resah dan keresahan. Karena resah dan keresahan itu adalah masalah maka harus ada pula pemecahannya; kan bigitu! kalau tidak begitu mau bagaimana lagi!. Atau mengambil sikap masa bodoh (cuekin saja), kalau bersikap demikian berarti tidak masalah: tidak resah dan tidak keresahan.
Apa Sih, Resah Dan Keresahan Itu?.
Resah atau gelisah artinya tidak tenang; gugup; rusuh hati. Sedangkan keresahan diartikan menderita keresahan.
Megapa Tuhan Menciptkan Resah dan Keresahan Pada Hambanya (Manusia)?.
Suatu pertanyaan yang unik (ganjil) sedikit aneh; pertanyaan sepele (gampang), maka jabawanya juga unik dan gampang. Jawabanya adalah: Tuhan telah menciptakan resah dan keresahan kepada hambanya (manusia) dengan pilihan surga atau neraka pada hidup setelah di dunia ini?. Pilihan surga dan neraka itu sudah diperkenalkan atau dikasih tahu sejak kita mengambil tempat hidup di dunia ini; sejak kita dilahirkan sampai menjelang kemantian. Yang berarti pula bahwa yang kita resahkan itu tidak muncul di belakang kita, waktu saat ini, tetapi di depan kita yaitu pada waktu yang akan datang. Demikian pula dengan ancaman Tuhan yang membuat resah hambanya itu adanya pada waktu yang akan datang; waktu akan datang itu relatif artinya bisa cepat, sedang dan lambat. Maksudnya, yang namanya kita mati datangnya bisa cepat, sedang atau lambat waktu datangnya.
Dari fenomena yang ada kita bisa menyimpulkan sementara model kematian: mati secara alami; mati karena bencana alam; mati karena sesuatu penyakit terwaba saat lahir; mati karena bunuh diri atau dibuhuh; mati karena kecelakaan (insiden).
Karena resah dan keresahan yang menjadi masalah itu berada di depan; masa yang akan datang, maka kita masih diberi sejumlah waktu yang tersedia untuk mempergunaknnya sebaik mungin (efektif dan efisien) untuk lepas dari permasalahan yang diresahkan seperti pertanyaan : Apakah saya ini masuk surga atau neraka?. Ini adalah sebuah pilihan dan hidup adalah sebuah pilihan. Karena sebuah pilihan ya tinggal pilih satu antara dua surga atau neraka, senang atau sudah; miskin atau kaya. Miskin, bisa miskin harta (materiil) dan miskin pengetahuan dan keterampilan, moralitas, dsb.
Bagaimana Caranya Untuk Bisa Menguragi Atau Melepaskan Diri Dari Resah Dan Keresahan?.
Jawaban yang paling simpel adalah: Kalau mau hari kemudian masuk neraka maka perbanyak melakukan perbuatan yang dilarang Tuhan, sebalikya kalau kemudian hari kita ingin masuk surga ya perbanyak apa yang dianjurkan Tuhan untuk dikerjakan (menjauhkan segala larangganNya).
Perasaan resah dan keresahan: Apakah nanti masuk surga atau neraka? Banyak dan pada umumnya dialami orang yang telah berumur (tua-tua). Sebab semakin dekat dengan kejadian terjadinya waktu akan munculnya keresahan atau yang diresahkan itu semakin membuat deg-degkan jantung kita, itu sudah lazim (lumrah). Kalau tidak begitu bukanlah manusia namanya!. Lain persoalannya, jika orang telah mempersiapkan diri dari jauh-jauh hari dan terus berkelanjutan samapai dengan titik denyut jantung terakhir (mati), dia nemabung dan menabung perbuatan yang dianjurkan oleh Tuhan serta menjauhi laranganNya tentu bagi dia tidak ada yang perlu diresahkan, kan!.
Bagaimana Mengambil Hikmah Untuk Pembelajaran Diri?
Fenomena alam (gelaja alam); kejadian alam seperti air mentesi batu, batu bisa berlubang. Artinya bagi kita yang bisa memaknai air yang menetesi batu dan batu bisa berluang itu adalah sautu pelajaran atau pembelajaran diri kita terhadap alam yang maknanya cukup tinggi bagi manusia yang menggunakan akan pikirnya: Apakah dibalik kejadian itu?. Kita cari jabawan yang tidak perlu banyak mikir; masalahnya kalau kita terlau banyak memikirkan untuk satu sisi entar yang sisi-sisi lain tidak kepikirkan. Artinya alam (dengan kekuasaan Tuhan) mengajarkan kepada manusia supaya kita melakukan semua perbuatan (“perbuatan baik”) berproses sedikit demi sedikit. Kan ada pepatah yang mengatakan “Sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit”.
Padalah pepatah tersebut secara turun-temurun diperdengarkan oleh yang tua-tua kepada yang muda-muda. Dan itu sudah kita kantongin, mungkin karena kebanyakan kantong kita jadi lupa menaruhnya, adanya di kantong mana?. Kejadian ini sama halanya dengan menempatkan sesuatu benda tidak pada tempatnya, saat kita membutuhkanya baru mikir: Dimana saya menaruhnya?. Jadi kata-kata “Sedikit demi sedikit” di dalam alam pikir kita bukan di kantong banjo, celana, dikantong menja, dikantong lemari dsb. Kata-kata tersebut menjadi satu kesatuan dengan diri kita dan segala aktivitas/kegiatan yang kita sedang maupun yang akan kita lakukan. Sehingga tidak ada beban dalam mengerjakan dan karena itu pula tidak ada yang mananya resah dan keresahan. Karena dari awal sudah melalui proses atau berproses sedikit demi sedikit sehingga sudah membukit.
Bagaimana Makna Air Menetesi Batu Dalam Proses Belajar?
Belajar adalah proses memperolah pengetahuan, pengalaman dan keterampilan. Memperoleh pengetahuan, pengalaman dan keterampailan tidak sekali jadi; tidak semudah membalikan telapak tangan. Artinya memerlukan suatu proses; memerlukan rentang waktu dan masa. Yang berarti sama dong dengan peristiwa proses air yang menetesi batu?. Ya begitulah juga proses belajar. Sedikit demi sedikit lama jadi bukit juga. Sedikit menjadi bukit, bukit menjadi gunung, habis menggunung ya melangit.
Suatu proses belajar yang salah total adalah sudah menjalang ujian atau tes baru sibuk belajar; ada yang menamakannya dengan singkatan SKS (sistem kebut semalam). Artinya kalau waktunya sudah mepet baru berbuat. Jadinya kondisinya dipaksakan. Maka ada perkataan seperti ini “Semakin banyak yang diingat semakin banyak pula lupanya”. Mislanya orang mau pergi keluar rumah dengan kondisi buru-buru bisa ketinggalan dompet, HP, jam tangan dan bisa-bisa memakai kaos kaki terbalik atau memakai sandal jepit terbalik. Agar tidak terjadi pekerjaan seperti itu maka harus teratur melakukan suatu pekerjaan.
Pengalaman teman yang diceritkan kepada saya. Suatu hari dia pergi besama istrinya kepasar naik sepeda motor. Sampai di pasar, karena mau belanja keperluan masing-masing maka di pasar berpisah; suami istri misah tempat belaja tujuannya biar cepat pulang. Kebetulan si suaminya cepat mendapatkan barang yang dibeli sepasang sepatu kantoran dengan model yang amat menarik. Saking tertariknya dengan model sepatu yang dibeli pingin buru-buru pulang untuk mencocokan pakaian yang sudah lebih dahu dibelinya. Karena dipikirkan dia ingin segara sampai di rumah maka dia segara memutuskan untuk pulang. Jadilah dia pulang sendirian. Sampai di rumah, ambil celana dan berikut baju baru dan dicoba dipakai. Setelah merasa cocok, duduk di bangku sambil menikmati dan merasa puas dan sambil minum yang telah disediakan oleh pembantunya. Tiba-tiba dia kaget oleh suara panggilan melalaui HPnya dengan pertanyaan: “Mas sekarang posisinya ada dimana?. Si suami kaget setengah mati, sambil memukul jidadnya sendri sembari mengucap: “Astaga, saya lupa istri saya, saya tinggal di pasar”. Kejadian ini bisa menimpa siapa saja kalau bekerja terburu-buru, istri bisa ketinggal di pasar, kan sudah parah banget seperti itu!. Buru-buru membuat banyak yang tertinggal atau yang dilupakan maka itu perlu keteraturan (step by step atau setes demi setetes atau sedkit demi sedikit).
Dalam melajar juga harus teratur (sedikit demi sedikit); sebagaimaka kita melakukan proses makan dalam keseharan kita; makan pagi; makan siang; makan malam. Jadi ada waktu-waktunya; makan pagi, siang dan malam; belajar pagi, belajar siang dan belajar malam. Coba kalau dipaksakan makan pagi sekaligus buat siang dan malam. Misalnya, pagi satu piring; siang satu piring; malam satu piring dilkukan sekaligus, bagaimana rasa perut kita?. Mau meledak atau muntah-muntah atu berak-berak. Demikian juga kalau belajar yang dipaksakan akhirnya yang dipelajari muntah lagi dari kepala. Yang diperoleh dari belajar adalah kepala jadi pusing deeeh!. Maka itu jangan pusing-pusing deeeh! belajarlah secara teratur (sedikit demi sedikit); seperti kejadian alam yang telah memberikan pembelajaran kepada kita yaitu air menetesi batu; belajar pagi, siang/sore dan malam hari. “Begitu aja kok repot” kata Gusdur (alm).
Yang sebenarnya yang membuat repot, resah dan keresahan itu adalah kita sendiri. Kesadaran untuk belajar teratur (belajar apa saja, baik anak-anak, muda, tua) hanya kita sendiri yang memunculkan kesadaran itu dan secara sadar pula kita merencanakannya. Karena prinsipnnya orang yang sadar yang mempunyai perencanaan. Orang tidak sadar (edan/gila) tidak mempunyai rencana apa pun.
Resah dan Keresahan Adalah Poses Intropeksi Diri.
Intropeksi diri adalah merenungi tentang diri kita sendiri, terhadap apa yang telah kita lakukan dan yang sedang kita lakukan dan bagaimana langkah selanjutnya kedepan.
Dengan adanya resah dan keresahan merupakan pendorong untuk kita banyak berbuat yang seharusnya kita harus perbuat. Dengan munculnya resah dan keresahan berati pula kita menyadari bahwa kita selama ini tidak bisa berbuat banyak untuk diri kita sendiri dan buat orang lain. Demikian pula orang tua terhadap anak; guru terhadap murid; atasan dengan bawahan; pembangunan dengan apa yang dibangun. Dengan perasaan resah dan keresahan itu pula memberikan pencerahan pemikiran atau mencairkan pikiran yang beku menjadi cair sehingga dapat berpikir positif untuk melakukan segala sesuatu yang perlu dilakukan perubahan dengan cara pikir dan capandang yang lebih maju, cara melihat permasalahan (resah dan kegelisahan), cara mengelolannya sebagai jalan keluarnya (solusinya). Bisa melakukan proses ini berarti kita bisa malakukan pencedasan diri; kemampuan untuk menyelesaikan masalah sendiri, dan ini merupaka kemampuan awal (modal awal) untuk kita bisa menyelesaikan persolaan yang lebih luas di dalam suatu kelompok/tim, unit kerja atau organisasi.
Jadi, tanpa kita dilengkapi oleh Tuhan Maha Pencipta dengan perasaan resah dan keresahan yang sifatnya muncul diwaktu kemudian itu, kita tidak bisa menjadi orang kreatif dan enovatif. Hal itu mengiring kita untuk berpikir lebih maju. Contoh yang simpel: Apakah kita besok bisa makan atau tidak?. Pertanyaan seperti itu kan membuat kita resah/gelisah dan keresahan perasaan kita. Dengan adanya perasaan demikian maka kita akan kreatif: memikirkan, berevovasi dan bertidak/berbuat untuk medapatkan hasil yang bisa digunakan untuk keperluan makan esok hari.
Apa Saja Contoh Yang Membuat Resah Dan Keresahan?
Diantaranya :
o Tes masuk CPNS
o Tes masuk perguruan tinggi
o Tes masuk bekerja di salah satu perusahaan
o Tes masuk sekolah
o Tes/ujian nasional
o Masuk surga atau neraka
o Pilkada
o Pilpres
o Dll. (banyak lagi yaitu sebanyak yang kita ingin resahkan).
Apa Saja Cara Mengatasi Agar Tidak Terjadi Resah Dan Keresahan Itu?
o Jangan melibatkandiri di dalam kegiatan-kegiatan yang menibulkan kita resah dan keresahan (penolakan).
o Mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dan melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk menghadapi sesuatu yang meresahkan kita (menerima/menghadapi).
o Mempunyai mental siap menang dan siap untuk kalah atau siap diterima dan siap pula jika ditolak
Kesimpulan yang bisa digaris bawahi adalah resah dan keresahan adalah masalah atau penyakit. Penyakit yang ditimbulkan yang sebenarnya oleh diri kita sendiri. Karena itu masalah maka harus ada pemecahan (solusinya) atau jalan keluar dari masalah keresahan itu. Resah dan keresahan yang merupakan masalah pilihan yaitu berpegang pada keresahan itu atau melepaskan diri dari keresahan. Keresahan munculnya ada di depan kita dan oleh karena itu ada tengang sejumlah waktu yang bisa kita digunakan untuk mengelola dengan baik agar yang kita resahkan itu tidak muncul atau kalau muncul kita sudah siap menerimanya. Karena itu adalah masalah pilihan, dan pilihan berasil atu tidak sangat terantung dari sejauhmana kita berusaha untuk menghilangkan keresahan tersebut. Resah dan keresahan memberikan proses intropeksi diri terhadap apa yang telah dan sedang kita lakukan maupun yang akan kita lakukan, dan merupakan proses pembelajaran yang mau mengambil hikmah dari penyakit keresahan.
Jalan keluar dari penyakit keresahan adalah menolak atau tidak ambil bagian dan menerima/melawan/menghadapi dengan mempersiapkan diri. Begitu saja, gampang kan!.
Di dalam keresahan atau kegelisah berarti kita atau bangsa ini masih berkemaun untuk memperbaiki dirinya kepada yang lebih baik serta menyadai kekurang atau kelemahan selama ini. jadikalah pengalaman untuk pembelajaran guna perbaikan yang lebih baik kedepan.
Subscribe to:
Posts (Atom)